Max Margono, Guru dan Bapak bagi Semua Berpulang dalam Kesederhanaan
Kesederhanaan itu dibawa Max hingga ia tutup usia. Di dalam peti ia hanya terbungkus kain kafan putih. Kepada anak-anaknya, Max berpesan tidak mau membawa apa-apa ketika berpulang.
Wartawan senior Kompas, Max Margono, berpulang ke rumah Bapa di surga pada Rabu (18/5/2022) pukul 07.27 di RSPAD Gatot Soebroto. Pria kelahiran 25 Juni 1942 itu meninggalkan istri Monica Pontiar, 7 anak, dan 13 cucu.
Max dikenal dan dikenang sebagai sosok guru dan bapak yang memberikan pengalaman dan pengetahuannya kepada siapa pun. Bagi keluarga, kehidupan Max tidak berbeda jika berada di rumah atau di lingkungan pekerjaan dan sosial.
”Sosok bapak sederhana, tidak suka marah, ramah, dan bapak untuk semuanya yang perhatian tidak hanya kepada keluarga, tapi semuanya. Makanya papa di rumah dan di luar itu tak berbeda,” kata Maria Eva Puspita, anak bungsu pasangan Max dan Monica itu.
Sosok bapak untuk semua itu Eva rasakan saat melihat interaksi Max di sela pekerjaan atau saat setelah pensiun sebagai wartawan Kompas.
Dari situ, Eva melihat papanya kerap bertemu orang dengan latar belakang berbeda secara ramah dan terbuka, bahkan tak segan untuk saling berbagi rezeki.
”Papa enggak pernah memikirkan diri sendiri atau kerjanya itu hanya untuk keluarga tapi untuk semuanya. Hasil kerjanya juga dirasakan untuk semuanya. Berkat lebih dari Tuhan hanya titipan yang papa salurkan kepada yang lainnya. Dulu ingat masih tinggal di belakang kantor Kompas dekat lapangan ada teman-teman satpam dan OB ikut kumpul dan saat mama masak mereka juga ikut makan,” kenang Eva.
Menurut dia, dari pengalaman yang ia rasakan, papanya sebagai sosok yang tidak mau merasa hebat dan tidak perlu harus dihormati meski memiliki jabatan serta pengalaman.
”Karena ia merasa bukan siapa-siapa. Kerja dan jabatan papa hanya titipan. Orang yang juga mau belajar kepada siapa saja dan kehidupan. Belajar untuk memaafkan dan berbagi kasih. Dan, hidup sederhana,” lanjut Eva.
Baca Juga: 100 Tahun Rosihan Anwar, Buku Itu Tentu dan Perlu
Kesederhanaan itu ternyata dibawa Max hingga ia tutup usia. Di dalam peti ia hanya terbungkus kain kafan putih. Kepada anak-anaknya, Max berpesan tidak mau membawa apa-apa ketika dipanggil pulang.
”Papa hanya mau kain kafan seperti Tuhan Yesus saat dimakamkan dengan berbalut kain kafan,” ujarnya.
Guru hebat yang universal
Om Max, begitu Menko PMK Muhadjir Effendy memanggil Max Margono sejak ia mengenal pada 1970. Karier awal reporternya tak lepas dari sosok Max saat menjabat Kepala Biro Harian Kompas di Jawa Timur.
”Perhatiannya itu tidak hanya kepada wartawan Kompas, tetapi kami yang dulu masih muda banyak belajar dari Om Max. Itu tidak hanya belajar tentang jurnalistik, banyak pelajaran lainnya juga. Jadi wajar Om Max itu selain guru sejati sekaligus bapak kita,” kata Muhadjir.
Semua orang yang kenal atau hanya sekadar bertemu dekat saja dengan Max, kata Muhadjir, akan merasa senang karena Max sosok yang periang, santai, dan berempati.
Dalam sebuah kesempatan bersama Max, Muhadjir merasakan nilai kemanusian universal dalam diri Max yang bisa menempatkan diri dalam berbagai perspektif. Seperti saat di pondok pesantren dia bisa sangat berbaur tanpa batas, sangat inklusif, dan komunikator ulung.
”Dia melepas semuanya tanpa sekat dan batas dari agama hingga ras. Itu makanya levelnya sudah pada kemanusiaan universal. Oleh karena itu, dia bisa berada di mana saja dari lapisan spektrum dan diterima,” kata Muhadjir.
Baca Juga: Hariadi Saptono, Guru dan Wartawan Budaya itu Berpulang
Menurut Mujadjir, Max mewarisi pendahulu Kompas, Jakob Oetama, yang memandang kehidupan kemanusiaan yang universal. Max adalah punggawa Kompas.
”Ibarat sebuah tangga, kepribadian Max berada pada tangga terakhir. Tidak memikirkan dirinya sendiri. Om Max wartawan senior patut dijadikan teladan oleh wartawan muda saat ini, terutama dalam memegang prinsip yang bersumber dari nilai kemanusiaan universal dan nilai itu dijalankan dalam kehidupan,” kata Muhadjir.
