Potensi Pengelolaan Sampah Elektronik Capai 1,8 Miliar Dollar AS
Estimasi potensi ekonomi daur ulang sampah elektronik di Indonesia mencapai 1,8 miliar dollar AS. Pengelolaan ini juga mereduksi 1.400 ton emisi karbon.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain sampah plastik, Indonesia sampai saat ini masih dihadapkan pada permasalahan sampah dari barang-barang elektronik bekas. Pengelolaan sampah spesifik ini perlu terus ditingkatkan. Optimalisasi daur ulang sampah elektronik di Indonesia dapat berdampak terhadap perekonomian dengan perkiraan mencapai 1,8 miliar dollar AS.
Potensi nilai ekonomi sampah elektronik di Indonesia ini diperoleh dari hasil studi Aulia Qisthi, kandidat doktor University of Technology Melbourne bidang pengelolaan limbah elektronik. Studi ini juga telah terbit di Journal of Cleaner Production, Agustus 2020.
Aulia memperkirakan nilai potensi ekonomi dari daur ulang sampah elektronik di Indonesia lebih besar daripada hasil studi ini. Sebab, studi tersebut hanya menghitung sampah elektronik dari empat produk, yakni ponsel, tablet, komputer, dan laptop.
”Pada tahun 2020 setidaknya terdapat potensi daur ulang 12,5 ton tembaga, 119 ton perak, 21 ton emas, 54 ton paladium, dan 10 ton platinum. Potensi ekonomi ini mencapai 1,8 miliar dollar AS,” ujarnya saat menjadi pembicara secara daring dalam seminar bertajuk ”Sampah Elektronik: Peluang, Tantangan, dan Nilai Ekonomi” di Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Tiga negara dengan populasi terbanyak di Asia yakni China, India, dan Indonesia berperan penting dalam menjawab penanganan limbah elektronik dunia.
Selain potensi ekonomi, pengelolaan sampah elektronik juga dapat mengurangi emisi karbon. Aulia mencatat, daur ulang sampah elektronik sebanyak 1 ton dapat mengurangi proses penambangan logam di alam sehingga berkontribusi juga pada penurunan sebanyak 1.400 ton emisi karbon.
Dari studi yang dilakukan Aulia, timbulan sampah elektronik di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000 sampah elektronik diperkirakan baru sebanyak 286 kiloton atau 1,37 kilogram per orang. Sementara tahun 2020 sampah elektronik meningkat menjadi 1.862 kiloton dan diperkirakan mencapai 3.200 kiloton pada tahun 2040.
Selain itu, studi Aulia juga menunjukkan distribusi limbah elektronik di Indonesia terbanyak berasal dari wilayah Jawa (56 persen), Sumatera (22 persen), Sulawesi (7 persen), Kalimantan (6 persen), Bali dan Sumbawa (6 persen), Papua (2 persen), serta Maluku (1 persen). Distribusi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jumlah penduduk dan akses listrik.
Aulia menjelaskan, secara umum sampah atau limbah elektronik merupakan limbah dari peralatan yang bergantung pada arus listrik atau medan elektromagnetik. Sementara berdasarkan rujukan penanganan limbah peralatan listrik dan elektronik (WEEE) dari Eropa terdapat enam jenis peralatan yang dikategorikan sampah elektronik, yakni alat pengatur suhu, layar monitor, lampu, alat besar berupa mesin cuci, alat kecil seperti kamera dan sejenisnya, serta peralatan teknologi dan komunikasi.
”Berdasarkan penelitian tahun 2019, setidaknya terdapat 53,6 juta ton limbah elektronik yang dihasilkan di dunia. Wilayah di Asia menyumbang hampir 50 persen dari total limbah elektronik di dunia,” kata Aulia.
Menurut Aulia, tiga negara dengan populasi terbanyak di Asia, yakni China, India, dan Indonesia, berperan penting dalam menjawab penanganan limbah elektronik dunia. Peranan ketiga negara ini diperlukan mengingat setiap tahun penggunaan jumlah unsur kimia pada produk elektronik semakin meningkat dan bisa menyebabkan pencemaran lingkungan bila limbahnya tidak terkelola dengan baik.
Ia meyakini bahwa Indonesia sangat bisa mengintegrasikan daur ulang sampah elektronik dengan proses industri. Sebab, saat ini sudah terdapat beberapa industri yang melakukan hal tersebut, seperti Inalum, Krakatau Steel, dan Posco. Proses integrasi ini juga sudah banyak dilakukan di negara lain, salah satunya Belgia.
Pemilahan
Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengemukakan, sebelum tahun 2020 Indonesia belum memiliki ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan sampah elektronik di Indonesia. Hal ini menyebabkan pengelolaan sampah elektronik kerap dicampur dengan sampah rumah tangga lainnya.
”Munculnya aturan tentang pengelolaan sampah spesifik khususnya elektronik seharusnya membuat masyarakat lebih peduli bahwa sampah jenis ini tidak bisa dicampur dengan sampah rumah tangga. Sampah ini juga tidak bisa didiamkan di rumah karena akan menghasilkan radiasi atau dampak lainnya,” ucapnya.
Novrizal menegaskan, dalam lima tahun terakhir Indonesia mengalami peningkatan pengelolaan sampah khususnya pada aspek partisipasi publik. Pengelolaan ini juga semakin baik karena sudah ada gerakan pengurangan sampah sejak tahun 2018.
”Ini membuktikan bahwa partisipasi publik sangat dominan dalam gerakan pengelolaan sampah di Indonesia. Selain bank sampah, partisipasi publik ini juga ditunjukkan dari meningkatnya usaha sosial yang berbasis teknologi dan start up,” ujarnya.