Pola Pembangunan di NTT Belum Mempertimbangkan Daya Dukung Lingkungan
Realitas pola pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur nyaris tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan karena pemerintah daerah cenderung menggenjot sektor pariwisata demi mendongkrak perekonomian.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pola pembangunan di Nusa Tenggara Timur belakangan ini tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada. Daerah seperti Nusa Tenggara Timur sangat rawan bencana sehingga dibutuhkan sinergitas pentahelix mengantisipasi perubahan iklim yang belakangan ini semakin tak menentu. Mitigasi bencana terhadap warga tidak hanya dilakukan di daerah rawan bencana, tetapi ke seluruh wilayah.
Kepala Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Timur Dedi Holo di Kupang, Selasa (19/4/4/2022), mengatakan, perubahan iklim belakangan ini tidak menentu sehingga sulit diprediksi. Pemda perlu mengantisipasi kondisi ini sedini mungkin sehingga tidak hanya sekedar menunggu bencana datang kemudian membentuk tim tanggap darurat.
”Salah satu bentuk antisipasi adalah pembangunan selalu mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada. Tetapi, belakangan ini, pemprov, pemkab, dan pemkot belum mempertimbangkan hal ini dalam mengambil setiap keputusan, seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pariwisata, perumahan, izin pertambangan, dan industri,” katanya.
Izin usaha pertambangan batu gamping dan pabrik semen di Lingko Lolok, Manggarai Timur, misalnya, sangat bertentangan dengan kondisi lingkungan setempat. Di sana daerah karts yang menyimpan sumber-sumber mata air, dan daerah persawahan warga.
Kemudian, penataan kawasan Taman Nasional Komodo demi wisata super premium dan rencana pengalihan status kawasan Gunung Mutis dari cagar alam menjadi kawasan hutan wisata di Pulau Timor.
Semua kawasan pesisir di Pulau Sumba sudah dikavling-kavling pengusaha, pejabat, dan politisi terkenal dari dalam dan luar negeri untuk dijadikan kawasan wisata. Batu-batu karang di sepanjang pesisir Pulau Sumba yang selama ini menjadi pemecah dan penahan gelombang sedang dan bakal dihancurkan demi pembangunan hotel, restoran, dan tempat hiburan.
Pulau Siput berdampingan dengan Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata sudah tenggelam. Demikian pulau-pulau kecil lain di NTT yang terabaikan. Sejumlah kawasan hutan mangrove dirusak dan terjadi penambangan pasir di pesisir pulau.
”Tidak tertutup peluang, suatu saat pulau-pulau kecil ini hilang. Perubahan iklim saat ini makin tak menentu, sulit diprediksi, dan memiliki dampak paling buruk bagi lingkungan dan kehidupan manusia,” kata Dedi.
Apalagi, NTT terkenal sebagai provinsi paling lengkap jenis bencana. Hidrometerologi, seperti longsor dan banjir, kekeringan ekstrem, gunung api, hama belalang, gempa tektonik, dan siklon tropis yang selalu muncul di wilayah Laut Sawu atau Laut Timor dan sekitarnya, setiap awal dan akhir musim hujan.
Kebakaran hutan dan penebangan liar secara rutin setiap tahun belum menjadi kepedulian pemda. Tahun 2019, NTT menempati urutan pertama nasional dalam luasan kebakaran hutan, yakni 71.712 hektar. Padahal, daerah ini terkenal sangat gersang dan kering.
Kini, tidak hanya kebakaran, tetapi aksi pemanfaatkan kayu bakar di dapur pun meningkat pascapemerintah menaikan harga elpiji 12 kg sampai Rp 265.000 per tabung, sementara di NTT tidak ada elpiji 3 kg dijual di NTT.
Karena itu, NTT butuh satu forum yang beranggotakan ”multistakeholders”, seperti pemerintah, DPRD, Polri dan TNI, kejaksaan, BMKG, LSM peduli lingkungan dan kebencanaan, perwakilan tokoh adat, tokoh masyarakat, nelayan, petani, wartawan, dan perwakilan mahasiswa atau pentahelix. Keterlibatan unsur-unsur ini memperlihatkan bahwa masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup sangat mendesak ditangani.
Tidak tertutup peluang, suatu saat pulau-pulau kecil ini hilang. Perubahan iklim saat ini makin tak menentu, sulit diprediksi, dan memiliki dampak paling buruk bagi lingkungan dan kehidupan manusia. (Dedi Holo)
Menurut Dedi, isu-isu lingkungan perlu dibahas dan diperjuangkan oleh forum ini sehingga semua kebijakan pembangunan tetap mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada. Upaya lain melakukan pemetaan daerah-daerah rawan bencana. ”Realitasnya setiap terjadi bencana, pihak pemerintah melalui BPBD turun mengantar bantuan tanggap darurat kepada korban bencana,” ujarnya.
Padahal, paling penting lagi, bagaimana menyiapkan masyarakat menghadapi sebuah bencana. Mitigasi bencana itu masih sangat lemah di kalangan masyarakat, terutama di daerah-daerah rawan bencana.
Penguatan masyarakat terkait perubahan iklim sangat penting. Selama ini masyarakat adat telah memiliki sejumlah kearifan lokal mengenai mitigasi bencana ini, tetapi diabaikan pemerintah. Misalnya, sumpah adat di sumber mata air untuk tidak boleh menebang pohon, membakar hutan, serta mengambil batu dan pasir di tempat itu.
Respons aksi daerah untuk adaptasi perubahan iklim (RAAPI) belum menjadi kewajiban di NTT. Seharusnya hal ini dirumuskan pemerintah, menjadi sebuah instrument yang wajib dijalankan, seperti perda, tidak sekedar menjadi wacana atau ide-ide saja. ”Pemprov saja belum ada RAAPI ini, apalagi kabupaten/kota. Padahal, ini sudah sangat mendesak sebagai landasan menanggapi perubahan iklim saat ini,” kata Dedi.
Siklus curah hujan dari tahun ke tahun terus berubah. Sampai dengan tahun 1990, curah hujan di NTT masih berlaku empat bulan, sedangkan kemarau delapan bulan. Kini, musim hujan hanya tiga bulan, dan musim kemarau sembilan bulan. Bisa saja ke depan, musim hujan hanya dua bulan dan kemarau 10 bulan.
”Kalau kita tidak menjaga dan merawat lingkungan hidup mulai dari sekarang, 50 tahun lagi sejumlah pulau di NTT bisa saja mirip daerah padang gurun. Kita mewariskan bencana dahsyat kepada anak cucu nanti,” katanya.
Kondisi ini tentu mengancam kedaulatan pangan paling buruk dibandingkan dengan situasi saat ini. Bukan lagi kasus rawan pangan, gizi buruk, dan
stunting
atau tengkes yang menimpa daerah ini, tetapi kelaparan besar bakal terjadi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT Ambros Kodo mengatakan, setiap pembangunan fisik terkait lingkungan pemprov dan pemkab/pemkot selalu memiliki analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal yang melibatkan para ahli lingkungan. Ini sebagai syarat utama kehadiran sebuah proyek di daerah itu.
Pemprov NTT telah memiliki peta daerah rawan bencana. Ini dilengkapi dengan pembentukan sejumlah posko dan penempatan alat-alat berat di wilayah itu selama musim hujan. ”Kabupaten/kota dan provinsi memiliki beras cadangan 100 ton untuk mengantisipasi bencana di daerah. Soal mitigasi bencana, sejumlah kabupaten/kota bekerja sama dengan NGO lokal untuk itu,” kata Ambros.