Testimoni para murid
Bagi sebagian wartawan Kompas, ajaran dan sikap Om Max juga sangat melekat. Bagi wartawan senior Agnes Swetta Pandia, misalnya, Om Max selalu memiliki tempat tersendiri di hati dan pikirannya. ”Prioritas pertama begitu di kantor, tolong telepon yo, Ta," pesan seperti ini hampir tiap hari masuk melalui pager ketika masih tugas di Medan, Sumut. Ketika itu Pak MM, begitu ia biasa memanggilnya, sebagai Kepala Desk Nusantara.
Dalam setiap perbincangan kalimat yang selalu terselip adalah menjadi wartawan itu harus punya semangat totalitas. Bagi Pak MM, kerja itu harus yang diutamakan, dan harus selalu paling cepat mendapat informasi serta segera tiba di lokasi peristiwa.
”Ta, segera ke Blitar yang sedang banjir,” katanya lewat telepon pada 1994, awal-awal saya bertugas di Kota Surabaya. Padahal, saat bersamaan rumah kami sedang banjir dengan ketinggian air 20 cm dan baru kembali dari liputan di Trenggalek, yang juga dilanda banjir.
Bagi wartawan berinisial TRI ini, Pak Max tak hanya guru di bidang jurnalistik, tapi juga guru kehidupan. Di bidang jurnalistik Pak Max mengajarkan cara menjalin relasi dengan narasumber, menggali berita, berpikir tepat, akurat, praktis, dan cepat sesuai deadline.
Begitulah Pak MM terus mengasah ketangguhan untuk menjadi wartawan Kompas, memang tidak mudah karena harus bisa mendapatkan liputan yang hebat dan tercepat, walau dengan sedikit meminggirkan urusan keluarga.
Kesan mendalam serupa juga dirasakan Soelastri Soekirno. "Saya termasuk angkatan tertua murid Pak Max Margono yang berpulang pada Rabu pagi. Saya mengenal Pak Max begitu saya kadang memanggilnya, atau lebih sering dengan kata, bos yang membuat beliau risih, sejak akhir tahun 1983,” kata Lastri.
Bagi wartawan berinisial TRI ini, Pak Max tak hanya guru di bidang jurnalistik, tapi juga guru kehidupan. Di bidang jurnalistik Pak Max mengajarkan cara menjalin relasi dengan narasumber, menggali berita, berpikir tepat, akurat, praktis, dan cepat sesuai deadline.
Fisik juga dituntut sehat. Sedangkan cara Pak Max memperlakukan narasumber, orang lain siapa pun itu, baik anak buah wartawan maupun nonwartawan, selalu sopan dan perhatian. Tak ada sikap sombong dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun dinas.
Baca Juga: Lily Wahid, Politisi Teguh Berpendirian Itu Berpulang
Sebagian orang yang mengenal Pak Max pasti merasakan sikap hangatnya dan tanpa sadar meneladaninya.
”Sebagai wartawan, jelas Pak Max mengajar saya dengan menghajar fisik saya lewat liputan yang serba dadakan, padahal jarak rumah sekaligus lingkup tugas utama saya di Madiun dengan Surabaya sekitar 200 km. Waktu itu cara paling memungkinkan untuk pergi dadakan alias sak deg sak nyet adalah naik bus, dengan waktu perjalanan 4-4,5 jam,” ujar Tri.
Salah satu tugas dari Pak Max paling mengesankan adalah ketika Tri harus menelusuri jejak Irah, asisten rumah tangga asal Pacitan yang menjadi korban kekerasan majikannya di Surabaya. Badan Irah depan dan belakang disetrika sampai luka parah. Hanya berbekal kata: Irah rumahnya di Pacitan, Tri diminta mendapatkan cerita pasca-Irah dirawat di RS.
Dengan susah payah dan mengandalkan lobi akhirnya saya bisa menemui Irah dan orangtuanya di sebuah lembah di Pacitan, walau demi mendapatkan hasil itu saya harus tidur seranjang dengan tukang ojek yang mengantar saya ke sana.
Pak Max tertawa ketika mendengar cerita plus keluhan saya soal itu. ”Wartawan itu ya memang harus begitu,” katanya sambil tertawa.
Belakangan ketika Tri harus bertugas di luar Jawa Timur, baru terasa hasil gemblengan Pak Max. Tri merasa menjadi mudah dan terbiasa memutuskan apa sesuatu dengan mudah dan cepat demi meliput berita.
”Saya juga menjadi sangat suka bekerja di lapangan yang memberi banyak pelajaran. Fisik tak mudah lelah dan saya mengerjakan apa pun dengan hati senang. Itu, antara lain, buah pembelajaran dari Pak Max Margono,” kata Tri.
Selamat jalan Pak Max, beristirahatlah dalam pelukan Tuhan yang sangat mengasihi Bapak.