Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Riset dan Inovasi Nasional menghasilkan inovasi Kit Radiofarmaka Etambutol untuk mendeteksi bakteri tuberkulosis. Inovasi tersebut kini sudah dimanfaatkan secara luas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi persoalan global. Diperkirakan lebih dari 4.000 orang meninggal akibat penyakit tersebut. Di Indonesia pun beban penyakit tuberkulosis amat tinggi.
Berdasarkan data Global TB Report 2020, jumlah kasus tuberkulosis atau TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 845.000 kasus. Jumlah ini merupakan yang tertinggi kedua di dunia setelah India. Dari jumlah yang besar tersebut, penemuan kasus masih belum optimal. Baru 67 persen kasus yang berhasil ditemukan dan diobati.
Padahal, kasus TBC yang tidak ditemukan dan diobati berisiko menular lebih luas ke lebih banyak orang. Selama pandemi, penemuan kasus TBC dilaporkan mengalami penurunan. Pada 2019, sebanyak 568.987 kasus TBC yang ditemukan. Namun, pada 2020, kasus yang ditemukan hanya 362.418 kasus.
Keterbatasan akses pada informasi dan pemeriksaan membuat upaya deteksi TBC menjadi tidak maksimal. Pemerintah pun telah berkomitmen untuk meningkatkan upaya pengendalian tuberkulosis dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Berbagai inovasiterus didorong agar upaya pengendalian TBC di Indonesia bisa lebih baik.
Salah satu inovasi yang telah dihasilkan adalah Kit Radiofarmaka 99mTc-Etambutol yang dikembangkan oleh peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kit tersebut merupakan suatu sediaan untuk mendiagnosis adanya bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab TBC.
Kit etambutol ini tidak hanya digunakan untuk mendeteksi bakteri penyebab TBC yang berada di paru, tetapi juga dapat mendeteksi TBC ekstraparu atau tuberkulosis yang menyebar di luar organ paru. Bakteri penyebab TBC memiliki kemampuan untuk menyebar ke organ lain di luar paru, seperti pleura (selaput pembungkus paru), kelenjar getah bening, abdomen, kulit, sendi dan tulang, serta meninges atau selaput otak.
Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri PTRR BRIN Tita Puspitasari saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (18/6/2022), mengatakan, kit etambutol yang dikembangkan tersebut dapat memberikan hasil yang lebih sensitif dan cepat jika dibandingkan dengan sistem diagnosis lain. Mekanisme diagnosis yang digunakan pada kit etambutol adalah dengan menghasilkan citra morfologis dari lesi TBC yang berada di organ paru dan luar paru. ”Cara tersebut sulit dilakukan dengan sistem diagnosis lain,” kata Tita.
Kit radiofarmaka etambutol merupakan sediaan farmasi kering yang mengandung ethambutol hydrochloride dan beberapa zat tambahan lain. Zat tambahan tersebut digunakan untuk membantu proses penandaan atau pengikatan radioisotop Tc-99m ke dalam senyawa etambutol.
Kit radiofarmaka etambutol dapat digunakan di rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir. Mekanisme penggunaannya adalah dengan menambahkan larutan yang mengandung zat radioaktif Tc-99m ke sediaan kit etambutol. Setelah itu, campuran senyawa tersebut diberikan kepada pasien melalui injeksi intravena (pembuluh darah balik).
Etambutol bertanda Tc-99m tersebut kemudian akan terakumulasi di dalam jaringan yang terinfeksi bakteri tuberkulosis akibat reaksi yang terjadi dengan dinding dari sel bakteri. Adanya radioaktif Tc-99m yang memancarkan sinar gamma akan tertangkap oleh kamera gamma sehingga dapat dengan mudah memperoleh gambaran atau pencitraan organ yang terinfeksi TBC.
Pengembangan
Tita menyampaikan, awalnya penelitian kit etambutol dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) di Bandung. Pengembangan kit tersebut kemudian dilanjutkan secara lebih serius pada 2015. Hasil dari penelitian tersebut selanjutnya dievaluasi oleh tim peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Serpong, khususnya terkait dengan pengembangan proses produksi yang sesuai dengan standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Pada proses evaluasi, sejumlah modifikasi dilakukan agar memenuhi persyaratan CPOB. Setelah sesuai, selanjutnya dilakukan validasi proses sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Selama proses pengembangan, tim peneliti dari PTPR Batan, sebelum berintegrasi ke dalam BRIN, dipandu oleh tim pengembangan produk dari PT Kimia Farma sebagai pihak industri. Tim pengembangan dari PT Kimia Farma telah memiliki daftar dokumen dan data yang diperlukan untuk proses registrasi produk ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Setelah proses produksi sesuai dengan syarat CPOB, serangkaian uji klinis dilakukan. Uji klinis dilakukan di Fasilitas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin Bandung. Data dari hasil uji klinis tersebut dibutuhkan untuk proses registrasi ke Badan POM selain data proses produksi dan kendali kualitas produk.
Badan POM telah memberikan izin edar untuk kit Radiofarmaka Etambutol pada 22 Februari 2021 dengan nomor izin edar DKL2112432144A1. Paten juga sudah didaftarkan sejak bulan Juli 2020 dengan nomor pendaftaran paten P00202005528.
Pengembangan selanjutnya yang akan dilakukan adalah melakukan uji klinis fase keempat, yakni uji klinis setelah pemasaran.
”Inovasi kit etambutol kini sudah dapat digunakan dan sudah beredar di pasaran dengan nama TB-scan yang dipasarkan oleh PT Kimia Farma,” ucap Tita.
Ia menuturkan, pengembangan selanjutnya yang akan dilakukan adalah uji klinis fase keempat, yakni uji klinis setelah pemasaran. Uji klinis keempat ini dilakukan oleh PT Kimia Farma dengan dokter spesialis kedokteran nuklir.
Tita mengatakan, secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan inovasi kit etambutol adalah keterbatasan kapasitas produksi. Sarana prasarana yang lebih memadai dibutuhkan agar kapasitas produksi bisa lebih besar. Karena itu, dukungan dari seluruh pemangku kepentingan terkait dibutuhkan, mulai dari pemerintah, industri farmasi, kedokteran nuklir, Badan POM, hingga para periset.
”Periset diharapkan dapat berkomitmen melakukan inovasi-inovasi lanjutan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan permintaan dari end user,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, dalam siaran pers, mengatakan, pemerintah telah berkomitmen untuk memperkuat upaya penanganan tuberkulosis. Komitmen tersebut juga disampaikan oleh negara-negara anggota G20 dengan meningkatkan pendanaan penanggulangan TBC hingga empat kali lipat.
”Kita (negara-negara G20) sepakat untuk investasi sebanyak 20 miliar dollar AS per tahun dari 2023-2030. Investasi tersebut akan digunakan untuk pengembangan vaksin, obat-obatan, dan riset terkait TB,” katanya, Kamis (31/3/2022).