Melindungi Kepercayaan Lokal, Menjaga Warisan Ilmu Mengelola Alam
Ragam kepercayaan lokal Nusantara bukan sekadar sistem religiositas bagi para penganutnya. Selain mengandung nilai-nilai kebaikan, ajarannya juga mengajak manusia mengelola alam dengan bijak demi kelestarian lingkungan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Ragam kepercayaan lokal Nusantara bukan sekadar sistem religiositas bagi para penganutnya. Selain mengandung nilai kebaikan, ajarannya mengajak manusia mengelola alam dengan bijak demi kelestarian lingkungan. Namun, eksistensinya digerus zaman seiring minimnya pengakuan dan ruang hidup yang menyusut.
Jauh sebelum agama universal (yang diakui negara) sampai ke Tanah Air, masyarakat Nusantara memiliki berbagai sistem kepercayaan yang jadi panduan hidup. Tidak hanya dalam interaksi sesama manusia, tetapi juga terhadap makhluk lainnya, termasuk lingkungan sekitarnya.
Dalam kehidupan penganutnya, menjaga alam jadi bagian dari spiritualitas. Kesejahteraan manusia bergantung pada kelestarian hutan dan alam di sekitarnya.
Masuknya agama-agama universal menjadi tantangan penganut kepercayaan lokal atau agama leluhur untuk bertahan. Sejumlah komunitas beradaptasi dengan menyesuaikan nilai dan ajaran yang masih selaras. Namun, tak sedikit harus tertatih melintasi zaman dan penganutnya terus berkurang.
Kepercayaan lokal sering mendapat justifikasi sebagai ajaran primitif. Menurut Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Samsul Maarif, penilaian itu menormalisasi pandangan merendahkan komunitas tertentu sehingga harus dihentikan.
”Padahal, agama mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia. Yang perlu kita lakukan adalah merombak bangunan pengetahuan yang merendahkan tersebut,” ujarnya dalam bincang ”Khazanah Agama Lokal: Sejarah, Pergumulan, dan Pengakuan” yang digelar secara daring oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jumat (10/6/2022).
Samsul menuturkan, sejumlah pandangan kepercayaan lokal menegaskan keselarasan untuk keberlanjutan kehidupan. Kehidupan tersebut bukan hanya berfokus pada manusia, tetapi juga keterkaitan dengan makhluk lainnya dan ekosistem.
”Menjaga keharmonisan orang dan yang lain, misalnya dengan alam. Nilai-nilai ini terdapat di sejumlah komunitas kepercayaan lokal,” katanya.
Masuknya agama-agama universal menjadi tantangan penganut kepercayaan lokal atau agama leluhur untuk bertahan. Sejumlah komunitas beradaptasi dengan menyesuaikan nilai dan ajaran yang masih selaras. Namun, tak sedikit harus tertatih melintasi zaman dan penganutnya terus berkurang.
Samsul mencontohkan masyarakat adat Samin yang memprotes berdirinya pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Hal itu dilakukan demi melindungi dan melestarikan alam di sekitarnya. ”Apa yang mereka lakukan adalah bentuk religiositas karena memanifestasikan kosmik order dalam keseharian,” katanya.
Selain pengakuan dari negara, penganut kepercayaan lokal memerlukan dukungan dari masyarakat umum untuk tak menghakimi mereka dengan pandangan keliru. Stigma sebagai ajaran kolot mesti dipatahkan. Sebab, keberadaan mereka bagian dari kekayaan dan kemajemukan bangsa.
”Masyarakat adat yang mempertahankan sistem hidup sangat religius adalah warisan dan bagian dari khazanah lokal. Ini sesungguhnya bisa kita pakai untuk mempertahankan planet ini. Dengan begitu, agama (kepercayaan) lokal terus ada dan berkembang,” jelasnya.
Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN Syamsurijal mengatakan, dalam proses masuknya agama-agama universal, ada upaya untuk mengakomodasi kepercayaan lokal Nusantara. Mereka memeluk agama tersebut, tetapi sebagian tetap mempraktikkan tradisi budaya dan kepercayaan lokal.
”Di samping itu, masyarakat penganut kepercayaan punya strategi sendiri untuk bertahan. Mereka beradaptasi terhadap perubahan dan bernegosiasi dengan cara-cara tertentu,” ujarnya.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mimikri, yaitu mencoba mengikuti atau meniru agama universal. Namun, sejumlah kekhasan dari kepercayaan lokal tetap dipertahankan sebagai identitas komunitas mereka.
Akan tetapi, tak jarang praktik itu membuat mereka disudutkan karena dituduh menyimpang. Padahal, mereka tetap menjalankan perintah agama dan menjalankan nilai-nilai kebaikan dalam kepercayaan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
”Mereka menganggap nilai-nilai kebaikan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dirangkul dan dilaksanakan bersama. Ini yang terjadi di komunitas masyarakat lokal kita,” ucapnya.
Menurut Syamsurijal, tantangan penganut kepercayaan lokal semakin kompleks. Sebab, mereka juga dihadapkan pada penyingkiran budaya melalui kebijakan-kebijakan yang tidak memihak mereka.
Mereka juga melawan melalui jalur hukum. Salah satu buah manisnya adalah melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga sesuai kepercayaan masing-masing.
”Tetapi, itu belum cukup karena masih banyak ruang hidup mereka yang belum dijamin dan dijaga, terutama dalam pengelolaan alam dan lingkungan. Padahal, hal itu merupakan bagian dari kepercayaan mereka. Dengan mudah korporasi atau investor masuk ke sana dan mengeksploitasi alam. Itu yang terjadi sampai saat ini,” jelasnya.
Pelaksana Tugas Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Yogaswara menuturkan, meskipun telah diatur dalam putusan MK, masih terdapat keluhan dari penghayat kepercayaan saat mengisi kolom agama di KTP. Persoalan lainnya menyangkut pembangunan kompleks pemakaman dan wilayah sakral.
”Diskusi ini harus mampu mencerahkan isu-isu tersebut. Respons cepat dari pusat riset sangat diperlukan dalam memberikan masukan kepada pemerintah, seperti apa kebijakan nanti yang akan ditelurkan,” ucapnya.
Sejak lama, ajaran kepercayaan lokal telah menuntun kehidupan masyarakat Nusantara. Kini, saat eksistensinya terus terancam, mereka tidak minta diistimewakan, tetapi untuk dilindungi dan dijamin hak-haknya seperti warga negara lainnya.