Gerimis menderu. Penonton berhamburan. Di atas panggung, Firdha Nurul Ilmi (15) bergeming sembari tetap melantunkan syair ”kabanti”. Remaja ini mendendangkan syair kebaikan dan nilai hidup yang tergulung deru zaman.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Gerimis menderu. Penonton berhamburan. Di atas panggung, Firdha Nurul Ilmi (15) bergeming sembari melantunkan kabanti. Remaja ini mendendangkan syair kebaikan dan nilai hidup yang dilupakan dan semakin tergulung deru perubahan zaman.
Memegang kertas yang mulai basah dan tulisannya luntur akibat rinai hujan, siswi kelas VII SMA 2 Baubau ini tak bergerak seinci pun. Ia melantunkan syair-syair kabanti penuh khidmat. Suaranya bersahutan dengan deru hujan, mengisi seantero Lapangan Banabungi, Pasarwajo, Buton, Sulawesi Tenggara, Senin (23/5/2022) malam.
”Siy saanggu nidham oni Wolio/ I Karangina Sultani Mo Adili/ Ku Karangia betao paiyasaku/ Bara salana beku ose kaadari// sio siomu opu a tarimaaku/ Beku emangi incaku mo madakina/ ku sarongia kabanti incia siy/ Bula Malino ka pekarunana inca//,“ tutur Firdha dari atas panggung.
”Ini adalah puisi bahasa Wolio. Buah karya sultan nan adil. Kumembacanya sebagai cermin hidupku. Dengan harapan dapat kuamalkan semua ajaran. Semoga Tuhan menolongku. Akan kulawan perangai jahatku. Kunamai karangan puisi ini. Purnama jernih pelembut peringai,” begitu arti penggalan kabanti tersebut.
Hujan makin bergemuruh. Firdha mempersingkat syair kabanti yang dibawakannya. Sang ayah, Bardin (46), memanggil dari tepi panggung agar segera turun.
Syair kabanti yang ia bawakan berjudul ”Bulo Malino” atau Bulan yang Tenang. Firdha bercerita, kabanti ”Bulo Malino” ini berisi pesan kehidupan, mengikuti ajaran agama, dan berbagai nilai kebaikan lainnya.
”Ada misalnya yang berarti, kita semua akan kembali ke Tuhan. Atau, berguru kepada seribu orang pun tidak berguna jika tidak berguru kepada diri sendiri,” ucapnya sembari mengingat-ingat beberapa bait syair tersebut.
Sejak kecil, Firdha telah mendengar syair kabanti dari sang ayah. Seiring waktu, ia semakin menyukai syair dan langgam kabanti. Terlebih, membaca kabanti tidak seperti berbicara biasa, tetapi dengan nada dan penekanan tertentu.
Ia mulai rutin mempelajari kabanti meski dalam aksara Latin. Syair kabanti aslinya ditulis dalam aksara Wolio atau Arab-Melayu (pegon). Sang ayah mengajarinya cara melantunkan kabanti.
”Harus ada penekanan di kata tertentu agar maknanya sesuai. Penekanan huruf, itu tidak sama. Jadi harus terus belajar,” ucapnya.
Bardin, sang ayah, menambahkan, Firdha memang salah satu anak remaja yang tidak ”biasa”. Sebab, jarang remaja seumurannya yang tertarik dengan kabanti. Bahkan, orang dewasa pun beberapa tidak lagi tahu cara melantunkan kabanti.
Seperti dalam pentas kali ini, anak bungsunya tersebut bermaksud mengikuti lomba kabanti yang sedianya akan dilangsungkan dalam kegiatan pelepasan Napak Tilas Oputa Yi Koo, pahlawan nasional dari tanah Buton. Tapak tilas ini adalah rangkaian dalam peringatan HUT Ke-58 Sulawesi Tenggara yang dipusatkan di Baubau.
Bardin dan istrinya, Azniah (44), serta Firdha berkendara sekitar 50 kilometer dari Baubau menuju Buton.
