Mengubah Nasib Usai Terpuruk Dihantam Pandemi
Beragam macam keterpurukan di masa pandemi Covid-19 dihadapi sejumlah insan dengan perjuangan. Lewat proses pahit untuk bangkit, mereka mampu mengubah nasib.

Menyambut Malam Selikuran Kompas/P Raditya Mahendra Yasa 22-04-2022 *** Local Caption ***
Gelombang pandemi Covid-19 telah menyeret banyak orang dalam pusaran keterpurukan. Mulai dari ditinggal sosok tersayang, kehilangan pekerjaan, hingga berbagai keterbatasan dalam mengejar mimpi di masa depan. Namun, gairah pantang menyerah membuat sejumlah orang dengan beragam latar belakang bisa pulih dan keluar dari fase sulit itu.
Harian Kompas merekam gairah pantang menyerah itu melalui ajakan berbagi #CeritaPulihmu kurun 27 April-4 Mei 2022. Program ini bagian dari perayaan kembalinya kemeriahan Lebaran setelah dua kali hari raya sebelumnya begitu banyak kekangan diterapkan demi menekan penularan Covid-19.
Bermacam cerita pulih dari keterpurukan didapat dari 76 pengirim dengan beragam latar belakang. Ada yang berprofesi sebagai wirausahawan, pekerja swasta, pegawai negeri, mahasiswa, pelajar, hingga pengemudi ojek.
Redaksi memilih lima #CeritaPulihmu untuk ditayangkan di Kompas.id, serta dimuat di koran cetak edisi Senin (9/5/2022). Berikut cerita mereka.
Bangkit usai Terempas "Ombak" Ganda
Pandemi sempat membawa Fitri Rachman (46) dalam bencana keuangan. Baru saja menjadi korban penipuan yang berakhir pada kebangkrutan masif, pandemi datang sehingga membuat beban hidup semakin berlipat.

Sampul buku karangan Fitri Rachman, berjudul "Darurat Keuangan Datang Tanpa Diundang".
Ibarat peselancar yang jatuh karena terhantam ombak dan belum sempat berdiri, tetapi sudah dihantam ombak lebih besar. “Namun, ada satu pepatah yang selalu saya ingat, pelaut yang ulung bukan lahir dari lautan yang tenang, tapi dari lautan dengan ombak yang besar dan badai. Pepatah ini membuat saya mencoba untuk bangkit kembali,” ujarnya.
Di tengah kesulitan pandemi, Fitri lolos menjadi peserta program Kartu Prakerja. Selain mendapatkan bantuan uang tunai dari pemerintah, ia juga berkesempatan mengikuti pelatihan daring. Uang itu digunakan untuk membayar sewa indekos di Bandung, Jawa Barat, selama empat bulan.
Berbagai peluang pekerjaan ia coba untuk bertahan. “Apa pun saya kerjakan, bahkan sempat mengajukan diri menjadi ART (asisten rumah tangga) di sebuah platform. Namun, karena tidak punya pengalaman menjadi ART, tidak ada yang memanggil,” katanya.
Untuk berhemat, Fitri harus menyesuaikan pengeluaran kebutuhan hidup. Ia dan keluarganya pindah ke indekos dengan ukuran lebih kecil. Pengetahuan pemasaran digital yang diperoleh saat kursus daring program Kartu Prakerja menjadi modal untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia memberanikan diri menjadi pengelola media sosial berbayar dan sebagai pemasar yang menghubungkan konsumen dengan pemasok (dropshipper) untuk berbagai produk yang dijual secara daring.
“Termasuk menulis di media dan berharap dimuat kemudian mendapatkan honor. Tidak lupa mengirimkan curriculum vitae ke berbagai perusahaan dan instansi agar segera mendapatkan pekerjaan,” ucapnya.
Apa pun saya kerjakan, bahkan sempat mengajukan diri menjadi ART.
