Anugerah Kebudayaan dari Kota Kelahiran untuk Sindhunata
Budayawan Sindhunata bersama empat orang lainnya mendapatkan Anugerah Budaya 2022 dari Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, bekerja sama dengan dewan kesenian setempat.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
BATU, KOMPAS — Pemerintah Kota Batu dan Dewan Kesenian Kota Batu memberikan Anugerah Kebudayaan 2002 kepada Gabriel Possenti Sindhunata SJ atau yang juga dikenal sebagai Romo Sindhu dan empat seniman lainnya. Para seniman dinilai turut membawa nama Batu dalam kiprahnya di tingkat nasional maupun internasional.
Penganugerahan berlangsung di Gedung Graha Pancasila, Balai Kota Amongtani, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (20/5/2022) malam. Selain Sindhunata, empat seniman lain yang mendapatkan anugerah adalah Sujopo Sumarah Purbo (seni tari), almarhum Agus Triwahyudi (seni reog), Miftach Abdul Hadi (seni rupa), dan almarhum Sukisno Doyok (seni ludruk). Sindhunata sendiri mendapat penghargaan dalam bidang seni sastra.
Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko mengatakan, seniman yang mendapatkan anugerah merupakan hasil penilaian dari para seniman sendiri. Harapannya, agenda seperti ini bisa dilaksanakan berkesinambungan agar seniman Batu yang berkarya di luar, seperti Romo Sindhu yang biasa menulis di Kompas,tetap terhubung dengan kota berhawa sejuk itu.
”Maestro kita banyak, tetapi mereka nge-topnya di luar Batu. Mungkin karena dulu Batu adalah sebuah kecamatan (di Kabupaten Malang), kalau tidak keluar dari Batu, tidak akan menjadi besar. Boleh berkarya di mana pun, tetapi jangan sampai lupakan Batu,” pesan Dewanti.
Menurut Dewanti, saat libur Lebaran kemarin, Batu dikunjungi setengah juta wisatawan. Namun, mereka hanya mengunjungi obyek wisata, bukan pertunjukan seni-budaya di kota tersebut. Oleh karena itu, pihaknya meminta dinas terkait untuk bisa memajukan dunia kesenian di Batu.
Ketua Dewan Kesenian Kota Batu Ki Sunarto mengatakan, Anugerah Kebudayaan ini merupakan apresiasi para seniman kepada budayawan dan maestro yang telah membawa Kota Batu ke kancah nasional dan internasional. Pendapat senada dilontarkan Ketua Panitia Anugerah Budaya RT Sudarno Hadipuro. Menurut dia, Kota Batu telah melahirkan banyak seniman besar yang berkiprah di kancah nasional dan internasional.
”Harapannya, dengan event ini, kelak Batu bisa jadi mercusuar seperti Yogyakarta dan Bali sebagai kota budaya,” ujar Sudarno. Pada kesempatan ini, Sudarno juga memberikan hadiah keris ”Ki Anak Bajang Menggiring Angin” buatan Empu KRT Hartonodiningrat Surabaya (warangka Made Ardika Bali) kepada Sindhunata.
Mewakili perasaan seniman yang memperoleh Anugerah Kebudayaan dari Kota Batu, Sindhunata mengaku bangga. Kebanggaan itu berbeda dengan rasa bangga yang dia dapatkan ketika mendapatkan penghargaan dari kota lain. ”Dari kota kelahiran saya (Batu), saya merasa apa yang bisa saya buat dalam menulis Anak Bajang tidak jatuh dari langit, tetapi dari perjalanan hidup. Dan Kota Batu menentukan karena saya lahir di sini. Saya percaya Batu penuh dengan roh seni, roh kebudayaan yang terus merambah,” katanya.
Menurut Sindhunata, Batu boleh jadi kota wisata yang dicintai banyak orang. Akan tetapi, jangan lupa Batu juga harus menjadi kota budaya karena budaya memberikan karakter sebuah kota. ”Karena kita punya keindahan luar biasa, jangan dirusak, tapi harus dihargai. Dan dengan budaya itu cara menghargainya,” ucapnya.
