Implementasi Peta Jalan Tinggal Tersisa Enam Bulan
Kemiskinan membuat sejumlah anak harus keluar rumah untuk bekerja, membantu orangtuanya. Selain putus sekolah, pekerja anak juga berada dalam situasi kerja yang berbahaya, rentan dieksploitasi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memiliki sisa waktu enam bulan untuk mengimplementasikan Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo berkomitmen menjadikan penurunan pekerja anak sebagai isu prioritas yang harus diselesaikan hingga tahun 2024.
Hingga kini, angka pekerja anak di Indonesia masih memprihatinkan dan bahkan semakin mengkhawatirkan setelah pandemi Covid-19. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada 2020 memperlihatkan, 9 dari 100 (9,34 persen atau sekitar 3,36 juta) anak usia 10-17 tahun bekerja. Mayoritas (73,72 persen) pekerja anak usia 15-17 tahun juga tidak lagi bersekolah.
”Perlindungan anak Indonesia merupakan hal yang esensial jika kita ingin mencapai Indonesia yang maju. Anak-anak kita adalah calon pemimpin bangsa. Saat ini, mereka mengisi sepertiga populasi Indonesia,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar di acara ”Kick-Off Review Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak dan Strategi ke Depan”, Rabu (15/6/2022).
Acara tersebut digelar Save The Children, Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK), Kementerian PPPA, Kementerian Ketenagakerjaan, ILO, dan sejumlah lembaga rangka Peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni 2022.
Acara tersebut juga dihadiri Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani, Alpan dari Forum Anak Lombok, dan perwakilan perusahaan Mars Symbiosciene, Andi Fitriyani.
Untuk itu, ujar Nahar, implementasi Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak perlu dievaluasi. Komitmen kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah perlu dipetakan kembali kemudian dibentuk semacam gugus tugas ataupun kelompok kerja lintas kementerian/lembaga. Pengembangan basis data pekerja anak diperkuat dan pengawasan berbasis masyarakat ditingkatkan.
Tata Sudrajat dari Save The Children menyampaikan, tahun 2022 adalah akhir program penghapusan pekerja anak yang ditandatangani 2014. ”Ini adalah program panjang. Tahun ini kesempatan me-review, mengatur, dan menyusun ulang strategi ke depan dalam penghapusan pekerja anak,” katanya.
Nahar menegaskan, pekerja anak adalah masalah serius di tingkat global. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) target 8.7 menyerukan semua pihak untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk memberantas kerja paksa, mengakhiri perbudakan modern dan perdagangan manusia, serta mengamankan larangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pada tahun 2025, pekerja anak dalam segala bentuknya harus diakhiri.
Ini adalah program panjang. Tahun ini kesempatan me- review, mengatur, dan menyusun ulang strategi ke depan dalam penghapusan pekerja anak.
Masalah kompleks
Dalam sambutan yang dibacakan Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Nora Kartika Setyaningrum, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan, pekerja anak adalah masalah kompleks, tidak hanya terkait ketenagakerjaan, tetapi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya. ”Penghapusan pekerja anak tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi bersama lintas sektor, baik instansi pemerintah maupun lembaga nonpemerintah, serta partisipasi seluruh masyarakat,” katanya.
Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Irham Ali Saefudin menyatakan, berdasarkan laporan ILO dan Unicef tahun 2021, saat ini terdapat 160 juta pekerja anak di dunia atau satu di antara sepuluh anak di dunia adalah pekerja anak.
”Separuh di antaranya atau sekitar 79 juta pekerja anak berada dalam situasi pekerjaan yang membahayakan. Sebagian besar pekerja anak di dunia tersebar di sektor pekerjaan berbasis rumah tangga,” kata Irham.