Ancaman kerusakan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Oleh sebab itu, konservasi tidak sebatas terhadap bangunan candi, tetapi juga kawasan di sekitarnya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kerusakan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tak hanya dipengaruhi oleh faktor internal. Oleh sebab itu, konservasi tidak sebatas terhadap bangunan candi, tetapi juga kawasan di sekitarnya yang mendukung pelestarian candi tersebut.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo mengatakan, kawasan Borobudur merupakan kawasan konservasi sekaligus kawasan strategis nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pengelolaan kawasan itu juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya.
”Selama ini justru yang tidak pernah diperhatikan adalah kelestarian ruang atau kawasan sekitar Candi Borobudur yang sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dengan candi sebagai warisan dunia,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Marsis menyebutkan, regulasi tersebut dibuat untuk mengatur penggunaan ruang di sekitar Borobudur agar kualitas lingkungan terjaga sehingga mendukung kelestarian candi. Namun, perubahan tata guna lahan di sekitar kawasan candi terus terjadi.
Pembangunan fisik untuk mendukung sektor pariwisata, seperti hotel, homestay, rumah makan, dan lainnya dibangun tanpa melalui prosedur heritage impact assessment. Padahal, prosedur ini merupakan ketentuan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
”Oleh karena itu, upaya pelestarian yang harus dilakukan sebenarnya tidak hanya terhadap bangunan candinya, tetapi juga harus menjadi kesatuan yang utuh dengan upaya pelestarian kawasan Borobudur,” katanya.
Penghijauan
Menurut Marsis, pelestarian kawasan Borobudur secara fisik meliputi penghijauan untuk mengembalikan suasana rural lanskap, reboisasi lereng utara perbukitan Menoreh demi memperbaiki daerah tangkapan air, dan pengelolaan sampah organik yang ramah lingkungan agar kualitas kesuburan tanah di sekitarnya tidak menurun.
Regulasi tersebut dibuat untuk mengatur penggunaan ruang di sekitar Borobudur agar kualitas lingkungan terjaga sehingga mendukung kelestarian candi. Namun, perubahan tata guna lahan di sekitar kawasan candi terus terjadi
Upaya pelestarian lainnya yang tidak kalah penting adalah terhadap sumber daya kebudayaan atau obyek pemajuan kebudayaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. ”Yang masih ada dan hidup di tengah masyarakat Borobudur berupa living culture, di antaranya adat istiadat, kesenian tradisi, upacara adat, makanan tradisional, dan sebagainya. Hal ini akan memberikan warna budaya lokal dan identitas budaya,” jelasnya.
Kerusakan di Candi Borobudur di antaranya berupa keausan pada bagian batu tangga naik, khususnya pada sisi timur dan sisi utara. Hal ini diakibatkan oleh gesekan alas kaki para pengunjung ketika naik dan turun candi. Keausan sangat terlihat jelas dengan kondisi permukaan batu tangga yang cekung karena sudah tergerus.
Selain itu, pada dinding relief banyak mengalami kebocoran. Imbasnya, saat musim hujan, terjadi rembesan air yang mengakibatkan bagian dinding selalu basah dan lembab. Kondisi ini membuat tumbuhan dan jasad renik (lumut dan alga) dapat tumbuh subur sehingga berpotensi mengancam kelestarian dalam jangka panjang.
”Ancaman serius lainnya adalah penggaraman dan sementasi pada dinding relief akibat rembesan air hujan dan evaporasi (penguapan) air yang masuk ke dalam batuan candi. Hal ini dapat merusak kulit batu candi. Belum lagi proses pelapukan batu karena ageing (penuaan) bisa memperparah kerusakan kulit batu, terutama pada bagian relief yang dipahat secara rumit dan detail,” jelasnya.
Pembahasan mengenai Candi Borobudur menyita perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Hal ini berawal dari wacana pemerintah menaikkan harga tiket untuk naik ke bangunan candi. Meskipun ditunda, wacana ini sempat menuai polemik.
Pemerintah berencana menaikkan tarif tiket ke bangunan candi untuk membatasi jumlah pengunjung. Tarif tiket bagi turis domestik naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 750.000, sedangkan tiket turis mancanegara naik dari 20 dollar AS menjadi 100 dollar AS. Adapun pelajar dikenai biaya Rp 5.000.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengusulkan penundaan kenaikan tarif itu kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut dia, diperlukan langkah-langkah sebelum menaikkan tarif (Kompas, 8/6/2022).
Akan tetapi, membatasi jumlah pengunjung untuk konservasi bukan sebatas dengan menetapkan harga tiket tinggi. Sebab, tidak ada jaminan orang yang mampu membayar tiket masuk Rp 750.000 tidak melanggar peraturan dan merusak candi.
Pengajar arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, upaya konservasi meliputi benda cagar budaya dan nilai-nilainya. ”Borobudur difungsikan sebagai alat atau sarana pendidikan, itu sebetulnya sudah menjadi keuntungan. Tidak harus berupa materi duit. Itu yang harus diperhitungkan,” ujarnya.
Penetapan tarif masuk hanya salah satu faktor pengendali pembatasan pengunjung di Borobudur. Namun, upaya konservasi juga membutuhkan peran pengunjung untuk ikut menjaga cagar budaya.