”Akan tetapi, kata panitia, pesertanya hanya dua orang, itu pun yang satu sudah orang tua. Jadi anak saya dipanggil untuk menjadi pengisi acara,” kata Bardin. ”Masalahnya tidak semua orang mau dan bisa melantunkan kabanti saat ini. Padahal, syair ini penuh nilai kehidupan yang menjadi penuntun hidup.”
Sejak ratusan tahun lalu masyarakat Buton sudah akrab dengan kabanti. Orang-orang berpendidikan terbiasa bertutur dengan cara bersajak. Isinya mengandung tema yang luas, seperti hikayat, petuah kebaikan, dan kehidupan berumah tangga.
Naskah kesusastraan Buton saat ini dikoleksi oleh beberapa keluarga ahli waris atau pengumpul naskah, seperti koleksi almarhum AM Zahari yang mencapai 300-an judul. Kehadiran naskah susastra dalam khazanah kepustakaan Buton diperkirakan ada sejak abad ke-17 dan mencapai kegemilangan pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-29, La Ode Muhammad Aydrus Qaimuddin (Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, 2014).
La Ode Abdul Munafi, penulis buku sekaligus budayawan Buton, menjelaskan, secara harfiah, kabanti berarti sajak atau syair, yang merupakan bagian tradisi tulis masyarakat Wolio. Kabanti biasa dilantunkan dalam perayaan adat, juga dalam keseharian.
Kabanti merupakan sajak yang penuh metafora moral dan prinsip kehidupan. Langgamnya serupa orang yang berdendang, tetapi teksnya berisi ajaran dalam banyak hal tentang kehidupan. ”Misalnya, kabanti kantoruna mohelana atau lampunya orang yang berlayar. Itu bukan orang melaut mencari ikan, tetapi ternyata itu pelayaran rohani. Proses hamba menuju Tuhan,” jabarnya.
Dalam perjalanannya, kabanti juga menjadi media untuk mengajarkan ajaran Islam, sekaligus kompas moral setiap orang. Nilai dalam sajak dijadikan pegangan hidup, yang menyasar semua lapisan masyarakat.
Akan tetapi, kabanti perlahan tergerus seiring kemajuan zaman. Saat ini, kabanti, juga aksara Wolio, semakin hilang dari keseharian. Orang hanya mendengar kabanti ketika ada perayaan atau kegiatan tahunan pemerintah.
”Upaya untuk mengenalkan kembali tentu kita apresiasi. Namun, upaya ini harus terlembaga dalam keseharian, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan formal, hingga organisasi kemasyarakatan. Sebab, nilai yang terkandung di dalamnya adalah pegangan dalam menjalani hidup,” tutur Munafi.
Sekretaris Daerah Baubau Roni Muhtar menyampaikan, saat ini peran kabanti memang perlahan hilang seiring perkembangan zaman. Masyarakat, khususnya generasi muda, sebagian tidak lagi mengenal kabanti, terlebih memahami pesan dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Padahal, ia menambahkan, kabanti memiliki makna yang begitu lekat dengan kehidupan, baik urusan manusia dengan tuhan, dengan sesama, maupun dengan alam sekitar. ”Kabanti dalam pelajaran tentu sering menjadi nilai yang ditanamkan oleh guru. Namun, untuk pelajaran reguler, sampai sekarang memang belum ada. Semoga ke depan bisa dibuat lebih kontinu lagi.”
Kabanti adalah bagian kekayaan tradisi dan budaya masyarakat Buton untuk generasi ke depan. Bagi remaja seperti Firdha, mempelajari kabanti membuatnya mengenal asal-usul dan memberikan pemahaman akan hidup yang lebih baik. ”Belum fasih dan masih terus belajar. Jadi lebih tahu seperti apa nenek moyang dulu memberikan pesan ke anak cucu,” katanya.
Seperti beragam tradisi lain di Indonesia yang mulai luntur, Firdha hanya segelintir dari generasi yang tertarik akan kabanti dan pesan kehidupan di dalamnya. Perkembangan zaman, disertai ketidakpedulian, membuat ingatan akan tradisi semakin lesap.