Selama puluhan tahun, negara-negara penyimpan dan produsen vaksin cacar seolah tutup mata dengan penyebaran cacar monyet di Afrika. Ketimpangan akses kesehatan ini telah menjadi sumber masalah kesehatan global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Penumpang dari Singapura tiba saat berlangsung pemindaian suhu tubuh oleh Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Surabaya di Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (17/5/2019). Pengawasan kepada penumpang yang baru tiba dari luar negeri terutama Singapura diperketat untuk mencegah masuknya penyebaran penyakit virus monkeypox atau cacar monyet.
Tiba-tiba saja, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat mengeluarkan stok vaksin cacar (smallpox) untuk melawan wabah cacar monyet (monkeypox) yang melanda mereka. Ternyata, sumber daya untuk mengatasi penyebaran cacar monyet telah lama tersedia, hanya saja tidak untuk Afrika yang dalam beberapa dekade bergulat menghadapi penyakit ini.
Wabah cacar monyet di luar zona endemik Afrika baru-baru ini dilaporkan pada 7 Mei 2022 ketika kasus pertama dikonfirmasi pada seseorang yang kembali ke Inggris dari Nigeria. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 8 Juni 2022 menyebutkan, 1.285 kasus cacar monyet dikonfirmasi di 28 negara di luar Afrika yang menjadi zona endemik penyakit ini. Jumlah ini meningkat signifikan karena seminggu sebelumnya baru 505 kasus.
Mayoritas (87 persen) kasus yang dikonfirmasi berasal dari Eropa (1.112 kasus). Amerika Serikat melaporkan 153 kasus, Mediterania Timur 14 kasus, dan Pasifik Barat 6 kasus. Sekalipun jumlah kasus terus bertambah, tetapi tidak ada korban jiwa.
Selain kecepatan deteksi dan perawatan dini, negara-negara maju ini kini menerapkan strategi ”vaksinasi cincin” untuk mengerem penyebaran virus. Ini melibatkan pemberian vaksin cacar, yang dianggap efektif melawan cacar monyet.
”Karena virus monkeypox berkaitan erat dengan virus penyebab penyakit cacar, vaksin cacar dapat melindungi orang dari penyakit cacar monyet. Data masa lalu dari Afrika menunjukkan bahwa vaksin cacar setidaknya 85 persen efektif dalam mencegah cacar monyet,” sebut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS dalam panduan penanganan cacar monyet.
Menurut CDC, vaksin cacar ini dinilai efektif melindungi orang dari cacar monyet bila diberikan sebelum terpapar cacar monyet. Vaksinasi setelah paparan cacar monyet dapat membantu mencegah penyakit atau membuatnya tidak parah.
Sejak mengidentifikasi kasus pada awal bulan ini, Inggris telah memberikan vaksinasi cacar kepada lebih dari 1.000 orang yang berisiko tertular dan membeli 20.000 dosis lagi. Pejabat Uni Eropa juga telah memesan lebih banyak vaksin cacar dari Bavarian Nordic, pembuat satu-satunya vaksin cacar yang berlisensi di Eropa. Sementara itu, AS telah mengirim sekitar 700 dosis vaksin cacar ke negara bagian, lokasi kasus dilaporkan.
Padahal, menurut laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Afrika, cacar monyet telah mewabah berdekade di benua ini tanpa ada vaksinasi untuk mengendalikannya. Penyakit zoonotik ini pertama kali terdeteksi menyerang manusia pada tahun 1970 di wilayah di Republik Demoratik Kongo, dan sejak itu sebagian besar kasus dilaporkan di daerah pedesaan dan sekitar hutan.
Pada tahun 2017 terjadi lonjakan tiba-tiba dengan lebih dari 2.800 kasus dilaporkan di lima negara Afrika. Lonjakan ini berlanjut, memuncak pada tahun 2020 dengan lebih dari 6.300 kasus yang dicurigai, dan Kongo menyumbang 95 persen dari total kasus. Jumlahnya kemudian turun pada tahun 2021 menjadi sekitar 3.200 kasus yang dicurigai.
Data terbaru, ada lebih dari 1.400 kasus cacar monyet, terdiri dari 1.392 suspek dan 44 terkonfirmasi. Korban jiwa mencapai 63 orang di tujuh negara endemik Afrika, yaitu Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Nigeria, dan Sierra Leone.
AHMAD ARIF
Distribusi geografis kasus terkonfirmasi dan suspek cacar monyet di nonnegara endemik antara 13 dan 21 Mei 2022, pada pukul 13:00. Sumber: WHO.
Tingginya korban jiwa di Afrika, bahkan melebihi pasien yang terkonfirmasi, menunjukkan adanya masalah dalam pemeriksaan, selain perawatan. Sekalipun telah lama bergelut dengan penyakit cacar monyet, Afrika tak memiliki vaksin atau antivirus untuk melawannya. Orang yang dicurigai menderita cacar monyet diisolasi dan dirawat secara konservatif, sementara kontak mereka hanya dipantau.
Menurut WHO, vaksin baru yang dikembangkan untuk cacar (MVA-BN, juga dikenal sebagai Imvamune, Imvanex atau Jynneos) telah disetujui untuk digunakan mencegah cacar monyet di tahun 2019. Namun, sejauh ini vaksin tersebut belum tersedia secara luas. Sekalipun demikian, orang yang telah divaksinasi cacar di masa lalu berpotensi memiliki perlindungan terhadap cacar monyet.
Karena virus ’monkeypox’ berkaitan erat dengan virus penyebab penyakit cacar, vaksin cacar dapat melindungi orang dari penyakit cacar monyet.
Secara global, stok vaksin cacar (smallpox) memang terbatas karena penyakit yang memiliki tingkat kematian hingga 30 persen ini telah dinyatakan bisa diberantas sejak tahun 1980. Cacar menjadi penyakit menular pertama yang berhasil diberantas dengan vaksinasi.
Meski begitu, beberapa negara ternyata menyimpan stok vaksin cacar, terutama karena khawatir bahwa variola, virus yang menyebabkan cacar, dapat dijadikan senjata atau secara tidak sengaja lepas dari laboratorium tempat menyimpan sampel (Nature, 8/6/2022).
Selama ini, negara-negara penyimpan dan produsen vaksin cacar seolah tutup mata dengan penyebaran cacar monyet di Afrika. Realitas ini menyingkap betapa ketimpangan terhadap akses kesehatan terus terjadi. Di dunia yang semakin terhubung seperti sekarang, ketimpangan akses kesehatan sekali lagi menjadi sumber masalah bagi semua orang. Negara-negara miskin yang dibiarkan menjadi daerah endemik penyakit menular pada akhirnya bisa menjadi sumber penularan wabah secara global.