Sumbangan Biodiversitas bagi Ekonomi ASEAN Capai 2,19 Triliun Dollar AS
Indonesia mendapat manfaat ekonomi dari konservasi dan biodiversitas alam yang tertinggi di ASEAN, mencapai 998,58 miliar dollar AS.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asia Tenggara memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang menghasilkan 2,19 triliun dollar Amerika Serikat ke dalam ekonomi regional, angka yang bahkan bisa lebih tinggi jika negara-negara lebih memprioritaskan konservasi dan restorasi. Indonesia mendapat manfaat ekonomi dari konservasi alam yang tertinggi di ASEAN, mencapai 998,58 miliar dollar AS.
Studi mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan alam di kawasan ASEAN ini dilakukan oleh Academy of Sciences Malaysia dan dirilis pada Rabu (15/6/2022). Laporan studi menekankan bahwa konservasi dapat berfungsi sebagai landasan ekonomi regional yang dinamis dan bisa menghasilkan kekayaan, pekerjaan, dan ketahanan pangan.
”Asia Tenggara memiliki populasi yang terus bertambah yang semakin membebani sumber daya alam yang melimpah di kawasan ini. Laporan ini mengungkapkan bahwa kawasan ASEAN tidak harus mengikuti jalur pembangunan yang merusak alam. Sebaliknya, kita dapat menjadikan perlindungan alam sebagai batu kunci dari strategi ekonomi yang sukses,” kata Helen Nair, salah satu penulis laporan dari Academy of Sciences Malaysia.
Kawasan ASEAN dapat dan harus menjadi panutan bagi seluruh dunia tentang cara menumbuhkan ekonomi secara berkelanjutan. (Emil Salim)
Sepuluh negara anggota ASEAN merupakan daerah penting bagi keanekaragaman hayati, bahkan tiga di antaranya masuk dalam kategori 17 negara-negara megadiverse dengan keanakeragaman hayati tertinggi, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Namun, laporan ini menyebutkan, ada bukti bahwa kawasan ASEAN mengalami degradasi keanekaragaman hayati yang dapat menyebabkan risiko bencana ekonomi.
Indonesia tertinggi
Di sisi lain, para ilmuwan ini juga memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa konservasi keanekaragaman hayati tidak hanya tidak bertentangan terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bisa menjadi mesin unik untuk pertumbuhan Asia Tenggara yang lebih berkelanjutan. Mereka juga memperkirakan kontribusi ekonomi berbasis konservasi alam kepada negara-negara anggota ASEAN mencapai 2,19 triliun dollar AS.
Penerima manfaat terbesar dengan margin yang signifikan adalah Indonesia, diikuti Filipina, Thailand, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Laos, Vietnam, dan negara-negara kecil di akhir. Indonesia disebut menerima manfaat ekonomi dari konservasi alam sebesar 998,58 miliar dollar AS.
Salah satu contoh yang dianggap berhasil menjalankan ekonomi berkelanjutan adalah Proyek Cagar Biodiversitas Rimba Raya di Kalimantan Tengah. ”Ini adalah proyek REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) terbesar di dunia dan dianggap berhasil menghentikan deforestasi di 65.000 hektar hutan yang semula direncanakan untuk dikonversi menjadi kelapa sawit,” tulis laporan ini.
Adapun contoh di Filipina adalah proyek Taman Alam Pegunungan Kitanglad Range (MKRNP) yang dianggap sukses melindungi elang filipina yang terancam punah. Perlindungan ini melibatkan peran aktif tiga komunitas adat yang tinggal di kawasan ini, yakni Higaonon, Talaandig, dan Bukidnon, sebagai bagian dari Dewan Pengelola Kawasan Lindung Taman Alam yang mengarah pada pengurangan kegiatan ilegal dan pelanggaran aturan dan perluasan ekowisata di tempat itu.
Sementara di Malaysia, inisiatif di Tun Mustapha Park (TMP) dianggap sebagai contoh suksesnya. Taman laut seluas 898.763 hektar itu merupakan taman laut terbesar di negara itu untuk pelestarian keanekaragaman hayati, melindungi spesies yang terancam punah, mengembangkan perikanan lokal, dan menanggulangi kemiskinan di 85.000 penduduk di daerah itu. Melalui kolaborasi antara masyarakat lokal, badan pemerintah, mitra internasional, dan organisasi non-pemerintah, taman ini dianggap bisa melindungi 250 spesies terumbu karang, 400 spesies ikan, dan berbagai spesies terancam, seperti dugong, berang-berang, paus bungkuk, dan penyu.
Menyikapi laporan ini, ahli lingkungan Emil Salim mengatakan, Asia Tenggara adalah harta karun berupa keanekaragaman hayati yang kaya, tak tertandingi di tempat lain di bumi. ”Jelas bahwa para pemimpin di seluruh kawasan dapat menggunakan keanekaragaman hayati ini untuk keuntungan ekonomi mereka. Kawasan ASEAN dapat dan harus menjadi panutan bagi seluruh dunia tentang cara menumbuhkan ekonomi secara berkelanjutan,” tuturnya.
Sementara itu, Zakri Hamid, dari Campaign for Nature, mengatakan, hampir 100 negara di seluruh dunia telah bergabung dengan koalisi negara-negara yang memperjuangkan target global untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan di planet ini pada tahun 2030. Sejauh ini, Kamboja adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang bergabung dengan koalisi, High Ambition Coalition for Nature and People (HAC).
”Studi baru membuat kasus ekonomi dan ilmiah yang kuat mengapa semua negara ASEAN harus bergabung dengan HAC,” ujarnya.
Soal REDD+
Sekalipun dianggap cukup berhasil, Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk mengakhiri perjanjian REDD+ dengan Norwegia di Kalimantan. Langkah itu diambil setelah Indonesia menganggap Norwegia tidak memenuhi kewajibannya sebagai pembayar dana, sedangkan di sisi lain, Indonesia mengklaim berhasil menurunkan deforestasi.
Sebelumnya, penelitian terpisah oleh Ben Groom, Ketua Dragon Capital di Biodiversity Economics di University of Exeter Business School dan dipublikasikan di jurnal Proceeding of National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) edisi Februari 2022, menyebutkan, Indonesia berhasil mencegah lepasnya 70 juta ton emisi karbon dalam skema REDD+ bersama Norwegia. Meski demikian, selain harga karbon yang dibayarkan Norwegia dinilai terlalu rendah, mekanisme ini hanya berkontribusi mengurangi 3 persen dari total komitmen Indonesia untuk penurunan emisi.
Para peneliti juga menyebutkan, pada tahun 2019, Norwegia setuju untuk membayar Indonesia 56,2 juta dollar AS untuk mencegah lepasnya emisi karbon sebesar 11,23 juta ton pada tahun 2017. Namun, menurut Groom, Norwegia seharusnya membayar lebih banyak dari REDD+ ini karena dampaknya dimulai jauh lebih awal.
”Dari 2013 kami memperkirakan beberapa perubahan sederhana tetapi signifikan secara statistik. Namun, pembayarannya hanya dihitung untuk 2017, tanpa kontrafaktual yang tepat,” tulis Groom.