Pendidikan akan memberi perempuan kemandirian mengambil keputusan, kemerdekaan dalam sikap dan tindakan, dan terlibat dalam pengambilan keputusan.
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·4 menit baca
Ilmuwan filsafat dan budayawan Prof Dr Toety Heraty Noerhadi-Rooseno menyampaikan orasi ilmiah ”Dialog Dengan Kematian” menandai peralihan menjadi anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 20 Maret 2014. Saat itu sepupu Toeti, Prof Dr Indrawati Ganjar Roosheroe, juga menyampaikan orasi ilmiah bertajuk ”Kehidupan Mikroorganisme”. Keduanya memasuki usia 80 tahun.
Tujuh tahun kemudian, 13 Juni 2021, Toeti meninggal. Setahun kemudian, Senin (14/6/2022), memperingati satu tahun berpulangnya Toeti, diluncurkan secara daring program beasiswa Toeti Heraty Scholarships untuk perempuan belajar di perguruan tinggi.
Ada sembilan penerima, masing-masing 1 untuk program S-3, 3 penerima program S-2, dan 5 penerima untuk program S-1. Juga diluncurkan buku berisi orasi ilmiah Toeti Heraty dan Indrawati berjudul ”Dialog Dengan Kematian dan Kehidupan Mikroorganisme”, diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Peluncuran program beasiswa bagi perempuan diinisiasi keempat anak Toeti bersama Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Menurut anak bungsu Toeti sekaligus pengawas YJP, Cyril Noerhadi, program pemberian beasiswa bertujuan untuk melanjutkan cita-cita Toeti Heraty.
Toeti yang terbuka pada keberagaman, dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Karena itu saat ini beasiswa diberikan bagi peminat kajian feminisme dan jender serta filsafat dalam bingkai keberagaman sosial dan budaya Indonesia.
Kemandirian
Dalam diskusi daring mengiringi peluncuran beasiswa dan buku membahas topik ”Pendidikan Tinggi untuk Perempuan Indonesia”, Karlina Supelli, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengajukan argumen pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan. Bukan semata demi mendapatkan ilmu itu sendiri, tetapi karena pendidikan memampukan perempuan mandiri mengambil keputusan, bersikap dan bertindak merdeka, dan menjadi agen perubahan.
Dengan memakai data Badan Pusat Statistik, Karlina mengajukan pertanyaan, mengapa angka partisipasi sekolah perempuan hingga tamat perguruan tinggi lebih tinggi dari laki-laki, tetapi partisipasi dalam dunia kerja jauh lebih rendah.
Bukan semata demi mendapatkan ilmu itu sendiri, tetapi karena pendidikan memampukan perempuan mandiri mengambil keputusan, bersikap dan bertindak merdeka, dan menjadi agen perubahan.
Untuk pendidikan tinggi bidang STEAM (science, technology, engineering, arts, mathematic) angka partisipasi perempuan di atas 50 persen, kecuali untuk fisika yang 38,9 persen. Bahkan, untuk bidang kedokteran mencapai 73 persen.
Karlina mengajukan sejumlah penjelasan. Salah satu yang utama adalah masih ada tekanan kuat dari budaya mengenai peran perempuan yang memengaruhi pilihan bidang pendidikan dan kedudukannya setelah menikah. Perempuan masih dituntut menjadi pengurus utama rumah tangga dengan akibat beban ganda, di rumah dan di dunia kerja.
Infografik Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2020
Demografer dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Dr Mayling Oey-Gardiner, mengajukan hipotesis siswa perempuan lebih mengikuti aturan di sekolah sehingga tingkat partisipasi sekolahnya lebih tinggi.
Hipotesis lain, perempuan yang lebih mandiri dianggap mengancam keberadaan laki-laki sehingga partisipasi perempuan dihalang-halangi laki-laki yang lebih dominan di dunia kerja. Sementara Prof Dr Melani Budianta dari Universitas Indonesia menengarai nilai-nilai patriarki yang masih kuat menyebabkan perempuan sulit menembus langit-langit kaca di tempat kerja.
Karlina menekankan upaya memperjuangkan pendidikan perempuan tidak boleh berhenti sampai tujuan tercapai. Tujuan itu bukan hanya kesetaraan dalam kesempatan dan akses, tetapi untuk memperjuangkan hal paling dasar, yaitu kehidupan.
Penyebabnya, dalam bidang teknologi, industri, kesehatan dan kedokteran, misalnya, desain produk, seperti mobil dan obat-obatan, bila hanya dirancang pria faktanya telah mengabaikan fisik dan fisiologi perempuan yang berbeda dari laki-laki sehingga hasilnya dapat membahayakan hidup perempuan.
Kekeliruan
Dalam banyak penelitian dengan lensa feminisme dan jender, bias kebijakan dan budaya lebih sering merugikan perempuan. Ilmuwan seperti Amartya Sen serta pasangan ekonom Esther Duflo dan Abhijit Banerjee membuktikan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan.
Sen berargumen, pendidikan membuat perempuan mendapat pekerjaan bernilai ekonomi di luar rumah serta memberi pilihan dan kemampuan menghindar dari kekerasan dalam berbagai bentuk di rumah tangga dan komunitas.
Karena itu, membangun ekosistem yang dapat membantu perempuan untuk berperan dalam dunia kerja hingga mencapai posisi pengambil kebijakan menjadi penting. Salah satunya, kebijakan yang membuat perempuan dengan anak dapat bekerja tenang melalui penyediaan tempat penitipan anak yang terjangkau perempuan dan memberi rasa aman.
Karlina juga menyebut adalah keliru melihat keberhasilan beberapa perempuan di ranah publik menandakan tidak ada lagi masalah bagi perempuan. Pandangan itu adalah pengaruh neoliberalisme yang menekankan pada individu. Perjuangan perempuan haruslah bagi semua perempuan, bukan orang per orang.
Infografik Ijazah Teritinggi
Pada akhirnya pendidikan akan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan daya nalar mencapai aras lebih tinggi, seperti seorang Toeti Heraty yang mendialogkan kematian secara rasional dengan membandingkan berbagai teori filsafat dan religi menghadapi kematian.