Kelanjutan Muhibah Budaya Jalur Rempah ditandai dengan pelayaran dari Ternate ke Tidore di Maluku Utara, Selasa (15/6/2022). Ekspor cengkeh dari Tidore pada 1521 menandai perdagangan rempah di Nusantara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
TIDORE, KOMPAS — Sebanyak 37 Laskar Rempah berlayar dari Ternate ke Tidore, Maluku Utara, dengan misi mempelajari dan mengampanyekan kekayaan rempah Indonesia, salah satunya rempah Tidore. Pengetahuan generasi muda mengenai rempah diharapkan tidak putus.
Laskar Rempah terdiri dari pemuda-pemudi perwakilan seluruh provinsi yang terpilih mengikuti Muhibah Budaya Jalur Rempah. Ada 147 orang yang mengikuti program napak tilas jalur rempah ini dari 1 Juni hingga 2 Juli 2022. Mereka dibagi dalam empat kelompok, lantas berlayar bergantian ke enam lokasi, mulai dari Surabaya, lalu ke Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang. Pelayaran dilakukan dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci.
Enam lokasi tersebut merupakan titik perdagangan rempah di Nusantara pada masa silam. Adapun Ternate dan Tidore terkenal sebagai penghasil lada dan cengkeh. Kedua rempah ini hanya bisa ditemukan di Maluku bagian Utara dan Banda hingga awal abad ke-17.
Rempah ini tentu menjadi media diplomasi budaya untuk memperkuat posisi Tidore sebagai bagian dari negara maritim. (Ali Ibrahim)
Wali Kota Tidore Kepulauan Ali Ibrahim pada Rabu (15/6/2022) mengatakan, Tidore memiliki sejarah panjang terkait rempah. Tidore pun menarik kedatangan bangsa asing dan membuka jalur perdagangan rempah. Pedagang asing yang datang, antara lain, dari Arab, India, China, Portugis, dan Belanda.
Pada 11 Desember 1521, Kesultanan Tidore mengirim 27,3 ton cengkeh ke Eropa dengan kapal Victoria. Ini merupakan tonggak sejarah perdagangan rempah di Nusantara. Tanggal 11 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Rempah Nasional.
”Begitu banyak bukti Tidore sebagai bagian penting Jalur Rempah. Rempah ini tentu menjadi media diplomasi budaya untuk memperkuat posisi Tidore sebagai bagian dari negara maritim,” kata Ali di Tidore.
Ia berharap agar narasi tentang kekayaan rempah dan sejarah Maluku bagian utara sebagai pusat rempah dikembangkan, kemudian diajarkan di institusi pendidikan. Ia juga berharap upaya pemajuan budaya mendapat perhatian serius. ”Agar anak muda tahu bahwa pulau kecil Tidore ini merupakan bagian dari jalur rempah dan maritim dunia,” katanya.
Sultan Tidore Husain Syah menambahkan, manusia hidup di tiga masa, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semuanya diikat mata rantai yang berkesinambungan. Itu sebabnya, pemahaman sejarah rempah penting diketahui generasi muda.
Menurut peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah, Ramdani (23), perjalanan mereka selama lebih kurang 13 hari ke depan merupakan perjalanan yang penuh tanggung jawab. Selain mesti menjaga sikap, ia merasa wajib belajar mengenai rempah, lalu menyebarkan hasil belajarnya ke publik.
”Ibaratnya kami dipilih sebagai duta rempah. Ada tanggung jawab di situ. Jadi, kami berlayar tidak sekadar untuk healing atau senang-senang,” ucap Ramdani.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, kaum muda mesti merasakan sendiri pengalaman melaut dan belajar rempah ke lapangan. Ini untuk menumbuhkan kecintaan terhadap laut dan rempah. Ia menambahkan, Muhibah Budaya Jalur Rempah direncanakan dilakukan lagi tahun depan.
Muhibah Budaya Jalur Rempah merupakan salah satu upaya menghidupkan kembali Jalur Rempah di Indonesia. Jalur Rempah akan didaftarkan sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2024.