Selempang Salib Menjaga Idul Fitri di Kaki Ile Boleng
Umat Katolik ikut menjaga jalannya perayaan Idul Fitri umat Islam di Kampung Witihama, Pulau Adonara, NTT. Relasi mayoritas-minoritas yang harmonis.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Kumandang takbir 1 Syawal 1443 Hijriah bergema mengiringi langkah Rafael Sengari Barek menuju Masjid At-taqwa Witihama yang berada di kaki Gunung Ile Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pria berusia 58 tahun itu mengenakan kameja dan celana kain. Sehelai selempang warna kuning dengan motif salib ia silangkan di dada.
Tiba di gerbang masjid, ia bersama tujuh temannya yang juga mengenakan selempang serupa menyambut jemaah yang datang hendak menunaikan shalat Idul Fitri. Sebagian lagi mengatur lalu lintas di jalan dekat masjid. Rafael bersama rekannya merupakan umat Katolik yang berinisiatif mengamankan jalannya shalat.
Shalat pada 2 Mei 2022 yang dihadiri hampir 1.000 umat Islam itu berjalan dengan lancar. Seusai shalat, mereka menyambut jemaah, lalu bersalaman. Jemaah itu tak lain adalah keluarga dan kerabat mereka. ”Kami merasa gembira dan bersukacita bersama dengan keluarga kami umat Islam. Kami ikut merayakan Idul Fitri ini,” kata Rafael yang juga pengurus gereja itu.
Contohnya ada ungkapan ”kakan dike arin sare”, yang bermakna hubungan baik sebagaimana seorang kakak dan adik yang lahir dari satu rahim. Semangat ini yang terus dihidupkan lintas generasi.
Menurut dia, pihak gereja Katolik setempat berinisiatif ikut serta menjaga keamanan agar pelaksanaan shalat Id berjalan dengan lancar. Mereka lalu mengenakan selendang dengan motif salib yang biasa dikenakan petugas keamanan gereja pada saat perayaan ekaristi yang dihadiri ribuan umat, seperti Natal ataupun Paskah.
Penggunaan selandang bermotif salib itu juga menjadi simbol kehadiran umat Katolik yang seakan berdiri sambil berpegangan tangan menjaga jalannya hari besar umat Islam. Suatu pesan moril bahwa umat Katolik yang mayoritas di daerah itu mengayomi saudaranya yang beragama Islam.
Suasana perkampungan itu meriah dengan perayaan Idul Fitri. Di lorong-lorong kecil, umat Katolik berdiri menyambut umat Islam yang baru pulang dari masjid. Mereka bersalaman, kemudian pada siang hingga malam hari mereka mengujungi rumah keluarga Muslim. Mereka bersenda gurau hingga larut malam.
”Tahun ini kembali ramai setelah pemerintah tidak lagi melarang mudik. Di rumah kami sampai jam sebelas malam orang-orang masih terus berdatangan. Ada sahabat kami para pastor Katolik yang tidak sempat datang karena di luar pulau, mereka sampaikan ucapan lewat telepon,” tutur Jamil Demon Sesa (60), tokoh Muslim setempat.
Perkampungan di kaki Gunung Ile Boleng itu dikenal dengan sebutan Witihama. Jumlah penduduk di Kampung Witihama lebih kurang 10.000 jiwa, yang mayoritas dari mereka memeluk ajaran Katolik. Kebanyakan umat Katolik dan Islam yang tinggal di daerah itu berasal dari satu akar budaya yang sama. Mereka terlahir dari leluhur yang sama.
Di Witihama terdapat lima desa administrasi, yakni Pledo, Lamablawa, Oringbele, Weranggere, dan Watoone. Perkampungan itu saling sambung-menyambung. Setiap desa memiliki kepala desa masing-masing, tetapi secara keseluruhan mereka mempunyai satu pemimpin. Saat ini, pemimpin mereka menganut ajaran Islam.
Rumah penduduk membaur dan berdempetan. Tak tampak permukiman berdasarkan segregasi agama. Saat menyusuri lorong-lorong, tampak simbol salib atau kalung Rosario terpampang di rumah, kemudian di sebelah rumah terlihat tulisan kaligrafi berisi ayat-ayat suci Al Quran di pintu masuk rumah.
Masjid At-taqwa yang berdiri di jantung Kampung Witihama itu tidak jauh dari gedung Gereja Katolik Santa Maria Pembantu Abadi Witihama. Di depan gerbang gereja berjejer makam Islam. Gereja itu pun dikeliling rumah-rumah milik umat Islam. Baik masjid maupun gereja sama-sama dibangun oleh umat Islam dan Katolik secara bergotong royong.
Jamil mengatakan, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tidak ada diskiriminasi. Kelompok mayoritas melindungi mereka yang minoritas dan minoritas pun merasa hidup dalam kedamaian. Di Desa Oringbele, misalnya, Rasid Duran Ola, yang beragama Islam, dipilih menjadi kepala desa. Padahal, lebih dari 80 persen warga desa itu memeluk agama Katolik.
Michael Boro Bebe (53), pemerhati budaya Flores Timur, mengatakan, kunci utama menjaga persaudaraan adalah terus mengingatkan akan akar budaya setempat. Mayoritas masyarakat Witihama tumbuh dari akar budaya yang sama dan memiliki filosofi hidup yang selalu mengajarkan akan nilai persaudaraan.
”Contohnya ada ungkapan kakan dike arin sare, yang bermakna hubungan baik sebagaimana seorang kakak dan adik yang lahir dari satu rahim. Semangat ini yang terus dihidupkan lintas generasi,” kata Michael yang menulis beberapa buku tentang budaya Flores Timur itu.
Menurut dia, budaya lokal menjadi perekat bagi masyarakat yang berbeda agama. Ketahanan sosial masyarakat setempat kuat karena mereka masih memberi ruang yang luas bagi berkembangnya budaya dan adat istiadat. Mereka menggunakan bahasa daerah yang sama. Mereka juga memiliki satu rumah adat yang sama.
Hubungan antarumat beragama yang rukun ini sedikit tidak mengubah pandangan orang mengenai Adonara yang terkesan seram sebagaimana catatan antropolog Eropa, Ernst Vatter. Dalam bukunya yang berjudul
Ata Kiwan
, Ernst menyebutkan bahwa Adonara adalah pulaunya para pembunuh. Ernst menemukan hal itu saat melakukan penelitian di sana pada tahun 1930-an.
Kala itu, di Larantuka yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Flores Timur, Ernst menemukan banyak narapidana kasus pembunuhan yang datang menjalani persidangan di pengadilan setempat. Para terdakwa membunuh dalam kasus sengketa lahan. Bagi masyarakat Adonara, sejengkal tanah akan dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa pembunuhan bermotif agama.
Di Lembah Witihama, semangat persaudaraan dalam keberagaman terus dirawat dan bergema sebagaimana takbir yang berkumandang saat Idul Fitri. Selempang bermotif salib yang digunakan umat Katolik saat menjaga shalat Id memberi pesan penting bahwa kelompok mayoritas harus berdiri melindungi mereka yang minoritas.