Kegigihan itu berbuah manis. Fitri diterima menjadi dosen ilmu kepolisian di salah satu universitas swasta di Bandung. Perlahan, ia kembali menata kehidupannya. Indekos mungil ditinggalkan dan pindah ke rumah kontrakan seiring membaiknya keuangan.
Ia juga sedang menyusun tiga sekuel buku mengenai literasi keuangan. Buku ini berisi tentang pengalamannya menghadapi darurat keuangan saat pandemi.
“Masyarakat Indonesia harus siap menghadapi berbagai kemungkinan yang berdampak pada ekonomi pribadi dan keluarga. Semua itu bisa diatasi dengan pengetahuan dan skill yang baik tentang perencanaan keuangan,” katanya.
Baca juga : Harapan dan Peringatan dari Keluarga Korban Pandemi Covid-19
Gelar Sarjana Hasil Menumpang WiFi
Badai kesulitan akibat pandemi turut menghantam Stevanny Yosicha Putri (28) saat masih berkuliah di Yogyakarta pada 2020-2021. Kesulitannya bermula ketika kampus menerapkan kuliah daring untuk mencegah penularan Covid-19.

Perwakilan wisudawan bersiap mengikuti upacara wisuda Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada di halaman Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (21/10/2020). Upacara tersebut digelar secara daring dan luring dengan menghadirkan 20 perwakilan wisudawan. Upacara wisuda yang baru pertama kali digelar UGM selama pandemi ini dilangsungkan dengan protokol kesehatan ketat dan diikuti 3.004 wisudawan program pascasarjana. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Imbasnya, kebutuhan kuota internet pun membengkak. Selain itu, ia harus kehilangan pekerjaan paruh waktu menjadi kasir di rumah makan. Hilangnya pemasukan membuatnya terpaksa meminta uang saku tambahan kepada ibunya.
“Padahal ibu saya sendiri mulai mengalami kesulitan keuangan. Pendapatannya sebagai wiraswasta di bidang kuliner menurun seiring diberlakukannya pembatasan kegiatan di berbagai daerah. Apalagi ibu adalah orang tua tunggal setelah ayah saya meninggal dunia,” ujarnya.
Stevanny dan ibunya pun bergantung pada uang tabungan. Pandemi yang berlarut-larut membuat tabungan semakin menipis. Namun, ia tak patah semangat melanjutkan kuliah.
Untuk mengikuti kuliah daring, ia mengandalkan bantuan kuota internet dari pemerintah. Saat kuota itu habis, ia menumpang jaringan WiFi di perkantoran di dekat rumahnya. "Untuk menumpang WiFi itu, saya harus duduk di sebuah teras yang sangat panas ketika musim kemarau, dan tubuh terkena percikan air ketika hujan turun," kenangnya.
Akan tetapi, masalah perkuliahannya belum selesai. Selama pandemi, Stevanny sering menunggak uang kuliah hingga tiga bulan. Untuk berhemat, ia jarang jajan dan bermain ke luar rumah.
“Selain karena adanya pembatasan, saya juga tidak memiliki cukup uang untuk itu. Saya lebih mementingkan biaya kuliah,” ucapnya.
Tahun 2022 menjadi titik balik bagi Stevanny seiring lebih terkendalinya pandemi. Pelonggaran aktivitas masyarakat membuat usaha kuliner ibunya perlahan bangkit. Pelanggan yang sempat pergi pun datang kembali.
Untuk menumpang WiFi itu, saya harus duduk di sebuah teras yang sangat panas ketika musim kemarau, dan tubuh terkena percikan air ketika hujan turun.
Kebulatan tekad mengantarkannya menyelesaikan kuliah S-1 Sastra Indonesia pada Januari 2022 dalam waktu 3,5 tahun. “Kami mulai pulih setelah sebelumnya mengalami kesulitan keuangan yang juga memengaruhi kondisi mental kami. Tahun ini kami mulai sering keluar rumah untuk jalan-jalan dan makan bersama. Bisa hidup dengan nyaman kembali dengan tetap menerapkan protokol kesehatan,” ucapnya.
