WTO Tangguhkan Paten Vaksin Covid-19, Indonesia Berpeluang Ikut Produksi Massal
Setelah perdebatan alot sejak 2020, WTO akhirnya sepakat menangguhkan hak paten vaksin Covid-19. Indonesia berpeluang mengambil peran sebagai salah satu produsen untuk domestik dan global.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
GENEVA, SABTU Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO menyepakati penangguhan hak paten vaksin Covid-19 untuk negara berkembang selama lima tahun ke depan. Sementara proposal penangguhan hak paten untuk aspek diagnosis dan perawatan baru akan dibahas enam bulan mendatang.
Kesepakatan itu dicapai pada Konferensi Tingkat Menteri Ke-12 WTO di Geneva, Swiss, Jumat (17/6/2022), setelah pembahasan maraton yang berlangsung intens selama lima hari. Saking alotnya pembahasan, pertemuan yang awalnya dijadwalkan selama tiga hari sampai Rabu (15/6) diperpanjang lagi dua hari.
Penanganan pandemi Covid-19 adalah satu dari lima topik utama yang dibahas. Adapun empat topik utama lainnya ialah perikanan, keamanan pangan, perdagangan elektronik, dan reformasi WTO.
Lewat kesepakatan WTO itu, negara-negara berkembang memiliki hak untuk memproduksi vaksin Covid-19 selama lima tahun tanpa harus melalui prosedur standar rezim paten. Ada harapan produksi vaksin Covid-19 dapat dipercepat dan diperbanyak guna mengatasi kesenjangan akses antara negara kaya dan miskin.
Dalam teks terpisah, negara-negara anggota WTO juga sepakat untuk mengendalikan pembatasan ekspor pada semua vaksin Covid-19 dan alat medis lainnya yang digunakan untuk melawan virus. Termasuk komponen dan bahan yang diperlukan untuk membuatnya.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, paket kesepakatan yang telah disepakati para anggota delegasi akan membuat perbedaan bagi kehidupan warga dunia. Dia juga mengatakan, hasil itu menunjukkan bahwa WTO sebenarnya masih memiliki kemampuan untuk bersikap di tengah situasi darurat yang melingkupi dunia.
Kompromi pada Jumat itu sebenarnya tidak sepenuhnya mengakomodasi proposal awal sebagaimana diusulkan oleh India dan Afrika Selatan per Oktober 2020. Kedua negara mengusulkan penangguhan hak paten tidak hanya untuk vaksin, tetapi juga diagnosis dan perawatan Covid-19.
”Ini tidak sesuai dengan permintaan awal. Kita harus melihat apa yang terjadi di lapangan, tetapi itu tidak ambisius sama sekali," kata salah satu pendiri Observatorium Transparansi Kebijakan Narkoba, Jerome Martin, menunjuk pada fakta bahwa kesepakatan itu hanya mencakup negara-negara berkembang.
Direktur Knowledge Ecology International James Love mengatakan, kesepakatan WTO adalah ”hasil yang terbatas dan mengecewakan”. ”Fakta bahwa pengecualian terbatas pada vaksin, memiliki durasi lima tahun dan tidak membahas aturan WTO tentang rahasia dagang, membuatnya sangat tidak mungkin untuk memberikan akses yang diperluas ke tindakan pencegahan Covid-19,” katanya.
Pada sisi lain, kelompok lobi farmasi IFPMA juga menyatakan kecewa. IFPMA menilai penangguhan hak paten vaksin akan mencekik inovasi. ”Faktor tunggal terbesar yang memengaruhi kelangkaan vaksin bukanlah kekayaan intelektual, melainkan perdagangan. Ini belum sepenuhnya ditangani WTO,” kata Direktur Jenderal IFPMA Thomas Cueni.
Dikutip dari laman Nature.com, pada Februari lalu, perusahaan vaksin lokal Afrika Selatan, African Biologics and Vaccines yang bermarkas di Cape Town, memperlihatkan bahwa mereka memiliki kemampuan teknis mereproduksi vaksin Moderna yang menggunakan teknologi mRNA. Dengan kesepakatan WTO terbaru ini, secara teori, peluang bagi perusahaan itu untuk memproduksi vaksin sendiri terbuka.
