Bunga bangkai mekar di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Minggu (22/5/2022). Kelestarian tanaman itu kini terancam oleh alih fungsi lahan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Bunga bangkai (Amorphophallus paeoniifolius) bermekaran di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Minggu (22/5/2022). Uniknya, tak hanya satu, melainkan banyak bunga bangkai yang menampilkan mahkotanya dan tersebar di kebun-kebun warga.
Mekarnya bunga-bunga bangkai mengundang decak kagum. Sebagian bunga tersembunyi di antara semak dan tanaman perdu. Sewaktu berkesempatan menelusur di sejumlah lokasi bersama warga sekitar, Kompas mendapati salah satu yang tengah mekar dengan diameter dan tinggi bunganya sekitar 60 sentimeter.
Di tengah rasa kagum akan keindahan bunga itu, seorang warga menemukan lagi bunga bangkai tak jauh dari situ. Ternyata ada belasan bunga bangkai di satu lokasi saja. Bunga-bunganya berwana ungu tua pada bagian atas dan ungu kekuning-kuningan pada bagian bawah. Setelah semak dan tanaman perdu dibersihkan, makin tersingkaplah keindahan yang ada di sana.
Fenomena mekarnya bunga-bunga bangkai sudah dianggap biasa oleh warga lokal, ”Dari dulu tanaman ini memang banyak tumbuh di sini,” ujar Bujang, warga Jambi Tulo, Minggu (23/5/2022).
Kerap didapati pula bunga bangkai berada di bawah pohon duku dan durian. Pohon-pohon berakar besar dan berdaun lebat jadi naungan yang nyaman dan aman bagi pertumbuhan bunga bangkai.
Turun-temurun masyarakat setempat menyebut bunga itu dengan nama kubut. Di sejumlah daerah lain di Sumatera, bunga bangkai disebut kibut. Di wilayah Jawa, spesies ini lebih populer dengan nama suweg.
Seingat Adi, warga sekitar, persebaran kubut di masa lalu lebih luas. ”Dulu hampir semua kebun warga ditumbuhi kubut,” ujarnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, populasi kubut tak lagi sebanyak yang lalu. Tumbuhan jenis ini hanya berkumpul pada lokasi tertentu, sedangkan pada bagian lain kubut makin sulit ditemui.
Kelestarian tanaman itu tengah terancam oleh alih fungsi lahan. Di salah satu lokasi, tampak beberapa batang pohonnya mati terkena tebasan parang. Lahan yang dulunya ditumbuhi pohon duku (Lansium domesticum) itu rencananya akan digantikan menjadi kebun sawit.
Menurut Adi, petani makin banyak berganti budidaya tanaman sejak pohon-pohon duku mati terserang penyakit. ”Sampai sekarang, wabah penyakit pohon-pohon duku ini belum ada solusi penanggulangannya dari pemerintah daerah,” katanya.
Lahan yang dulunya ditumbuhi pohon duku ( Lansium domesticum) itu akan digantikan menjadi kebun sawit.
Fenomena kematian tanaman duku yang terus menyebar membuat petani putus asa. Karena tiada solusi, sebagian petani lalu berganti budidaya ke tanaman sawit. Apalagi, harga buah sawit terus membaik belakangan. Hal itu kian menarik minat petani.
Apalagi, meskipun kubut tumbuh endemik di wilayah itu, masyarakat belum memanfaatkannya. Berbeda dengan porang (Amorphophallus muelleri Bl.) yang masih satu genus. Porang sempat diburu masyarakat untuk diolah umbinya menjadi tepung, sedangkan umbi kubut tidak dimanfaatkan.
Menurut Dobet, petani setempat, masyarakat kurang mengetahui manfaat kubut sehingga mereka membiarkannya saja. Kurang peduli jika tumbuhan yang masih berkerabat dekat dengan titan arum alias bunga bangkai raksasa (A. titanum) itu ada ataupun tiada.