Baca juga : Tak Lagi ke Luar Negeri berkat Mandiri di Kampung Sendiri
Menjawab Cemoohan dengan Beasiswa Luar Negeri
Awal tahun 2020, saat pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia, Imbran Batelemba Bonde (29) merasa benar-benar sedang kebingungan dengan hidup. Pandemi membuatnya nyaris memupus impian untuk mengejar beasiswa kuliah magister di luar negeri. Dengan keteguhan hati dan dukungan orang-orang terdekat, ia mampu bangkit melewati masa-masa sulit.

Foto bunga kiriman Imbran Batelemba Bonde. Imbran saat ini tercatat sebagai mahasiswa magister di jurusan international peacebuilding Hartford International University for Religion and Peace, Connecticut, Amerika Serikat.
Selama 2019 hingga Januari 2020, Imbran bertualang di Jakarta. Alumnus jurusan teologi angkatan 2013 di Sekolah Tinggi Agama Kristen Terpadu PESAT Salatiga ini berupaya mencari pekerjaan sembari menyiapkan persyaratan beasiswa, seperti TOEFL. Namun, lamaran kerja di sekolah dasar ditolak. Padahal, itu menjadi harapan agar ia bisa bertahan hidup di Ibu Kota.
Sejatinya, Imbran ingin tetap bertahan di Jakarta dan mencoba melamar pekerjaan lain. Namun, menumpang terlalu lama di rumah kenalan di kota ini tidak mudah baginya. Sementara itu, ia tidak sanggup menyewa kos karena berasal dari kalangan keluarga petani tidak berada. Perasaan hanya menjadi beban orang lain bergejolak di hatinya.
“Keadaan itulah yang memaksa saya untuk pulang kampung. ‘Membangun daerah adalah sebuah tugas mulia,’ batinku saat itu. Entah itu sebuah visi, atau hanya sekadar menghibur diri,” kata pria asal Desa Singkona, Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah ini.
Setelah melalui perjalanan kapal selama hampir sepekan, Imbran tiba di Makassar. Besoknya, ia melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di Poso. Beberapa hari pertama setiba di rumah, Imbran betul-betul menikmati percakapan dengan keluarga, teman, dan sanak saudara. Walakin, seusai melepas rindu, selang tiga minggu, perasaan gundah mulai muncul.
Imbran merasa seperti tidak berguna dan hanya menjadi beban keluarga. Apalagi, di saat itu, akibat pandemi, aktivitas dibatasi untuk menghambat penyebaran virus korona jenis baru. Berdiam diri di rumah, membuat anak sulung dari lima bersaudara ini semakin bosan. Belum lagi bisik-bisik tetangga mulai bermunculan.
“Menjadi pengangguran secara bersamaan menjadikan saya bahan cemooh beberapa orang,” kata Imbran, yang sejak kecil diasuh mendiang kakak ibunya ketika orangtuanya berpisah.
Akan tetapi, Imbran tidak berdiam diri. Dorongan dari beberapa temannya, memberanikannya untuk melangkah mewujudkan mimpi membangun pondok baca untuk anak-anak di desa. Pondok baca mulai dibangun pada Februari 2020. Di samping itu, ia juga terus berupaya mendaftar beasiswa di perguruan tinggi luar negeri. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, Imbran membuka kursus bahasa Inggris.
Setelah berjuang selama hampir tiga bulan menggalang dana, mengumpulkan buku, dan membangun pelan-pelan, akhirnya wujud dari pondok baca itu mulai terlihat. Namun, bisik-bisik bernada cemooh tetap terdengar, bahkan ada yang secara terus terang. Pondok baca memang dibangun bertahap sehingga ketika belum rampung penampakan agak aneh. Itulah yang diolok-olok beberapa orang.
