Pelajaran Berharga dari Jebolnya Benteng Keraton Kartasura
Benteng Keraton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang diperkirakan berdiri pada 1680 dijebol oleh warga yang mengaku memiliki lahan pada lokasi tersebut. Lahan akan digunakan untuk membangun tempat indekos.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SUKOHARJO, KOMPAS — Benteng Keraton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, dijebol oleh warga yang mengaku memiliki lahan pada lokasi tersebut. Warga itu mengaku tak tahu bahwa bangunan yang dijebol tersebut merupakan obyek yang diduga cagar budaya. Edukasi intensif dibutuhkan agar peristiwa serupa tak terulang. Insiden ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.
Kejadian jebolnya benteng tersebut terjadi pada Kamis (21/4/2022). Berdasarkan pantauan Kompas, Sabtu (23/4/2022), panjang benteng yang jebol mencapai 7,4 meter dengan tebal 2 meter dan tinggi 3,5 meter. Batu bata bekas jebolan benteng masih berserakan. Rata-rata batu bata tersebut memiliki tebal 6 cm, lebar 18,5 cm, dan panjang 34 cm.
Benteng itu dijebol karena akan digunakan sebagai jalan masuk alat berat. Seorang warga bernama Burhanuddin (45) akan mendirikan bangunan pada lahan miliknya yang berada di balik benteng tersebut.
Sebelum melakukan penjebolan, warga itu telah melakukan pembersihan lahan sejak dua pekan lalu. Lahan itu semula tak terawat karena ditumbuhi banyak tanaman liar dan ilalang.
”Ini luasnya 682 meter persegi. Pembelian baru sebulan seharga Rp 850 juta. Baru dibayar separuhnya. Kami sama sekali tidak tahu kalau ini cagar budaya karena kami membelinya hak milik dari warga juga. Bahkan, sebenarnya tanah yang dibeli ini sampai di depan tembok menurut sertifikatnya. Menurut rencana, akan dijadikan tempat indekos,” kata Bambang Cahyono (54), perwakilan keluarga Burhanudin, di lokasi kejadian.
Padahal, benteng tersebut berstatus sebagai obyek yang diduga cagar budaya. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sedang dalam pengkajian sebelum mendaftarkannya agar obyek tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya.
Benteng itu diperkirakan berdiri sejak 1680. Dahulu, kawasan itu merupakan ibu kota Keraton Mataram sebelum akhirnya pindah ke Surakarta dan menjadi Kasunanan Surakarta.
Benteng itu diperkirakan berdiri sejak 1680.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah menindaklanjuti insiden tersebut dengan memeriksa dugaan perusakan cagar budaya. Dasar aturannya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Selama pemeriksaan, pengerjaan yang dilakukan pemilik lahan harus dihentikan sementara.
Kepala BPCB Jateng Sukronedi mengungkapkan, dalam aturan tertera jelas, obyek yang sedang dalam pengkajian sebagai cagar budaya harus diperlakukan sama seperti bangunan cagar budaya. Untuk itu, tidak boleh ada perusakan obyek tersebut. Pihaknya memastikan ada sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan perusakan itu.
”Kami akan mencari tahu siapa yang merusak. Itu sudah jelas. Nanti bisa dituntut secara pidana. Ini sudah merusak dan menghancurkan cagar budaya. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 sudah jelas ada sanksinya,” kata Sukronedi.
Pemilik lahan dan operator alat berat sudah dimintai keterangan oleh Polres Sukoharjo. Namun, pemeriksaan selanjutnya diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPCB Jateng.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, sanksi atas perusakan cagar budaya dapat dihukum penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun. Sementara denda yang bisa dikenakan paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 5 miliar.
”Pemeriksaan sedang dilakukan. Berapa lamanya belum bisa ditentukan. Kami berusaha secepatnya melakukan proses tersebut,” kata PPNS BPCB Jawa Tengah Harun Ar Rasyid.
Bupati Sukoharjo Etik Suryani menyayangkan adanya insiden tersebut. Menurut dia, masyarakat setempat perlu mengenal betul cagar budaya yang ada di lingkungannya. Terlebih lagi benteng tersebut sudah berdiri di sana ratusan tahun lamanya. Seharusnya pemilik lahan juga berkomunikasi dengan perangkat pemerintahan setempat sebelum menggarap lahannya.
Etik menyatakan pihaknya bakal segera menginstruksikan jajarannya untuk menginventarisasi obyek cagar budaya yang ada di wilayahnya. Harapannya, peristiwa serupa tak terulang di kemudian hari. Sosialisasi mengenai pelestarian cagar budaya juga akan digencarkan supaya masyarakat semakin dekat lagi dengan aset sejarah yang ada di wilayah masing-masing.
Dihubungi terpisah, Susanto, sejarawan dari UNS Surakarta, menyampaikan, insiden tersebut seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Semua pihak punya peran merawat obyek cagar budaya. Pemerintah wajib melakukan inventarisasi aset-asetnya. Sementara masyarakat juga hendaknya dilibatkan dalam pelestarian obyek cagar budaya. Langkah itu akan membuat masyarakat merasa ikut memiliki aset sejarah yang ada di wilayahnya.
Kurangnya pengetahuan masyarakat perihal obyek cagar budaya, jelas Susanto, bisa jadi disebabkan oleh minimnya sosialisasi. Untuk itu, kegiatan-kegiatan yang mendekatkan masyarakat dengan obyek cagar budaya di wilayahnya perlu dilaksanakan secara lebih intens.
”Edukasi perlu terus dilakukan. Peran masyarakat dalam pelestarian juga diperbesar. Tanpa adanya pelibatan masyarakat, mereka juga tidak akan peduli jika terjadi sesuatu dengan obyek cagar budaya yang ada di wilayahnya,” kata Susanto.