Sejumlah peneliti dan pakar hak atas kekayaan intelektual berpendapat, implementasi kebijakan WTO itu tidak akan mudah. Alasannya, perusahaan farmasi bisa berupaya memblokir aplikasi lisensi wajib (compulsory-license application), sebagaimana dilakukan Pfizer di Republik Dominika.
Implementasi kebijakan WTO itu tidak akan mudah. Alasannya, perusahaan farmasi bisa berupaya memblokir aplikasi lisensi wajib ( compulsory-license application), sebagaimana dilakukan Pfizer di Republik Dominika.
Permasalahan lainnya adalah penangguhan paten tidak mencakup akses pada bentuk data yang diperlukan dalam proses produksi vaksin. Situasi itu mengharuskan perusahaan yang ingin memproduksi vaksin menyusun daftar semua paten yang harus dihapuskan. Hal ini membutuhkan waktu lama.
Berdasarkan data Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia, terdapat 417 aplikasi hak atas kekayaan intelektual terkait vaksin Covid-19 sejak awal 2020 hingga September 2021. Data ini masih sangat dini karena diyakini masih ada pengajuan paten yang tengah diproses dan belum dipublikasikan.
Ahli hukum paten pada firma hukum August Debouzy Perancis, Francois Pochard, berpendapat, kesepakatan WTO itu merupakan langkah maju. ”Negara dapat memutuskan sendiri tanpa harus membuat permintaan. Kebaruan sebenarnya adalah bahwa penangguhan ini memungkinkan negara yang memproduksi vaksin untuk juga mengekspor ke pasar lain, ke anggota lain yang memenuhi syarat,” katanya.
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir menyampaikan, kesepakatan WTO atas penangguhan paten vaksin Covid-19 merupakan hal yang amat baik dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 di tingkat global. Penanganan suatu penyakit yang berdampak global, seperti pandemi Covid-19 ini, membutuhkan peran semua pihak.
”Melalui penangguhan paten tersebut, semua pihak, termasuk Indonesia, memiliki akses terhadap draf paten dan memiliki kesempatan untuk bisa mengembangkan teknologi (vaksin) secara teritori. Bio Farma pun bisa memiliki akses terhadap paten tersebut,” katanya.
Semua pihak, termasuk Indonesia, memiliki akses terhadap draf paten dan memiliki kesempatan untuk bisa mengembangkan teknologi (vaksin) secara teritori.
Dengan begitu, Honesti melanjutkan, Bio Farma dapat mempelajari teknologi yang digunakan dalam mengembangkan vaksin. Ini akan berguna dalam penanganan Covid-19 ataupun risiko pandemi berikutnya. Penangguhan paten vaksin Covid-19 juga dapat mendukung produksi vaksin Covid-19 secara lebih luas tanpa khawatir melanggar paten. ”Tanpa adanya paten, vaksin dapat diperoleh dengan harga terjangkau oleh semua negara,” katanya.
Juru bicara Kementerian Kesehatan untuk G20, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, penangguhan paten vaksin diharapkan dapat mendukung pemerataan akses vaksin bagi seluruh negara, terutama pada negara-negara berkembang. Dengan adanya penangguhan hak paten, akses vaksin untuk semua negara semakin terbuka. “Jadi tidak ada paten untuk vaksin oleh kelompok tertentu,” katanya.
Tujuan penangguhan paten vaksin Covid-19 sejalan dengan pembahasan yang diusung dalam pertemuan G20 di bidang kesehatan. Untuk sementara, hasil kesepakatan dari WTO tersebut belum masuk pada rangkaian agenda pertemuan negara-negara G20 untuk bidang kesehatan. “Kami masih menunggu hasil resmi dari WTO,” ucap Nadia. (AFP/REUTERS/TAN)