“Jadi, waktu itu bangunannya hampir menyerupai kuburan. Kuburan versi suku dan kepercayaan kami. Ada yang secara langsung mengucap, ‘Itu kuburan, ya?’,” ujar Imbran, yang merupakan bagian dari suku Pamona, salah satu suku di Poso.
Cemoohan itu tak membuat Imbran surut. Setelah pondok baca yang diberi nama “Rodo nDaya” (ketenangan jiwa dalam bahasa Pamona) itu rampung, cemoohan perlahan-lahan berhenti. Namun, tidak berarti langkah selanjutnya berjalan mulus. Transportasi menjadi kendala Imbran berikutnya, terutama pada proses antarjemput peminjaman buku dan membuka kursus di desa lain.
Masih lekat dalam ingatan Imbran ia mesti menebalkan muka untuk meminjam sepeda motor orang. Awalnya, itu lancar-lancar saja, tetapi lama-kelamaan menjadi masalah. Kadang-kadang saat proses pengantara buku, ia sudah ditelpon supaya mengembalikan kendaraan dengan suara yang agak meninggi.
Imbran menyadari, mengabdi kepada masyarakat selalu berujung pada perasaan-perasaan seperti merasa sendiri, kurang dukungan, dan kurang dimengerti oleh lingkungan sekitar. Namun, di masa-masa rapuh tersebut, ia terus didukung oleh mentor dan teman-teman. “Di sinilah pentingnya sebuah pertemanan dan lingkungan yang mendukung,” ujar Imbran.
Setelah melewati semua rintangan itu, semua program pondok baca dapat berjalan baik. Di pondok baca ini, Imbran mengajarkan anak-anak desa membaca dan kelas bahasa Inggris, serta menyediakan tempat membaca dan meminjam buku gratis. Semua ia lakukan sendiri dengan bantuan dana para donatur.
Kabar baik kemudian datang pada Maret 2021. Apa yang diidam-idamkan Imbran akhirnya semakin mendekati kenyataan. Ia berhasil mendapat letter of acceptance (LoA) dan beasiswa penuh magister di jurusan international peacebuilding Hartford International University for Religion and Peace, Connecticut, Amerika Serikat.
Di satu sisi, Imbran sedih mesti meninggalkan pondok baca yang ia rintis. Di sisi lain, ia mesti mengejar cita-citanya. Namun, ia yakin pendidikan yang ia tempuh bakal membantu program pondok baca di masa mendatang.
Pandemi Covid-19 lagi-lagi menjadi rintangan bagi Imbran dalam mewujudkan cita-citanya. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat proses pengurusan berkas-berkas menjadi sulit. Di tengah pembatasan itu, ia mesti bolak-balik Poso dan Palu untuk mengurus paspor. Wawancara untuk pembuatan visa juga sempat tertunda karena Imbran sakit.
Selain itu, biaya pengurusan visa dan transportasi juga mahal karena harus ke Jakarta. Persyaratan perjalanan ke ibu kota sangat ketat. Begitu pula saat mesti ke Kedutaan Besar AS, pemeriksaan dan pembatasannya sangat ketat. Biaya evaluasi ijazah S1 untuk penyesuaian standar AS yang juga ribet dan mahal. Belum lagi biaya pengurusan vaksin MMR, Varicella, dan Meningitis, serta regulasi penerbangan ke AS yang ketat.
Saya juga ingin tahu akhir dari semua proses ini. Berhasil atau tidak, soal lain. Saya ingin tahu jawabannya.
Di tengah kesulitan itu, sering kali terpikir oleh Imbran untuk menyerah. Apalagi selama mengurus keperluan kuliah itu ia tidak ada penghasilan. Untungnya, orang-orang di sekitar Imbran tetap mendukung. Selama lima bulan mengurus berkas-berkas di Jakarta, Imbran menumpang di tempat kenalan yang sudah ia anggap sebagai keluarga. Adapun biaya untuk persiapan berangkat kuliah itu dibantu donatur.
