Penerbit Buku Kompas menerbitkan buku biografi ”Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi” karya Maria Hartiningsih dan Agung Adiprasetyo. Buku ini menyajikan kisah kegigihan, ketekunan, hingga kehidupan Nafsiah Mboi.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kesehatan 2012-2014 Nafsiah Mboi telah melalui berbagai jalan yang berliku dalam memperjuangkan kesehatan dan kesejahteraan Indonesia, terutama masyarakat Nusa Tenggara Timur. Semua upaya itu dilakukan Nafsiah tidak hanya dengan kegigihan dan ketekunan, tetapi juga cinta dan kepedulian yang besar.
Kisah kegigihan, ketekunan, hingga kehidupan Nafsiah Mboi terangkum dalam buku biografinya, Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi karya Maria Hartiningsih dan Agung Adiprasetyo. Buku yang diluncurkan di Jakarta, Selasa (14/6/2022) ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Selain kedua penulis dan Nafsiah Mboi, acara peluncuran buku tersebut juga dihadiri kerabat serta sejumlah tokoh, seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2005-2009 Aburizal Bakrie dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Rikard Bagun. Sejumlah tokoh yang hadir juga menyampaikan pandangan terhadap isi buku dan sosok Nafsiah Mboi, baik kehidupan pribadi maupun dalam profesionalitas pekerjaan.
Maria Hartiningsih menyampaikan, buku biografi ini sangat relevan dibaca oleh semua kalangan. Sebab, buku ini menyajikan kisah kegigihan dan ketulusan seorang Nafsiah Mboi yang bekerja dalam memperjuangkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada beberapa periode pemerintahan.
“Bu Naf dan Pak Ben Mboi bekerja dengan sangat luar biasa dalam satu rezim yang katanya otoriter. Bu Naf hadir untuk melengkapi pekerjaan Pak Ben. Kita tidak bisa membayangkan NTT saat itu dan sekarang wilayah tersebut memiliki kemajuan yang luar biasa,” ujarnya.
Salah satu prinsip dalam hidup saya, pengalaman dari NTT atau di mana saja menunjukkan bahwa semua yang bersifat partisipatif dan inklusif hasilnya lebih baik.
Buku biografi ini memiliki 15 bab. Salah satu bab mengisahkan perjalanan Nafsiah dan sang suami, Ben Mboi yang merupakan Gubernur NTT 1978-1988, dalam meningkatkan kesejahteraan warga NTT. Meski berdarah Bugis, Nafsiah mengaku mencintai NTT dan menjadi dokter spesialis anak pertama yang melayani masyarakat di sana.
Dalam satu bab lainnya, dikisahkan juga kerja keras dan kegigihan Nafsiah dalam isu pemberdayaan perempuan serta organisasi masyarakat sosial pembangunan selama 10 tahun menjadi istri seorang gubernur. Ia pun berhasil mendirikan sejumlah organisasi baru dan menghidupkan organisasi yang sudah ada.
Atas kegigihan dan kepeduliannya ini, Nafsiah menorehkan catatan baik di level nasional maupun internasional. Tercatat, Nafsiah menjadi orang Asia pertama yang menjadi ketua Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) dan perempuan Indonesia pertama yang menduduki posisi direktur pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara Aburizal Bakrie memandang sosok Nafsiah sebagai seorang yang cerdas dan memiliki berbagai terobosan meski kerap tidak disetujui beberapa pihak. Hal ini ditunjukkan saat ia berusaha menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS dengan memasifkan penggunaan alat kontrasepsi. Namun, dengan kegigihannya dalam memberikan penjelasan, terobosan ini pun akhirnya dapat disetujui.
Perfeksionis
Maria mengakui bahwa menulis biografi Nafsiah tidaklah mudah. Maria juga merasa takut karena ia tidak terlalu mengenal Nafsiah secara personal. Dulu, perkenalan mereka diakui cukup berjarak mengingat saat itu Maria berprofesi sebagai wartawan yang kerap mengkritik kebijakan dan Nafsiah merupakan menteri kesehatan atau pejabat publik.
“Akan tetapi, dalam proses menulis biografi ini, banyak sekali hal dari Bu Naf yang baru saya ketahui. Saya baru tahu bahwa Bu Naf tidak memiliki rumah sampai 2005 karena diusir dari kediamannya di Jalan Gatot Soebroto dengan cara yang tidak terhormat,” katanya.
Dalam kesempatan lain, kesulitan menulis biografi ini juga dirasakan Maria karena Nafsiah merupakan seseorang yang perfeksionis dan keras dalam berprinsip. Hal ini tidak terlepas dari sikap Nafsiah yang sangat mengetahui hal-hal yang penting di dalam hidupnya.
Sikap perfeksionis ini juga dirasakan langsung oleh Agung Adiprasetyo. Bahkan, buku ini diterbitkan setelah melalui 67 kali koreksi oleh Nafsiah. Hal ini semata-mata untuk memastikan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan bisa memperoleh hasil yang sempurna.
“Integritas yang ditunjukkan Bu Naf dan Pak Ben dalam buku ini menjadi pelajaran penting tentang sukses dari sisi lain. Bahkan, Bu Naf tidak melihat masalah sebagai sebuah masalah. Di tangan Bu Naf, semua hal remeh bisa menjadi emas,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nafsiah turut mengapresiasi kerja keras kedua penulis dalam menyajikan biografinya di tengah sejumlah keterbatasan, khususnya karena pandemi. Dengan rendah hati, ia juga mengungkap bahwa pembuatan biografi tersebut memberikan banyak pelajaran berharga.
“Salah satu prinsip dalam hidup saya, pengalaman dari NTT atau di mana saja menunjukkan bahwa semua yang bersifat partisipatif dan inklusif hasilnya lebih baik. Oleh karena itu, saya selalu menekankan bahwa biografi ini merupakan buku kita bersama,” ungkapnya.