Gajah jantan berusia 10 tahun mati karena terkena jerat listrik, tetapi pada bangkainya tidak ditemukan gading yang diduga diambil untuk diperdagangkan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KUTACANE, KOMPAS - Kasus kematian gajah sumatera yang ditemukan tanpa gading mulai terungkap. Polres Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, menahan tiga terduga pelaku. Namun, sepasang gading yang hilang belum diketahui keberadaannya.
Kepala Polres Aceh Tenggara Ajun Komisaris Besar Bramanti Agus Suyono, dihubungi Senin (23/5/2022), mengatakan, setelah penemuan bangkai, timnya bergerak cepat melakukan penyelidikan.
Sejumlah saksi diperiksa untuk dimintai keterangan. Dari serangkapan pemeriksaan, polisi menahan tiga terduga pelaku, yakni ST (57), MA (21), dan BS (45). Ketiganya adalah warga Desa Bunbun, Kecamatan Leuser, Aceh Tenggara.
”ST adalah pemilik kebun yang memasang kabel listrik bertegangan tinggi. Sementara MA dan BS ikut membantu menguburkan bangkai gajah,” katanya.
Orang yang pertama kali melihat bangkai gajah adalah ST pada Kamis (5/5/2022). Kemudian dia mengajak dua warga lain membantu menguburkan. Bangkai gajah ditutup terpal plastik dan dikuburkan di kebunnya.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh baru mengetahui ada kematian gajah pada Selasa (10/5/2022). Dalam keterangan pers, BKSDA menyebutkan gajah yang mati itu jenis kelamin jantan, usia sekitar 10 tahun. Sepasang gading tidak ditemukan pada kepala gajah itu.
ST memasang kabel listrik di kebun untuk melindungi tanaman jagung dari binatang liar. Saat bangkai gajah itu ditemukan, tak jauh dari posisi bangkai terdapat kabel listrik telanjang. Kematian gajah itu baru diketahui pada hari kedelapan.
Gadingnya hilang. Kami masih mendalami siapa pencurinya. (Bramanti Agus)
Pembunuhan gajah dengan menggunakan kabel listrik tegangan tinggi kerap dilakukan warga. Kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie pada 2020. Di Aceh Jaya lima gajah mati sekaligus setelah terkena listrik. Para pelaku ditangkap dan divonis bersalah.
Bramanti mengatakan, setiap orang akan terkena pidana jika menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, dan memperniagakan satwa lindung. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, maksimal hukuman 5 tahun penjara.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Aceh Hadi Sofyan mengatakan, kasus kematian gajah itu harus diusut tuntas karena ada potensi perdagangan gading. Sepasang gading yang hilang menjadi sinyal kuat adanya praktik perdagangan.
Konflik besar
Gajah yang mati itu dikatakan selama ini berkeliaran di kawasan perkebunan. Akan tetapi, pada masa lampau kawasan itu adalah hutan habitat gajah. Saat ini, sebagian besar populasi gajah berada di luar kawasan konservasi sehingga potensi konflik besar dan ancaman keberlangsungan hidup satwa lindung juga tinggi.
Program Manager Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan mengatakan, kasus kematian gajah terus berulang dan motifnya nyaris sama. Dia berharap penegakan hukum harus tuntas sampai pada siapa penampung gadingnya.
Menurut dia, perdagangan satwa lindung masih marak terjadi. Selain gajah, satwa seperti harimau, burung rangkong, dan trenggiling juga banyak diburu. Bagian tubuh satwa lindung dari Aceh dijual hingga ke luar negeri.
Missi mengatakan, kasus yang ditangani kepolisian semakin banyak, tetapi hukuman bagi pelaku masih rendah, mayoritas di bawah tuntutan jaksa. Selain itu, auktor inteletualis atau penampung juga nyaris tidak tersentuh hukum.
”Saya berharap kasus perdagangan satwa lindung dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, ada efek jera lebih berat,” ujarnya.