“Melanjutkan studi di luar negeri adalah mimpi saya sejak lama. Saya tidak ingin membuang kesempatan yang ada. Saya masih percaya pada kekuatan lebih di luar saya. Saya juga ingin tahu akhir dari semua proses ini. Berhasil atau tidak, soal lain. Saya ingin tahu jawabannya,” kata Imbran.
Sekarang, setelah berhasil melewati kesulitan itu, Imbran sudah menjalani dua semester di Hartford International University. Saat kondisi dunia yang berangsur pulih, ia bisa menjalani kuliah tatap muka sejak semester musim gugur tahun 2021. Ia bersyukur kondisi membaik, meskipun masyarakat mesti tetap waspada.
Di Hartford, Imbran mengenal banyak teman baru, baik di kampus maupun luar kampus. Selain itu, banyak hal yang ia pelajari di sini, mulai dari sistem pendidikan yang cenderung memberi kebebasan bagi pelajar untuk mengkesplorasi hingga belajar budaya warga AS.
Menurut Imbran, terkadang hidup memang akan membawa seseorang pada ruang-ruang gelap. Namun, ada waktunya, cahaya akan datang menghampiri. Cahaya itu, memang tidak akan kekal, tetapi setidaknya itu cukup untuk menjadi bekal untuk memasuki ruang-ruang gelap yang bisa datang tidak terprediksi.
“Hidup tak selalu indah, juga tak selalu buruk. Keduanya berjalin-kelindan. Beranilah memeluk sesuatu yang tak terpediksi itu, jangan terlalu percaya bualan kosong pencerita indah. Jangan juga terlalu larut dalam kepedihan dan meratapi diri. Luka akan selalu ada mungkin. Tetapi pulih, bukanlah sekadar sebuah kata. Pengalaman saya sejauh ini, menjadikan saya mengerti dan merasakan apa kata pulih,” ujarnya.
Imbran bertekad untuk kuliah sungguh-sungguh. Selepas itu, ia hendak kembali untuk mengabdi di kampung halamannya. Tugas akhir Imbran, kampus menyebutnya capstone project, bakal berfokus pada pengembangan pondok baca dalam bidang pendidikan, khususnya menciptakan kelas alternatif. Itu sangat relevan dengan kegiatan Imbran di pondok baca.
Selain itu, karena Poso juga adalah daerah pasca konflik, Imbran ingin memperkenalkan gagasan trauma informed kepada generasi sekarang, yang juga terdampak dengan kondisi itu. Pada akhirnya, katanya, akan ada dialog, reflective structured dialogue, di kelompok anak-anak muda baik yang milenial akhir maupun generasi Z.
Baca juga : Pengalaman Lebaran di Malaysia: "Alamak... Daging Ambik Esok..."
Perubahan Kecil yang Menyembuhkan
Wabah membuat nyawa mendadak sekadar dijadikan angka statistik. Lewat televisi dan gulir layar ponselnya, Veronica Gabriella (26) menyaksikannya hampir setiap hari. Meski tidak terkait Covid-19, kematian datang pula ke dekatnya, membawa dampak yang tidak sesederhana angka.

Bunga mawar yang diletakkan peziarah di atas pusara di TPU Jombang, Tangerang Selatan, Jumat (14/5/2021). TPU Jombang menjadi salah satu lokasi pemakaman warga yang meninggal karena Covid-19. Ziarah kubur saat Idul Fitri menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Selain untuk mendoakan kerabat yang telah meninggal, ziarah juga untuk membersihkan makam. Kompas/Heru Sri Kumoro 14-05-2021
Suatu malam di November 2020, Veronica ditinggal sang ayah untuk selamanya. Menurut dokter, ayahnya mengalami henti jantung atau cardiac arrest. Perasaannya seketika hancur.
Saat ini, ia hanya tinggal bersama ibunya di rumah mungil di Kecamatan Periuk, Kota Tangerang, Banten. Suasana di rumah itu pun beralih. Tidak ada lagi bau tembakau, aroma kopi pahit, alunan musik berbahasa Mandarin, dan teriakan ayahnya yang bertanya mau sarapan apa setiap pagi.
