Menyimpan ”Jejak Peradaban” untuk ”Kaca Benggala”...
Kesadaran untuk menyerahkan karya rekam dan karya cetak, termasuk dalam bentuk digital, belum tumbuh sepenuhnya di kalangan penerbit media, produsen, dan masyarakat. yang juga menghasilkan karya rekam dan karya cetak.
Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan pelestarian bertugas untuk melestarikan seluruh karya cetak yang diterbitkan dan karya rekam yang dipublikasikan di Indonesia (Pasal 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam).
Baca juga:Berkunjung ke Perpustakaan Nasional

Media massa bagi sebagian warga dunia bukan hanya sebuah karya kreatif manusia, yang berisikan informasi, melainkan sebuah peradaban. Jejak manusia yang beradab terekam di media, termasuk saat berebut kekuasaan. Oleh karena itu, kebebasan pers menjadi salah satu ciri dari negara yang demokratis.
Media massa, sering kali disebut pers, bahkan menjadi cermin dari masyarakat. Saat masyarakat terbelah, karena pertarungan politik, tidak jarang medianya pun terbelah. Jika masyarakat sejahtera, pers juga sejahtera. Sebuah negara yang penduduknya sudah sejahtera, tak lagi berhitung untuk mendukung media massa di kawasan itu bisa tetap hidup saat digerus disrupsi digital dan pandemi Covid-19.
Salah satu negara yang menempatkan pers sebagai bagian dari peradaban adalah Norwegia. ”Norwegia percaya, mendukung pers dan masyarakat yang beradab itu sama artinya dengan mewujudkan adanya pengawas yang membunyikan peringatan, bila persoalan dan tantangan mengemuka. Pers bebas merupakan salah satu sifat khas demokrasi yang berfungsi baik,” jelas Duta Besar Norwegia untuk Indonesia (saat itu) Stig Traavik pada peluncuran buku dwibahasa Meliput Perubahan Iklim (Covering Climate Change) tahun 2015 (Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, 2018).
Pers bebas merupakan salah satu sifat khas demokrasi yang berfungsi baik.
Indonesia menegaskan pula, pers merupakan bagian dari peradaban bangsa. Hal ini disebutkan secara jelas, misalnya, pada konsideran dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan itu berbunyi, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penghormatan kepada hak asasi manusia, kebebasan memperoleh informasi, serta kecerdasan dan kesejahteraan warganya, adalah indikasi sebuah bangsa beradab.
Baca juga: Sekolah Berbasis Perpustakaan Digital

Rak buku yang menjulang tinggi menjadi dekorasi di Perpustakaan Nasional di Jakarta Pusat, Rabu (2/1/2019).
UU Pers juga menyebutkan fungsi media massa yang bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, melainkan juga berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Media sesungguhnya juga menjadi pencatat sejarah karena informasi yang disajikannya merupakan rangkaian fakta yang terjadi di khalayak pada saat itu. Fakta yang terangkai itu bisa menjadi untaian titik-titik perkembangan masyarakat. Jejak-jejak peradaban yang pada saatnya bisa menjadi kaca benggala, cermin bagi masyarakat saat ini untuk melihat ke belakang dan melangkah ke depan.
Oleh karena itu, seharusnya pengelola media menyimpan seluruh karya yang dihasilkannya, terbuka untuk umum, sehingga masyarakat bisa melihat kembali ke masa lalu, serta memprediksi masa depan. Negara menyadari peran penting media sehingga berusaha untuk mendukung dengan menyediakan ”gudang” untuk menyimpan karya peradaban itu. Gudang bukan sembarang gudang, melainkan gudang ilmu dan jejak sejarah bangsa.
Hampir empat tahun yang lalu, pemerintah dan DPR menyepakati melahirkan UU No 13/2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. UU ini menggantikan UU No 4/1990, yang diangap tak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.
Karya cetak dan karya rekam merupakan hasil budaya bangsa.
UU No 13/2018 memastikan media sebagai karya peradaban dan karya budaya bangsa. Seperti disebutkan dalam ”menimbang”, yaitu karya cetak dan karya rekam merupakan hasil budaya bangsa. Karya itu memiliki peran penting sebagai salah satu tolok ukur kemajuan intelektual bangsa, referensi dalam bidang pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi, dan pelestarian kebudayaan nasional. Karya itu juga merupakan alat telusur terhadap catatan sejarah, jejak perubahan, dan perkembangan bangsa untuk pembangunan dan kepentingan nasional. Namun, kesadaran untuk menyerahkan karya rekam dan karya cetak itu, termasuk dalam bentuk digital, belum tumbuh sepenuhnya di kalangan penerbit atau pengelola media dan masyarakat, yang juga bisa menghasilkan karya rekam dan karya cetak.
Situasi ini mengingatkan pada cerita seorang teman, yang beberapa saat lalu mengambil program doktor (strata tiga) bidang komunikasi, dan menuliskan disertasinya terkait sebuah surat kabar yang kini tak lagi terbit. Sewaktu teman itu mendatangi kantor media tersebut, ternyata tak selembar pun bukti penerbitan koran itu yang tersisa. Bagian dokumentasi surat kabar itu pernah menyimpan nyaris semua lembar penerbitannya. Edisi cetak dari saat pertama terbit hingga kali yang terakhir.
Baca juga: Bersiasat demi Keberlanjutan Media Massa