Padahal, hasil riset sejumlah peneliti di Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jambi mendapati tanaman itu sebenarnya dapat dimanfaatkan lebih jauh. Penelitian terdahulu bahkan telah mengungkap mengungkap umbi suweg memiliki prospek sebagai sumber bahan pangan karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Dapat dikembangkan menjadi pati maupun tepung. Bisa juga dikelola menjadi beragam produk pangan.
Adapun umbi suweg yang memiliki kadar amilum sebesar 83,86 persen merupakan sumber energi dan kalori. Rasio kadar amilosa 24,9, menjadi sumber kekebalan tubuh. Begitu pula kadar amilopektin 58,95 persen, juga merupakan sumber energi.
Tim dari LIPI, Yupi Isnaini, Sri Wahyuni, dan Eka Martha Della Rahayu juga menemukan berkembangnya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan ini di masyarakat meskipun masih sangat terbatas. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, suweg diperdagangkan di pasar tradisional, semisal di Ambarawa, dalam bentuk umbi mentah. Umbi itu direbus atau dikukus, lalu dimakan dengan taburan kelapa, dibubuhi garam atau gula.
Di Jawa Timur, olahan serupa dibuat masyarakat setempat. Ada pula yang menggorengnya setelah dikukus, atau digoreng dengan balutan adonan tepung.
Dalam Jurnal Biodiversitas, April 2020, Tim peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Padjadjaran, yang terdiri atas Asep Zainal, Denny Kurniadie, Johan Iskandar, Muhamad Nurzaman, dan Ruhyat Partasasmita mendapati suweg juga dimanfaatkan masyarakat di Jawa Barat, persisnya Kabupaten Majalengka.
Dari hasil penelitian, didapati suweg sejak masa lampau menjadi sumber makanan tambahan karbohidrat, pakan ikan, dan upacara adat. Namun, penggunaan upacara adat telah kehilangan arti pentingnya. Sebagai sumber pangan, anak-anak sangat menyukai penganan yang diolah dari umbi suweg.
Dosen Ekologi Tumbuhan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi, Nursanti, mengatakan, bunga bangkai atau Amorphophallus paeiniifolius yang bersinonim dengan Amorohophallus campanulatus, cocok tumbuh pada lahan bertanah alufial. Tumbuh subur pada kondisi bernaungan rindang.
Hingga kini, status bunga bangkai tersebut tidak dilindungi. Dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), suweg atau kubut juga berstatus least concern atau sedikit perhatian. ”Namun, bukan berarti tidak ada ancaman,” ujarnya.
Beberapa tahun silam, Nursanti mengaku masih kerap mendapati bunga bangkai di kebun dan hutan. Pembukaan monokultur sawit dan akasia besar-besaran belakangan ini bagai predator yang masif mengancam kelestariannya. ”Sekarang bunga bangkai tidak mudah lagi ditemukan,” ujarnya.
Menurut Nursanti, kelestariannya patut dijaga untuk memperkaya biodiversitas di Indonesia. Salah satunya dengan memanfaatkannya, misalnya sebagai aset pariwisata. Keberadaan suweg bisa mendatangkan wisatawan jika desa-desa diberdayakan mengelolanya dalam konsep ekowisata sehingga biodiversitas terjaga, ekonomi masyarakat juga tumbuh.
Peneliti bunga bangkai dari Badan Riset dan Inovasi, Destri, mengatakan, penting untuk menjaga kelestarian bunga bangkai. Karena itu, manfaatnya perlu diperkenalkan kepada masyarakat di sekitar habitat hidupnya.
Akan lebih baik lagi jika dilakukan penangkaran (eks situ). ”Tetapi, ini butuh biaya, butuh lahan, dan juga tenaga,” ujarnya. Dalam hal ini, masyarakat dapat didampingi kebun raya di daerah setempat.
Bagaimanapun, lanjutnya, perlindungan terbaik adalah menjaga habitatnya tetap lestari.