Kehidupan Veronica kian hari kian berat. Duka menyelimuti setiap sudut rumah. “Kehilangan mengoyak jiwaku habis-habisan. Ditambah lagi pandemi yang mengharuskanku berdiam tanpa ke mana-mana. Aku seperti terkurung dalam cangkang yang memintaku menghayati kesedihan,” ujarnya.
Ia sering menangis ketika melewati jalanan yang biasa dilalui bersama ayahnya. Begitu juga saat melihat cangkir almarhum yang kosong dan kasurnya yang mendingin.
Dalam kesedihan itu, sosok ibu membuat Veronica tegar menghadapi kenyataan. Mereka berdua mulai membereskan barang-barang peninggalan sang ayah. Membongkar lemari baju, kotak obat, rak sepatu, dan lainnya.
“Proses berberes-beres itu tak pernah usai. Setiap kali satu barang ditemukan, kami akan membahas kenangan tentang ayah,” katanya.
Perlahan mereka menantang diri menjalani hal-hal yang biasanya dilakukan bersama ayah. Mulai dari pergi ke restoran vegetarian di kawasan kuliner Kota Tangerang, mengisi bensin, menonton olahraga, mengganti bohlam, hingga memperbaiki sepeda motor ke bengkel.
Perubahan kecil di dalam rumah pun dilakukan. Mengganti sofa di ruang tamu dan mengubah dekorasi dengan memindahkan posisi beberapa barang. Veronica menyadari, ibunya mencoba membuat kenangan baru tanpa ayahnya.
“Hanya mengubah hal-hal kecil. Tetapi, mungkin hal kecil itu yang akan menyembuhkan kita,” ucapnya.
Rangkulan ibu membuat lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada 2018 itu belajar bangkit dari keterpurukan. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan berbagai proyek penulisan kreatif. Berbagai kesibukan menyembuhkan dukanya secara perlahan.
“Aku masih terluka, tetapi luka itu tak lagi sampai membunuhku. Semua berkat kekuatan dari ibu dan penghiburan dari teman, sahabat, dan rekan sekitar. Aku belajar jika kehilangan memang meninggalkan kesendirian dan kesepian, tapi bisa dipulihkan. Terutama dengan kebersamaan tulus dari orang-orang terdekat,” jelasnya.
Hanya mengubah hal-hal kecil. Tetapi, mungkin hal kecil itu yang akan menyembuhkan kita.
Pada libur Lebaran tahun ini, perempuan yang bekerja sebagai copywriter itu tak bisa lagi merasakan kehadiran sosok ayah di sampingnya. Namun, ia merasa lebih hidup seiring dunia yang perlahan sembuh dengan membaiknya sejumlah indikator pandemi.
“Ayah mungkin tidak berada di dunia, tapi aku tak menganggapnya meninggalkanku. Beliau hanya pindah dari semesta menuju surga dan hatiku. Penerimaan ini membawaku pada kemenangan sesungguhnya, lepas dari kemelekatan, yang tersisa hanya keikhlasan,” ujarnya.
Baca juga : Ribuan Sumber Energi bagi Kebangkitan Desa Wisata
Pergulatan Mental Kala WFH
Bus Transjakarta berjalan pelan dan berhenti tepat di depan lampu merah yang menyala. Pengemudi membunyikan klakson pendek sebagai peringatan kepada sepeda motor yang alih-alih berhenti, malah memotong masuk jalur khusus bus. Dari jendela, Putri Riadini (38), penumpang bus rute Jalan Mampang Prapatan-Warung Buncit Raya itu, mengamati kumpulan motor yang menyemut. Barisan mobil tak terbendung, saling bersahutan membunyikan klakson.

Putri Riadini bersama anaknya.