Di Perpustakaan Nasional ini kami memiliki koleksi penerbitan pers sejak zaman Hindia Belanda. Jadi, siapa saja bisa menelusuri kembali jejak peristiwa dalam masyarakat melalui pemberitaan di surat kabar dari masa lalu.
Namun, semua musnah saat media massa itu gulung tikar. Catatan sejarah musnah. Jejak peradaban masyarakat, setidaknya di kawasan itu, hilang. Beruntung masih ada dokumentasi penerbitan koran itu di Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, dan mungkin di Perpustakaan Daerah dan Perpustakaan Nasional. Jejak-jejak kebudayaan masyarakat pun tidak sepenuhnya tergulung.
”Di Perpustakaan Nasional ini kami memiliki koleksi penerbitan pers sejak zaman Hindia Belanda. Jadi, siapa saja bisa menelusuri kembali jejak peristiwa dalam masyarakat melalui pemberitaan di surat kabar dari masa lalu,” jelas Emyati Tangke Lembang, Direktur Deposit dan Pengembangan Koleksi Perpustakan Nasional, Selasa (14/6/2022), di Perpusnas, Jakarta, dalam dialog dengan pimpinan media massa.
Serah simpan
Meskipun memiliki koleksi penerbitan dari masa lalu, Emyati mengakui, masih banyak media massa cetak dan rekam, termasuk yang menghasilkan produk digital, yang hingga kini belum menyerahkan bukti karyanya ke Perpusnas. Selama sepuluh tahun terakhir, koleksi penerbitan media cetak di Perpusnas bertambah tidak lebih dari 22.000 eksemplar. Untuk karya rekam, dalam kurun waktu yang sama, penambahannya sekitar 8.700 karya saja. Padahal, jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam dari masyarakat selama satu dekade semestinya bisa mencapai jutaan eksemplar atau jutaan karya rekam.
Sekretaris Jenderal Serikat Penerbitan Pers (SPS) Asmono Wikan, yang hadir dalam dialog itu, mengakui dalam tujuh tahun terakhir, jumlah penerbitan cetak di Tanah Air turun tak kurang 26,8 persen, dari 810 nama penerbitan cetak—koran, majalah, atau tabloid—tahun 2016 menjadi tinggal 593 judul (nama) tahun 2020. Tahun 2022 ini, diperkirakan jumlah nama media cetak yang masih terbit menurun lagi sebab selama pandemi Covid-19, periode 2020-2022, sejumlah media massa cetak tutup atau beralih sepenuhnya menjadi media digital. Kondisi ini juga terjadi di sejumlah negara.
Padahal, UU No 13/2018 jelas menyatakan, pengelola penerbitan cetak berkewajiban untuk menyerahkan karyanya kepada perpustakaan nasional dan perpustakaan provinsi. Pasal 4 Ayat (1) UU itu menyebutkan, setiap penerbit wajib menyerahkan 2 (dua) eksemplar dari setiap judul karya cetak kepada Perpustakaan Nasional dan 1 (satu) eksemplar kepada Perpustakaan Provinsi tempat domisili Penerbit. Dan, Ayat (2) memastikan, jika Perpusnas memerlukan salinan digital atas karya cetak itu untuk kepentingan penyandang disabilitas, penerbit wajib menyerahkan salinan digitalnya.

