Habitat Rusak, Kucing Superlangka Kalimantan Terancam Punah
Kucing merah Kalimantan perlu disorot karena keberadaannya yang terancam punah. Rusaknya habitat jadi salah satu faktor.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kucing merah atau yang dikenal juga dengan sebutan Borneo Bay-Cat kini terancam punah di habitat utamanya di Kalimantan karena berbagai macam faktor. Salah satunya adalah akibat hutan yang terus rusak. Untuk itu, pemerintah mulai menyoroti keberadaan kucing superlangka tersebut dengan mulai melakukan identifikasi sebarannya di Kalimantan Tengah.
Sebelumnya, seekor kucing merah (Catopuma badia) ditemukan peladang mati terjerat di Desa Joloi, Kecamatan Seribu Riam, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu. Meski dinilai tak sengaja terkena jerat pemburu babi hutan, tetapi sosialisasi dan edukasi terkait satwa dilindungi ini masih sangat minim.
Banyak pihak menyayangkan kejadian tersebut karena hingga kini kucing merah sudah sangat jarang dijumpai di alam. Bahkan, di Kalimantan Tengah, dari catatan Kompas, kucing merah itu terakhir dilihat melalui kamera jebak pada 2017 di hutan Rungan, perbatasan Kota Palangkaraya dengan Kabupaten Gunung Mas. Setelah itu, belum ada kamera jebak yang merekam perjumpaan dengan kucing merah.
Dosen Kehutanan di Institut Pertanian Yogyakarta, Siti Maimunah, menjelaskan, ancaman paling utama keberadaan kucing merah adalah aktivitas manusia yang merusak habitatnya. Siti, yang pernah meneliti berbagai satwa di Kalimantan Tengah, menjelaskan, jika kucing merah hidup di hutan kerangas yang dikenal memiliki banyak kandungan emas. Pertambangan emas ilegal yang supermarak di Kalteng tentunya mengancam kehidupan kucing hutan tersebut.
Hutan kerangas merupakan kawasan ekstrem yang sulit ditanami komoditas pertanian, tetapi kaya akan kandungan mineral di dalamnya. Kondisinya yang kering membuat kawasan ini lebih mudah terbakar. ”Oleh karena itu, kebakaran hutan dan lahan yang selama ini terjadi di Kalteng itu juga jadi bagian lenyapnya habitat dan si kucing merah itu sendiri,” kata Siti saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (20/5/2022).
Siti menambahkan, selain pertambangan legal dan ilegal, alih fungsi hutan menjadi hutan kawasan yang homogen juga menjadi faktor lain yang menunjang ancaman kepunahan kucing merah. Pembukaan lahan untuk pertanian yang masif pun demikian. ”Kucing merah itu terancam punah 90 persen karena habitat. Kalau ada yang sengaja memburu, itu tidak seberapa,” ujarnya.
Kucing merah yang merupakan satwa pemangsa puncak dinilai membantu para petani menghabiskan hama, seperti tikus, ular, dan binatang lain yang merusak tanaman. Namun, masih banyak orang yang memburu kucing merah karena ketidaktahuan dan menganggap satwa itu sebagai hama.
Hal itu, menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah Nur Patria Kurniawan, sebagai faktor lemahnya edukasi dan sosialisasi tentang keberadaan kucing superlangka tersebut. Belum banyak orang tahu bahwa kucing hutan ini dilindungi.
BKSDA Kalimantan Tengah, lanjut Nur, bakal memulai identifikasi dan kajian sebaran kucing hutan endemik Kalimantan sebagai bagian dari edukasi masyarakat. Sebagai pemangsa puncak di Kalimantan, penelitian terkait kucing merah masih sangat sedikit.
Karena itu, dalam waktu dekat, pihaknya bakal menggelar lokakarya atau workshop yang mengumpulkan para peneliti dan ahli yang pernah mengkaji sebaran juga perilaku satwa endemik Kalimantan itu, termasuk juga jenis kucing hutan lainnya. ”Minimal dari lokakarya itu kami mendapatkan data awal riset juga inventarisasi hingga melakukan monitoring selanjutnya,” kata Nur.
Pada tahun 2002, Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengklasifikasikan spesies kucing merah ke dalam status terancam punah dengan populasi kurang dari 2.500 ekor di dunia. Indonesia, khususnya pulau Kalimantan, menjadi tempat populasi terbanyak.
Kucing yang pertama kali dikenalkan oleh Jhon Edward Gray sekitar 148 tahun yang lalu itu merupakan satwa nokturnal atau lebih banyak beraktivitas di malam hari. Menurut Nur, hal itu menjadi faktor sulitnya meneliti lebih jauh satwa predator unggul itu.
Pegiat satwa dilindungi dari Kabupaten Murung Raya, Melky, yang menemukan kasus kucing merah terjerat, mengungkapkan, kucing merah minim sorotan dibandingkan dengan kucing emas asia (Felis temminckii) yang berada di Sumatera. Belum ada publikasi mendalam sejak temuan pertama 148 tahun yang lalu.
Berbeda dengan orangutan atau rangkong, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa kucing merah merupakan satwa dilindungi di Kalimantan. Kejadian terjeratnya kucing merah di hutan sekitar Desa Joloi itu menjadi pembelajaran bahwa masih perlu adanya pengenalan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lain tentang satwa-satwa yang dilindungi di Kalimantan.
”Keberadaannya terancam punah, jadi penyadaran dan edukasi begitu penting dan segera dilakukan,” kata Melky. Dia menambahkan, pemerintah perlu meningkatkan perlindungan kucing Kalimantan dan satwa dilindungi lainnya melalui kolaborasi multipihak agar hal serupa tidak terulang.