Forum Civil 20 atau C20 mendorong dibentuknya sistem kesehatan yang inklusif bagi seluruh masyarakat. Cakupan kesehatan semesta pun didorong.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Forum Civil 20 atau C20 mendorong dibentuknya sistem kesehatan yang inklusif bagi seluruh masyarakat. Hal ini sejalan dengan misi negara-negara G20 untuk membangun pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi yang mungkin terjadi ke depan.
Skema cakupan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) dinilai sesuai untuk menyediakan layanan kesehatan inklusif. Namun, penerapan UHC di beberapa negara mengalami sejumlah tantangan, terutama negara berpendapatan rendah dan menengah.
Peneliti Prakarsa, Eka Afrina, mengatakan, penerapan UHC di negara berpendapatan rendah menengah kerap terkendala dana yang terbatas. Menurut perhitungan para ahli, alokasi dana kesehatan yang ideal adalah 5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Namun, dana kesehatan di sejumlah negara kurang dari 5 persen.
”Belanja kesehatan Pemerintah Brasil pada 2019 hanya 3,91 persen dari PDB, sementara Pemerintah China 3 persen,” kata Eka pada forum Civil 20 (C20) di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (9/6/2022).
Mengutip laman Kementerian Keuangan, anggaran kesehatan Indonesia pada 2019 sebesar Rp 123,1 triliun atau 5 persen dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebanyak Rp 89,8 triliun dialokasikan untuk pusat, sementara Rp 33,4 triliun lainnya ditransfer ke daerah.
Kendala lain dalam penerapan UHC adalah kurangnya kapasitas dan sumber daya. Pasien dan keluarganya masih kerap membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi rumah tangga.
Sebelumnya, Direktur WHO Collaboration Center for Mental Health di Melbourne, Australia, Helen Herrman mengatakan, 100 juta orang jatuh miskin setiap tahun karena membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Adapun UHC memastikan layanan kesehatan bagi semua orang tanpa membuat mereka kesulitan finansial.
Menurut anggota Komite Penasihat Civil Society Engagement Mechanism (CSEM), Masaki Inaba, UHC mesti responsif terhadap kebutuhan masyarakat. UHC juga mesti menerapkan prioritas, terutama kepada populasi penduduk rentan.
Pasien dan keluarganya masih kerap membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi rumah tangga.
Ia menambahkan, UHC sejalan dengan visi negara-negara untuk membuat sistem pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi yang akan datang. Ini karena UHC dinilai dapat merespons krisis kesehatan di masyarakat. UHC meniadakan rintangan soal biaya dan memastikan akses yang adil terhadap vaksin, obat, hingga alat diagnostik.
”Memperkuat sistem kesehatan adalah cara paling efisien dan berkelanjutan untuk membangun kesiapsiagaan terhadap pandemi,” kata Masaki.
Sebelumnya, negara-negara G20 sepakat membentuk Dana Perantara Keuangan atau FIF sebagai mekanisme pendanaan global untuk pandemi. Sumber daya keuangan tersebut dapat digunakan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, hingga merespons pandemi. Penanganan pandemi diharapkan lebih baik, termasuk dalam hal akses medis, terutama di negara berkembang.
”Setidaknya sejumlah negara sudah menyampaikan komitmen untuk FIF sebesar 1 miliar dollar AS. Untuk Indonesia, kita setuju memberikan dana 50 juta dollar AS. Diharapkan negara lain yang belum melakukan hal itu bisa segera ikut berperan,” ucap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Kompas, 7/6/2022).
Secara terpisah, Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan Grace Wangge mengatakan, kesetaraan dalam hal teknologi hingga alat medis dibutuhkan untuk menghadapi potensi pandemi. Namun, akses terhadap kebutuhan medis ini dianggap belum merata di sejumlah negara. Indonesia dalam presidensi G20 mendukung pemerataan akses kesehatan ini.