Pertumbuhan Energi Terbarukan Capai Rekor Tertinggi
Meski banyak janji untuk melakukan pemulihan dengan cara hijau setelah pandemi Covid-19, transisi energi terbarukan global tidak terjadi. Kondisi ini tak mungkin dapat memenuhi target iklim pada dekade ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas energi terbarukan mencapai rekor penambahan 314,5 gigawatt, naik 17 persen dibandingkan tahun 2020. Meski demikian, penggunaan energi global pada tahun 2021 masih didominasi bahan bakar fosil sehingga menghasilkan lonjakan emisi karbon dioksida terbesar dalam sejarah.
Demikian Laporan Status Global Terbarukan 2022 (Renewable 2022 Global Status Report/GSR 2022) yang dikeluarkan REN21, komunitas global yang terdiri dari sains, akademisi, pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan industri di sektor energi terbarukan.
”Meskipun ada bukti bahwa energi terbarukan adalah sumber energi yang paling terjangkau untuk meningkatkan ketangguhan dan mendukung dekarbonisasi, pemerintah di dunia terus memberikan subsidi energi fosil. Gap antara ambisi dan tindakan negara memberi peringatan yang jelas bahwa energi transisi global tidak terjadi,” tutur Rana Adib, Direktur Eksekutif REN21, dalam keterangan pers, Kamis (16/6/2022).
Menurut Rana, laporan ini menunjukkan bahwa transisi energi terbarukan global tidak terjadi meskipun banyak janji untuk melakukan pemulihan dengan cara hijau setelah pandemi Covid-19. Kondisi tersebut membuat dunia tidak mungkin dapat memenuhi target iklim pada dekade ini.
Kami menyerukan target dan rencana jangka pendek dan panjang untuk beralih ke energi terbarukan, ditambah dengan tanggal akhir yang jelas untuk bahan bakar fosil.
Laporan ini menyebutkan, menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 26) pada November 2021 tercatat 135 negara berjanji mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050. Namun, hanya 84 negara yang mempunyai target ekonomi yang luas untuk energi terbarukan dan hanya 36 yang menargetkan 100 persen energi terbarukan.
Untuk pertama kali dalam sejarah Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB, deklarasi COP 26 menyebutkan perlu mengurangi penggunaan batubara. Akan tetapi, deklarasi ini gagal menentukan target pengurangan untuk batubara atau bahan bakar fosil lain.
Dampaknya, sebagian besar peningkatan penggunaan energi global pada tahun 2021 dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Hal ini menghasilkan lonjakan emisi karbon dioksida terbesar dalam sejarah, naik lebih dari 2 miliar ton di seluruh dunia.
Di sisi lain, sektor ketenagalistrikan mencatat rekor penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 314,5 gigawatt, naik 17 persen dibanding pada tahun 2020 dan pembangkitan (7.793 terawatt-jam). Namun, capaian ini tidak mampu memenuhi peningkatan konsumsi listrik 6 persen secara keseluruhan. Laporan GSR 2022 menunjukkan, momentum terkait Covid-19 telah berlalu tanpa dimanfaatkan.
Harga energi fosil
Adib menyebutkan, era bahan bakar fosil murah sudah berakhir, menyusul lonjakan harga energi terbesar sejak krisis minyak tahun 1973. Pada akhir tahun 2021, harga gas mencapai 10 kali lipat dari harga 2020 di Eropa dan Asia dan tiga kali lipat di Amerika Serikat, yang menyebabkan lonjakan harga listrik di pasar utama pada akhir 2021.
Invasi Rusia ke Ukraina memperburuk krisis energi yang sedang berlangsung. Lebih dari 136 negara bergantung pada impor bahan bakar fosil.
”Kenyataannya adalah bahwa, sebagai tanggapan terhadap krisis energi, sebagian besar negara telah kembali mencari sumber bahan bakar fosil baru dan membakar lebih banyak batubara, minyak, dan gas alam,” kata Adib.
Tawaran energi terbarukan
Dokumen GSR 2022 mengungkapkan, meskipun ada komitmen baru untuk aksi iklim, pemerintah masih memilih memberi subsidi untuk produksi bahan bakar fosil, termasuk untuk mengurangi dampak krisis energi. Antara 2018 dan 2020, negara-negara di dunia menghabiskan 18 triliun atau sekitar 7 persen dari PDB global pada 2020 untuk subsidi bahan bakar fosil. Bahkan, dalam beberapa kasus sambil mengurangi dukungan untuk energi terbarukan, seperti terjadi di India.
Tren ini dinilai menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan antara ambisi dan tindakan. Ini juga mengabaikan banyak peluang dan manfaat dari transisi ke ekonomi dan masyarakat berbasis terbarukan.
”Ketimbang menganaktirikan energi terbarukan dan bergantung pada subsidi energi fosil untuk meringankan biaya tagihan listrik masyarakat, pemerintah seharusnya memberikan dukungan langsung untuk memasang sistem energi terbarukan di rumah-rumah yang rentan (secara ekonomi),” kata Adib.
Menurut dia, jalur energi terbarukan terbukti lebih murah dalam hal efektivitas anggaran. Walaupun hal ini memang memerlukan investasi awal yang besar.
”Kami menyerukan target dan rencana jangka pendek dan panjang untuk beralih ke energi terbarukan, ditambah dengan tanggal akhir yang jelas untuk bahan bakar fosil. Penyerapan energi terbarukan harus menjadi indikator kinerja utama di semua sektor ekonomi,” kata Presiden REN21, Arthouros Zervos.
Wakil Presiden Spanyol dan Menteri untuk Transisi Ekologis dan Tantangan Demografi, Teresa Ribera, menyampaikan negaranya akan memilih transisi energi terbarukan. ”Dengan investasi yang tepat dalam teknologi, energi terbarukan adalah satu-satunya sumber energi yang menawarkan setiap negara di dunia kesempatan untuk otonomi dan keamanan energi yang lebih besar,” katanya.