Karhutla Merebak, Hujan Buatan Mulai Dilakukan di Sumsel dan Jambi
Hujan buatan di wilayah Sumsel dan Jambi mulai dilakukan untuk mencegah bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang sudah merebak di wilayah itu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Badan Riset dan Inovasi Nasional mulai melakukan teknologi modifikasi cuaca hujan buatan di wilayah Sumsel dan Jambi. Hal itu dilakukan untuk mencegah bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang sudah merebak di sejumlah kawasan di Sumatera Selatan. Apalagi, saat ini Sumsel sudah memasuki musim kemarau.
Koordinator Lapangan Kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Wilayah Sumsel-Jambi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Tukiyat, seusai mengikuti peluncuran TMC, di Posko TMC yang terletak di Pangkalan TNI Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang, Palembang, Senin (23/5/2022), mengatakan, operasi ini merupakan salah satu upaya mitigasi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel dan Jambi.
TMC hujan buatan diawali dengan pemonitoran cuaca melalui radar untuk mengamati potensi awan hujan. Jika awan kumulonimbus yang berada di ketinggian 13.000 kaki ditemukan, segera diterbangkan pesawat Casa yang membawa garam (NaCl) sebanyak 800 kilogram (kg) sebagai bahan semai.
Garam tersebut akan dituangkan ke dalam awan dengan harapan awan kumulonimbus akan terus membesar dan akan terjadi penggabungan dengan awan lain serta berlanjut dengan kondensasi sehingga dapat menghasilkan hujan.
Operasi TMC penyemaian awan hujan itu direncanakan berlangsung selama 15 hari ke depan atau hingga 6 Juni 2022. Hanya saja, hingga Senin, tim masih menunggu pesawat Casa yang akan digunakan untuk menyemai awan hujan. ”Namun, saya tidak tahu kapan pesawat akan didatangkan. Semua masih dalam koordinasi pemerintah pusat,” ucap Tukiyat.
Pelaksanaan TMC dilakukan pada periode ini mengingat peluang awan kumulonimbus yang membawa potensi hujan masih ada di beberapa wilayah. Pelaksanaan TMC akan diawali dengan pemonitoran cuaca melalui radar untuk mengamati potensi awan hujan.
Berdasarkan hasil survei, TMC penyemaian awan hujan dapat menambah intensitas hujan antara 15 persen sampai 35 persen dari intensitas normal. Hasil TMC yang dilakukan di Riau beberapa bulan menunjukan TMC dapat menambah intensitas hujan hingga 15 persen dari curah hujan normal yang terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Penambahan hujan hasil TMC ini, ujar Tukiyat, diharapkan akan membasahi rawa gambut sehingga potensi kebakaran lahan bisa ditekan. TMC diharapkan dapat menghujani beberapa kawasan rawan karhutla di Sumsel, seperti Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin.
Adapun untuk wilayah Jambi, TMC diharapkan dapat membasahi daerah Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Desindra Deddy Kurniawan menuturkan, saat ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan penyemaian awan hujan karena masih ada pertumbuhan awan hujan. Pertumbuhan awan dimungkinkan terjadi karena fenomena La Nina yang lemah masih muncul sampai akhir 2022. Fenomena itu terbentuk dari uap air dari Samudra Pasifik di ekuator bagian tengah yang mendingin dan terbawa angin hingga ke Indonesia.
Jika dilihat dari citra satelit, pada 23 Mei-25 Mei dan 27 Mei-28 Mei 2022 masih ada peluang hujan ringan hingga sedang di Sumsel. Sementara pada 26 Mei dan 29 Mei Sumsel akan mengalami penurunan intensitas hujan yang cukup signifikan.
Namun secara keseluruhan, ungkap Desindra, Sumsel sudah memasuki awal musim kemarau, tepatnya pada dasarian III bulan Mei-dasarian II bulan Juni. Bahkan, di dasarian II bulan Mei sejumlah daerah di bagian barat Sumsel, curah hujannya terpantau rendah, yakni di bawah 50 milimeter (mm) per dasarian. Hal itu terjadi di Ogan Komering Ulu, Prabumulih, dan Ogan Ilir.
Karena jika lahan gambut sudah terbakar besar, berapa pun helikopter (pengebom air) yang akan diterjunkan tidak akan mempan.
Adapun di daerah rawan karhutla yang berada di sebelah timur Sumsel, seperti Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, masih terjadi hujan.
Meski demikian, ujar Desindra, kewaspadaan harus ditingkatkan karena, memasuki akhir Juni 2022, seluruh wilayah Sumsel akan masuk musim kemarau dan akan mencapai puncaknya pada Juli-September. ”Di masa itu, rata-rata intensitas hujan di Sumsel di bawah 50 mm. Bahkan, ada daerah yang intensitas hujannya hanya 6 mm-10 mm,” ucapnya.
Luasan meningkat
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Ferdian Krisnanto menyebut, walau belum memasuki puncak musim hujan, beberapa daerah di Sumsel sudah mengalami kebakaran. Luas lahan terbakar di Sumsel pada periode Januari-April 2022 telah mencapai 240 hektar yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Musi Rawas Utara, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Ilir.
”Hal ini sesuai dengan prediksi BMKG di mana intensitas hujan di tiga kawasan tersebut cukup rendah,” ucapnya.
Luasan lahan yang terbakar itu meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021 yang hanya 16 hektar. Hal itu sama dengan kebakaran lahan di wilayah Sumatera yang juga meningkat. Pada periode Januari-April 2022, luas kebakaran lahan di Sumatera mencapai 16.580 hektar atau lebih luas dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 9.825 hektar.
Tahun ini, provinsi dengan luas lahan terbakar paling luas ada di Sumatera Barat sebesar 8.183 hektar dan Lampung 3.551 hektar. Dari data ini, ucap Ferdian, sudah sepatutnya semua pihak lebih waspada.
Menurut Ferdian, pelaksanaan TMC ini harus dibarengi dengan upaya dari pemerintah dan perusahaan untuk menangkap hujan yang dihasilkan seoptimal mungkin sehingga, ketika musim kemarau melanda, kawasan yang rawan terbakar, utamanya gambut, masih tetap basah.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan Iriansyah menyebut, Sumsel merupakan provinsi rawan terbakar karena memiliki 1,3 juta hektar lahan gambut. Pada Mei 2022, sudah terpantau titik panas hingga 316 titik, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 139 titik panas.
Kondisi ini harus menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih waspada. ”Karena, jika lahan gambut sudah terbakar besar, berapa pun helikopter (pengebom air) yang akan diterjunkan tidak akan mempan,” ujarnya.