Merawat alam menjadi bagian dari adat dan keseharian Orang Rimba. Hutan melekat sebagai jati diri. Kehilangan hutan dimaknai hilangnya kehidupan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Salah seorang warga komunitas Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, menunjukkan tanaman hasil semaiannya, Sabtu (22/5/2021).
Nyumbo dan suaminya, Ngamben, bersiap menyambut kelahiran anak kedua. Satu bulan menjelang kelahiran, seharusnya mereka sudah pindah ke tano perana’on, tanah yang ditunjuk dukun rimba sebagai tempat bersalin. Namun, calon tempat bersalin itu telah berganti menjadi kebun sawit.
Sesuai dengan tradisi yang diwariskan nenek moyang, seorang perempuan yang akan melahirkan terlebih dulu dibawa keluarganya menuju tano perana’on, sebuah lokasi hutan belantara yang masih sangat baik kondisinya. Masih rimbun.
Rerimbunan itu menjadi tempat berlindung yang nyaman bagi sang ibu dan calon bayinya serta semua keluarga besar yang menanti-nantikan persalinan tersebut. Biasanya, tanotano perana’on letaknya di dekat aliran sungai. Setelah bayi lahir, keluarga itu akan memandikan bayi untuk pertama kalinya di sungai yang berair jernih. Itulah penanda awal ikatan hidup Orang Rimba dan alamnya.
Pohon-pohon di sekitar sungai itu dijadikan penanda kehidupan baru. Kedua pohon bernama tenggeris dan sentubung itu menjadi dua jenis tumbuhan paling populer di komunitas itu. Tajuk pohon tenggeris tinggi menjulang. Batangnya tebal dan keras.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Suasana belajar anak-anak rimba dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, 2014.
Setiap anak yang baru lahir, oleh adat setempat, akan dihadiahi satu pohon tenggeris. Besar dan tegaknya pohon itu menyiratkan harapan orangtua agar bayinya kelak tumbuh sebagai anak yang hidup tegak, kuat, menjulang, dan menganyomi sekitarnya.
Pantang bagi Orang Rimba untuk menumbangkan pohon tenggeris. Jika ada pohon ditebang, sama artinya dengan membunuh manusia yang menjadi pemilik pohon tersebut.
Demikian halnya dengan pohon sentubung. Menjadi pelindung bagi ari-ari bayi yang dikubur di dekat akar pohon. Sebagaimana tenggeris, sentubung juga pantang untuk ditebang. Makanya, di dalam rimba setiap pohon tenggeris dan sentubung selalu ditandai jika telah terikat dalam peristiwa kelahiran manusia sehingga tidak boleh lagi diganggu.
Meski masih menyimpan ikatan adat yang sama, Nyumbo dan suami tak mampu mendapatkan tempat yang baik untuk persalinan. Hutan tempat mereka menjelajah telah berganti menjadi perkebunan sawit. Letaknya di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Karena tiada lagi hutan yang masih rimbun, Nyumbo akhirnya dibawa ke sebuah tempat yang telah ditumbuhi batang sawit tinggi.
”Pohonnya sodah ilang, tepasolah hopi ado tenggeris budak iyoy, (Pohonnya sudah hilang, terpaksalah tidak ada lagi tenggeris sebagai penanda bayi ini),” kata Tumenggung Mariau, dukun yang membacakan doa untuk menolong kelahiran itu, Maret lalu. Untuk membantu persalinan, Nyumbo dibantu ibunya, Meliyau.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Wilayah hidup Orang Rimba kini menjadi perkebunan sawit di Desa Mentawak, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi, Senin (19/11/2018). Untuk bertahan hidup, Orang Rimba membangun hunian darurat beratap terpal plastik dan daun sawit.
Merawat alam menjadi bagian dari adat dan keseharian Orang Rimba. Hutan melekat sebagai jati diri sehingga kehilangan hutan dimaknai hilangnya kehidupan.
Setiap nyawa Orang Rimba selalu diasosiasikan dengan pohon, yang didapatkannya semenjak lahir. Kondisi ini ada ketika hutan rimba masih berjaya, menjadi rumah yang ramah untuk warga di dalamnya.
Hutan melekat sebagai jati diri sehingga kehilangan hutan dimaknai hilangnya kehidupan.
Fasilitator dan juga antropolog Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Anggun Sastika, menyebut kondisi serupa dialami lebih dari 900 keluarga rimba yang kini hidup di dalam perkebunan sawit dan akasia. ”Mereka terpaksa hidup di sana karena memang di situlah rumah mereka sejak dulunya,” katanya.
Tidak hanya ritual kelahiran, pernikahan dan kedukaan juga tak lagi dapat berlangsung sesuai adat. Untuk menjalankan prosesi pernikahan yang disebut bebalai, dibutuhkan beragam jenis bunga dari hutan. Bunga-bunganya telah banyak hilang.
Sementara tradisi melangun sebagai bagian dari kedukaan membutuhkan hutan yang luas untuk keluar penjelajahan baru. Melangun berarti pergi menjelajah ke tempat yang baru di dalam hutan karena ada kerabat yang meninggal. Di tempat baru, mereka membangun kehidupan yang baru. ”Untuk menjalankan tradisi inilah, mereka butuh hutan yang luas,” katanya.
Untuk tempat bagi orang yang meninggal, Orang Rimba punya tano pasohon. Areal hutan untuk pemakaman ini juga sangat dihormati. Tidak boleh dirusak hutannya. Ada lagi, tempat untuk menjalani besale, ritual doa untuk kesembuhan. Lalu, benuaron, yang menjadi tempat tumbuhnya buah-buahan yang menjadi sumber pangan Orang Rimba.
Yang terakhir, tano suban dan inuman menjadi sumber air bersih dan mata air. Di situ pula tempat berkumpulnya satwa.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Haidir mengatakan, wilayah adat Orang RImba yang masih masuk ke dalam kawasan TNBD diakui resmi oleh negara untuk dijaga kelestariannya. Jalur tali bukit alias hutan berlereng curam yang sangat dihormati Orang Rimba masuk ke dalam zona inti TNBD. Begitu pula Zona Rimba TNBD sesuai dengan zonasi komunitas pedalaman itu sebagai rimbo bungaron, tengkuruk sungoi.
Adapun tano perana’on, tano suban, dan balubalai masuk ke dalam zona tradisional dan zona religi. Semuanya tertuang dalam zonasi tata ruang pengelolaan TNBD yang disahkan pada 2019 lalu.
Sayangnya, sebagian wilayah hidup Orang Rimba yang berada di luar kawasan TNBD berada dalam kondisi sebaliknya. Menyusutnya hutan berdampak pada kehilangan adat dan budaya sekaligus geger budaya.
Pemulihan hutan bukan tak mungkin dapat dilakukan. Peringatan Hari Bumi pada 22 April merupakan momentum tepat. Saatnya mengambil langkah penyelamatan hutan dan kehidupan.