Vonis Tiga Orang Rimba dan Harapan atas Ruang Hidup
Janji pemerintah akan ruang hidup bagi Orang Rimba masih terus dinanti. Selama itu belum terwujud, konflik demi konflik bisa jadi akan kembali berulang.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Seusai menerima vonis dari majelis hakim Pengadilan Negeri Sarolangun, Provinsi Jambi, Besile, Besayung, dan Ngeleta akhirnya menghirup kembali udara bebas. Ketiganya mengaku hanya ingin pulang untuk menjalani hidup damai setelah menjalani masa tahanan 6 bulan 14 hari.
”Haropon kami kehadopnye piado permasalahon lagi segelo masyarakat bisa hidup damai (harapan kami untuk ke depan tidak ada lagi masalah dan semua orang bisa hidup damai),” ungkap Besayung berusaha berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik, Jumat (20/5/2022).
Hari itu, Besayung bersama kedua rekannya diantar polisi rimba dan sejumlah pendamping pulang ke komunitasnya di wilayah Sarolangun.
Satu hari sebelumnya, ketiga warga komunitas pedalaman itu mengikuti sidang putusan secara daring di tahanan Markas Kepolisian Resor Sarolangun.
Ketua Majelis Hakim Deka Diana, bersama anggota majelis hakim, M Yuli Setiawan dan Yola Nindia, menyatakan, ketiganya terbukti melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka berat. Atas perbuatannya itu, mereka divonis hukuman 6 bulan 14 hari dipotong masa tahanan. Mereka juga dikenai denda Rp 5.000.
Karena telah menjalani masa tahanan yang sama lamanya dengan vonis, ketiganya boleh pulang, Jumat lalu.
Bagi Besayung, Besile, ataupun Ngeleta, masa tahanan itu terasa sangat berat karena mereka harus terpisah dari keluarga dan komunitasnya. Kehilangan kebebasan sebagaimana kehidupan mereka yang selalu menjelajah di tengah hutan. Karena itu, cukup sekali peristiwa yang mereka alami itu terjadi.
Meskipun konflik yang terjadi menyematkan penyesalan, salah satu pemimpin adat di komunitas itu, Temenggung Ngelembo, mengatakan, Orang Rimba membutuhkan solusi dari negara. Solusi yang dimaksud adalah ruang hidup dan ruang kelola yang memadai bagi komunitas itu.
”Kamia haropko Orang Rimba ado penghidupon sehingga masyarakat bisa hidup berdampingan (kami berharap Orang Rimba ada sumber penghidupan sehingga bisa hidup berdampingan dengan masyarakat lain),” ungkapnya.
Memungut sawit
Peristiwa yang dialami Besayung, Besile, dan Ngeleta berlangsung pada November 2021. Awalnya, sejumlah perempuan dari komunitas Orang Rimba sedang memungut butir-butir kelapa sawit yang sudah terlepas dari tandan buah segar dan terserak di tanah. Tiba-tiba, mereka didatangi petugas keamanan perusahaan yang mengelola kebun tersebut. Petugas lalu merampas hasil kerja mereka.
Tindakan petugas keamanan itu pun membuat para perempuan Orang Rimba ketakutan sehingga mereka berteriak-teriak histeris. Teriakan tersebut membuat warga kelompok Orang Rimba berdatangan.
Setibanya di sana, Besayung bermaksud melindungi para perempuan. Namun, ia malah dipukuli petugas keamanan. Demi melindungi Besayung, dua warga lainnya, Besile dan Ngeleta, melepaskan tembakan senjata kecepek, senjata rakitan yang biasanya mereka gunakan untuk berburu babi. Naas, tembakan mengenai tiga petugas keamanan itu hingga terluka.
Besayung sendiri mengalami luka cukup parah di kepala akibat dipukul petugas keamanan. Petugas medis sampai harus menjalin 17 jahitan untuk menghentikan darah di kepalanya.
Keributan ini akhirnya menyebabkan tiga lokasi permukiman Orang Rimba diamuk anggota keluarga petugas keamanan yang terluka. Mereka dikejar-kejar massa. Kelompok Orang Rimba itu pun lari ke hutan demi menyelamatkan diri.
Beberapa hari kemudian, ketiganya menyerahkan diri kepada polisi setelah dibantu para pendamping dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Demi menyelesaikan persoalan, Bupati Sarolangun Cek Endra juga turun tangan memediasi konflik. Ia menfasilitasi sidang perdamaian pada awal Januari lalu. Adapun polisi menjaminkan keamanan bagi warga rimba yang berada di sana.
Setelah mendapatkan jaminan keamanan dari polisi, ketiga warga akhirnya menurut untuk ditahan. Mereka pun rela menjalani seluruh masa tahanan dan proses persidangan. Adapun pihak petugas keamanan sampai kini belum disentuh hukum.
Persoalan itu merupakan buntut dari hilangnya ruang hidup dan ruang kelola Orang Rimba, berganti menjadi perkebunan sawit swasta. (Robert Aritonang)
Robert Aritonang, antropolog Orang Rimba dari KKI Warsi, mengatakan, upaya perdamaian oleh kepala daerah serta jaminan keamanan dari aparat patut diapresiasi. Namun, Orang Rimba masih menantikan janji pemerintah akan ruang hidup dan ruang kelola bagi mereka.
”Selama belum terwujud, konflik demi konflik akan kembali berulang,” ujar Robert yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan.
Ia menyebut persoalan itu merupakan buntut dari hilangnya ruang hidup dan ruang kelola Orang Rimba, berganti menjadi perkebunan sawit swasta. Dari data yang dihimpun KKI Warsi, lebih dari 900 keluarga yang semula menjelajah di wilayah itu kini terpaksa hidup di bawah vegetasi kelapa sawit dan akasia. Kehidupan mereka, yang semula penghuni wilayah, kini berganti status jadi menumpang hidup di lahan perkebunan kelapa sawit atau akasia milik korporasi. Situasi itu menempatkan mereka menjalani kehidupan serba sulit.
”Keadilan sesungguhnya adalah keadilan dalam hak berpenghidupan. Hak inilah yang dirampas para pemegang konsesi dari Orang Rimba. Semoga kasus ini membuka mata semua pihak demi kembalinya hak berpenghidupan Orang Rimba,” katanya.
Ditambahkan, kasus tersebut merupakan puncak dari konflik-konflik terdahulu. Hal ini yang membuat penting sekali untuk memitigasi konflik dengan pengakuan hak berpenghidupan Orang Rimba.
Tanpa menyentuh akar persoalan ini, lanjutnya, konflik serupa akan terus terjadi. Di kebun sawit tidak lagi ada umbi di dalam tanah. Tidak ada lagi pohon buah untuk konsumsisehingga Orang Rimba terpaksa memungut biji kelapa sawit yang terserak di tanah untuk ditukarkan beras agar mereka bisa hidup.