Menurut Putri, macet adalah suasana klasik khas jalanan Jakarta di sore hari menjelang jam berbuka puasa. Suasana itu baru ia temui lagi setelah dua tahun ia bekerja penuh dari rumah akibat pandemi Covid-19 yang menghantam dunia. Sore di pengujung April 2022 itu, minggu ketiga Putri kembali bekerja di kantor.
“Jika dua tahun yang lalu saya berada di situasi serupa, saya mungkin emosi melihat kemacetan Jakarta yang semrawut. Tapi entah mengapa, tidak di saat ini. Saya tersenyum melihat suasana tersebut,” kata Putri, yang bekerja sebagai geolog di perusahaan migas multinasional di Jakarta.
Putri terkejut juga dengan dirinya yang cenderung tenang menghadapi keruwetan lalu lintas Jakarta. Seketika ia tersadar, dua tahun pandemi telah mengubah perspektifnya dalam memandang kehidupan.
Warga Setiabudi, Jakarta Selatan, itu bersyukur, perusahaan tempatnya bekerja mampu mempertahankan seluruh karyawan dan dapat beradaptasi menghadapi situasi pandemi. Namun, Putri mengakui, menjalani kondisi tersebut tidak mudah. Membagi pekerjaan kantor dengan peran sebagai istri dan ibu, tanpa asisten rumah tangga, sempat membuatnya bingung luar biasa.
Di masa sebelum pandemi, Putri dan suami rutin bekerja di kantor. Anak mereka satu-satunya terbiasa berada di tempat penitipan anak. Ketiganya akrab dengan hidup di luar rumah dan banyak berinteraksi dengan orang lain setiap harinya.
Ketika pandemi datang, mereka harus beraktivitas di apartemen seluas 75 meter persegi setiap hari dan tidak bertemu dengan siapa-siapa. Hal itu tidak mudah dijalani, terutama oleh sang anak.
Sebagai anak tunggal, anak Putri mendapat paparan kehidupan sosial yang sehat dengan berada di sekolah dan penitipan anak selama pasangan itu bekerja. Akibat pandemi, di usianya yang kelima saat itu, sang anak terpaksa kehilangan kehidupan sosialnya dan hanya berhadapan dengan Putri dan suami. Anak harus bertahan dengan sekolah jarak jauh yang mendadak, kehilangan pertemuan dengan kawan-kawannya, dan kehilangan masa bermain di sekolah.
“Tentu saja dia harus menghadapi tantangan lain, berhadapan dengan ayah dan ibu yang sibuk bekerja, terutama saya, ibunya yang harus membagi waktu antara pekerjaan kantor dan rumah tangga,” ujar Putri.
Dalam dua tahun terakhir, anak Putri terpaksa menyaksikan langsung ketika ayah dan ibunya berdebat. Ia juga merasakan dimarahi Putri. Kata Putri, sang anak dimarahi mungkin bukan karena murni kesalahannya, tetapi lebih karena dirinya tidak mampu mengendalikan emosi. Perasaaan tidak dapat menjadi ibu dan istri yang baik, membuatnya tertekan.
Putri sempat berpikir untuk berhenti bekerja. Namun, keinginan itu menurutnya bukanlah keputusan yang tepat. Sebagai generasi sandwich, Putri masih harus menanggung kebutuhan orangtua.
Waktu terasa berlalu dengan cepat dan saya terus menjalani rutinitas tanpa jeda. Hingga akhirnya saya sadar, saya harus berhenti, walau sesaat.
Puncak dari ketidakstabilan emosi dirasakan Putri pada pertengahan tahun 2021. Ia menerima kabar bahwa sang nenek meninggal. Nenek tidak terpapar Covid-19, tetapi berpulang pada momen puncak penyebaran varian delta. Ia dan keluarga tidak dapat mengantarkan jasad almarhum ke tempat peristirahatan terakhir di Jombang, Jawa Timur akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Sebagai cucu pertama dan terdekat dengan nenek di masa kecil, Putri sangat menyesal karena kali terakhir mereka bertemu pada 2018 silam. Rencana berkunjung pada 2020 mendadak pupus karena pandemi. Setahun berselang, ia mesti kehilangan sang nenek.