Winda, mahasiswi Universitas Brawijaya, membantu proses digitalisasi koran di kompleks Museum Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2019). Proses alih media dari bentuk cetak ke digital juga dilakukan terhadap ribuan dokumen dan transkrip kuno untuk menyelamatkan isi dari berbagai dokumen berharga yang telah berusia tua.
Baca juga: Berkolaborasi Membangun Ekosistem Baru Media Massa
Untuk karya rekam, UU Serah Simpan Karya itu menuliskan pula, setiap produsen karya rekam yang memublikasikan karyanya wajib menyerahkan satu salinan dari setiap judul karya rekam kepada Perpusnas dan satu salinan ke perpustakaan provinsi tempat domisili produsen karya rekam itu. Penyerahan karya dilakukan paling lama setahun setelah dipublikasikan. Karya rekam yang wajib diserahkan itu berisi nilai sejarah, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
UU Serah Simpan Karya itu juga menegaskan, bagi penerbit cetak atau produsen karya rekam yang tak menyerahkan karyanya ke Perpusnas dan perpustakaan provinsi bisa dikenai sanksi pembinaan, teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin. Ketentuan ini juga berlaku bagi lembaga negara, kampus, dan lembaga internasional yang menghasilkan karya cetak atau karya rekam di Indonesia. Bagi penerbitan dan produsen karya rekam yang patuh diberikan penghargaan. Pemerintah pun menyediakan pendanaan bagi penghimpunan karya cetak dan karya rekam itu, termasuk yang berbentuk digital.
Dalam dialog terungkap pula, banyak media massa di negeri ini yang tak memiliki tempat penyimpanan karyanya secara fisik atau digital yang memadai. Oleh karena itu, Tatat Kurniawati, Koordinator Pengelolaan Koleksi Hasil Serah Simpan Karya Perpusnas, meminta pimpinan media massa memanfaatkan fasilitas penyimpanan yang dimiliki institusi negara itu. Pengelola media cetak, termasuk yang karyanya berbentuk digital (epaper) dan produsen karya rekam, bisa mengunggah karyanya secara mandiri atau bekerja sama dengan Perpusnas.
Jika karya itu dimonetisasi, tak bisa sepenuhnya dibuka secara cuma-cuma oleh publik, Perpusnas pun menghormati dan memberikan batasan pada masyarakat untuk bisa mengakses karya itu. ”Silakan server (penyimpan) kami dimanfaatkan sehingga karya itu terdokumentasi dan catatan sejarahnya tak hilang,” ujar Tatat.
Kini menjadi sebuah keniscayaan bagi pengelola media cetak untuk menyerahkan karyanya dalam format digital (epaper) kepada Perpusnas.

Vincentya Dyah Kusumaningtyas dari Perpustakaan Nasional menjelaskan alur serah simpan karya cetak dan karya rekam dalam dialog dengan pimpinan media di Perpusnas Jakarta, Selasa (14/6/2022).
Tatat, yang ditemani rekannya, Vincentya Dyah Kusumaningtyas, juga memastikan keamanan dari penyimpanan dan penyerahan karya itu ke Perpusnas. Lebih dari tiga lapisan pengamanan yang diterapkan di Perpusnas untuk melindungi karya cipta masyarakat yang diterimanya.
Asmono menambahkan, kini menjadi sebuah keniscayaan bagi pengelola media cetak untuk menyerahkan karyanya dalam format digital (epaper) kepada Perpusnas. Apalagi, kini Perpusnas dan perpustakaan di daerah semakin mengikuti perkembangan zaman, dengan melakukan digitalisasi.
Selain itu, penyerahan karya cetak dan karya rekam secara digital akan menekan biaya bagi penerbit, dalam menyerahkan karyanya. Selama ini penerbit menyerahkan karya cetak itu secara langsung sehingga membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain itu, tak sedikit penerbit yang terlupa menjalankan kewajiban UU itu gegara keterbatasan sumber daya.
Padahal, dengan menyimpan karyanya di Perpusnas, penerbit/produsen membukakan jendela bagi khalayak untuk melihat masa lalu sambil memprediksi masa depan.