Eufemisme ternyata bisa membuat lebih daripada memperhalus bahasa saja. Eufemisme menyebabkan sesuatu yang lebih serius, yaitu memanipulasi kualifikasi moral.
Oleh
K Bertens
·3 menit baca
Kita menggunakan eufemisme untuk memperhalus tuturan atau tulisan. Karena itu, cara bicara eufemistis tidak menyangkut segi dalam atau arti bahasa, tapi sebatas segi luar atau tampaknya saja.
Jika dikatakan bahwa seorang manusia sudah mati, hal itu bisa benar, tetapi rasanya ungkapan itu kurang pas, kurang enak kedengarannya. ”Mati” kita katakan tentang tumbuhan, pohon, atau binatang. Akan tetapi, tentang manusia kita katakan bahwa ia meninggal dunia.
Namun, jika bicara tentang kaum ningrat, kata terakhir ini pun masih terasa kurang cocok. Tentang sultan atau raja harus kita katakan bahwa beliau mangkat. Kenyataan yang ditunjukkan dengan kata-kata ini sama, tetapi jika kita dengar atau baca, nadanya berbeda. Dan jika kita menggunakan bahasa—lisan ataupun tertulis—nadanya penting juga.
Eufemisme dapat dipakai dalam berbagai konteks. Salah satu kemungkinan adalah bidang politik. Peristiwa politik besar yang terjadi belum lama ini menyajikan contoh. Ketika tentara Rusia masuk wilayah Ukraina pada 24 Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kejadian itu ”suatu operasi militer khusus”.
Ini jelas sebuah eufemisme karena, dengan demikian, ia coba memperlunak aksinya bagi telinga dunia luar. Namun, dunia internasional berbicara tentang perang Rusia melawan Ukraina. Mereka menyebut aksi Putin itu penyerangan, invasi, agresi. Dan memang sulit disangkal bahwa dengan peristiwa di Ukraina itu mulailah perang pertama di daratan Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Di sini eufemisme ternyata bisa membuat lebih daripada memperhalus bahasa saja. Eufemisme menyebabkan sesuatu yang lebih serius, yaitu memanipulasi kualifikasi moral. Suatu operasi militer biasa tidak perlu menjadi persoalan moral dan operasi khusus pun tidak.
Terlepas dari konteksnya, aksi macam itu bersifat netral dan tidak boleh langsung diberi kualifikasi moral yang jelek. Namun, lain halnya jika terjadi penyerangan oleh negara satu terhadap negara berdaulat lain. Kejadian macam itu langsung tampak sebagai bertentangan dengan norma moral dan hukum internasional.
Eufemisme menyebabkan sesuatu yang lebih serius, yaitu memanipulasi kualifikasi moral.
Bukan saja dalam bidang politik eufemisme bisa disertai konsekuensi moral, dalam kehidupan umum hal itu bisa terjadi juga. Contoh yang menarik adalah kata prostitusi atau pelacuran, beserta kata untuk pelakunya, pelacur.
Di Indonesia, kata terakhir ini sering diganti dengan WTS yang berarti ”wanita tunasusila”. Kata ini sebenarnya tidak bisa disebut eufemisme karena konotasi moralnya masih sangat negatif, meskipun jika dipakai singkatannya sifat negatif itu sudah sedikit diperhalus.
Tahun-tahun terakhir ini timbul alternatif yang lebih jelas berstatus eufemisme, yaitu pekerja seks. Bahasa Indonesia mengambil alih sebutan ini dari bahasa lain. Dari sudut pandang moral, kata ini tampak netral. Orang bisa bekerja di banyak bidang.
Sekarang di Eropa ada negara yang secara konsekuen mengakui pekerjaan ini. Pelakunya harus mempunyai izin kerja, harus membayar pajak, dan seterusnya, sama seperti pekerja lain. Akan tetapi, kalau bahasa diubah, konsekuensi itu tidak perlu menyusul secara mutlak walaupun tidak bisa disangkal, ada logikanya juga.
K Bertens, Guru Besar Emeritus Unika Atma Jaya, Jakarta