“Kembali rasa bersalah yang begitu mendalam mendesak dalam diri saya. Rasa tidak sempurna sebagai istri dan ibu, kini bertambah dengan perasaan tidak mampu berbakti sebagai anak dan cucu,” tuturnya.
Putri semakin sering menyalahkan diri sendiri. Menempatkan segala situasi yang salah dan tidak sempurna atas kelalaian dirinya. Ketika nilai ujian anaknya kurang, ia menyalahkan diri sendiri. Ketika suami mengeluh soal kondisi rumah, ia menyalahkan diri sendiri. Ketika ibunya menelepon menanyakan kabar, ia menyalahkan diri sendiri yang belum juga dapat mengunjungi ibu.
“Waktu terasa berlalu dengan cepat dan saya terus menjalani rutinitas tanpa jeda. Hingga akhirnya saya sadar, saya harus berhenti, walau sesaat,” kata Putri.
Menjelang akhir 2021, Putri mencoba menelaah seluruh kehidupannya dari awal. Ia merenungkan, apa saja yang digariskan Tuhan untuknya, sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Akhirnya, ia segera memahami satu hal penting, ia adalah manusia, sosok yang tidak mampu mengendalikan semuanya sesuai keinginan.
Putri menyadari, sebagai manusia, ia harus menerima bahwa ia dapat marah, kesal, sedih, kecewa, sebagaimana ia juga dapat bahagia, senang, dan tertawa. Perlahan ia mulai mengubah pandangan, apa pun yang terjadi adalah hal yang harus ia terima dan hadapi, baik atau buruk, susah maupun senang.
“Perasaan menerima, perlahan menyembuhkan saya dari perasaan bersalah yang sering muncul. Saya belajar kembali untuk berkenalan dengan diri saya sendiri dan juga memperbaiki hubungan saya dengan-Nya,” ujarnya.
Ia menyadari dua hal yang absolut di dunia ini, yaitu berubah dan berhenti. Situasi dunia akan selamanya berada di luar kendali manusia. Maka tugas manusia hanya satu, selalu siap untuk berubah. Sebagaimana siap akan perubahan, manusia juga harus siap untuk bertemu dengan titik pemberhentian.
Berpulangnya sang nenek di usia ke-90 tahun adalah cermin bagi Putri bahwa sepanjang apapun hidup, manusia akan bertemu dengan titik akhir. Sebagaimana usia, apapun yang terjadi di dunia pasti akan menemui titik akhirnya.
Kedua kunci absolut kehidupan tersebut yang akhirnya menjadi pegangan dan mengubah perspektif Putri secara total. Permasalahan apapun yang harus ia hadapi, ia harus siap berubah dengan tenang untuk menghadapinya. Sebab, pada akhirnya, semua itu akan menemui titik akhir.
Sahutan klakson dari motor yang menyemut kembali pada sore itu menyadarkan Putri yang masih terduduk di bangku depan bus. Ia kembali mengamati situasi di luar jendela. Di tengah keramaian kendaraan, ia juga melihat kios-kios kecil yang mulai ramai oleh pembeli. Keramaian ini menandakan bahwa kehidupan mulai pulih setelah terbenam dua tahun lamanya.
“Saya pun meyakini, cerita pulih ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang dunia sekitar saya yang juga mulai pulih. Pandemi pada akhirnya akan bertemu dua titik absolut, berubah untuk pulih, dan akhirnya berhenti,” ujarnya.
Jika pandemi yang telah melumpuhkan dunia saja pada akhirnya bertemu dengan dua titik absolut, Putri yakin, hal sama juga berlaku dengan kemacetan ruwet itu. Masih memandang ke luar jendela, ia pun menerima kemacetan itu sambil tersenyum.
Baca juga : ”Serbuan” yang Dirindukan Pedagang Oleh-oleh pada Masa Libur Lebaran