Sindhunata lahir di Kota Batu, 12 Mei 1952. Sindhunata muda mengawali karier kepenulisannya di majalah Teruna milik Balai Pustaka sebagai wartawan pada 1974-1977. Tahun 1977, Shindunata bekerja sebagai wartawan harian Kompas dan menjadi salah satu pendiri Bentara Budaya pada 1982.
Bedah buku
Seusai penganugerahan, acara dilanjutkan dengan bedah novel karya terbaru Sindhunata, yakni Anak Bajang Mengayun Bulan dengan narasumber pembanding Yusri Fajar. Anak Bajang Mengayun Bulan merupakan cerita tentang Anak Bajang kedua yang ditulis Sindhunata. Cerita ini dimuat secara bersambung di harian Kompas sejak 27 September 2021 hingga 7 Maret 2022. Ada 156 episode yang menyapa pembaca setiap hari selama lima bulan berturut-turut.
Novel yang menarik perhatian masyarakat ini juga telah dicetak beberapa kali dengan perwajahan sampul berbeda.
Pada 29 Maret lalu, novel Anak Bajang Mengayun Bulan yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama diluncurkan di Toko Buku Gramedia Yogyakarta. Novel ini menyusul karya sebelumnya, Anak Bajang Menggiring Angin, yang diterbitkan 1983 dan juga telah dimuat bersambung di harian Kompas.
Ide menulis Anak Bajang Mengayun Bulan ini muncul saat peresmian Museum Anak Bajang di rumah kebudayaan Omah Petroek di Hargobinangun, Kabupaten Sleman, DIY, yang dikelola oleh Sindhunata. Saat itu, tercetus olehnya untuk menulis seri Anak Bajang kedua dengan berbasis dari cerita wayang Arjunasasrabahu (Kompas, 26 September 2021).
Selama 40 tahun sebelumnya, Sindhunata lebih dulu menulis novel Anak Bajang Menggiring Angin yang berbasis cerita Ramayana. Cerita ini dimuat pertama kali di harian Kompas pada 1 Februari 1981 secara berseri hingga setahun. Novel yang menarik perhatian masyarakat ini juga telah dicetak beberapa kali dengan perwajahan sampul berbeda.
Berbeda dengan Anak Bajang Menggiring Angin, novel Anak Bajang Mengayun Bulan setebal 566 halaman ini menampilkan kisah bagaimana sebuah keluarga menjalani sukacita dan tragedi dalam kehidupan. Melalui para tokohnya, kita diajak kembali memaknai cinta, nafsu, dan kesempurnaan, yang baik dan yang buruk. Sebuah kisah yang menampilkan perjuangan sejati dan keikhlasan untuk mencintai sampai habis.
Anak Bajang Mengayun Bulan berkisah tentang saudara kembar, Sumantri yang berwajah rupawan dan Sukrosono yang bertampang sebaliknya. Keduanya lahir dari hasil pergulatan cinta dan nafsu antara Begawan Swandagni dan istrinya, Dewi Sokawati, di Pertapaan Jatisrana.
Karena berwajah jelek, kelahiran Sukrosono tidak diinginkan oleh ayahnya. Sang Begawan meminta bayi Sukrosono dibuang ke hutan meski mendapat penolakan dari Dewi Sukawati. Dalam perkembangannya, Sukrosono mampu bertahan, bahkan kemudian bisa bertemu dengan kakaknya dan Begawan Swandagni—yang pada akhirnya menyesal telah membuang anaknya itu.
Anak Bajang hanyalah dua dari sejumlah novel yang dihasilkan Sindhunata. Novel dan buku lainnya, antara lain, Aburing Kupu-kupu Kuning, Air Kata-Kata, Mata Air Bulan, Putri China, Anak-anak Semar, Menyusu Celeng, Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka, serta Jalan Hati Yesuit, dan Anak-anak Ignatius: Kontemplasi dalam Aksi.