Suluk, Mengasingkan Diri dan Memurnikan Jiwa
Tradisi suluk, mengasingkan diri hingga 40 hari di surau-surau terus dipelihara Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat jelang dan selama Ramadan. Secara sains, tradisi itu berkorelasi erat dengan kesehatan mental.
Tradisi suluk menempuh jalan menuju Sang Khalik dengan mengasingkan diri hingga 40 hari di surau-surau terus dipelihara Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Sumatera Barat. Tradisi spiritual mengosongkan diri yang digelar menjelang Ramadhan hingga jelang Idul Fitri itu, secara sains berkolerasi erat dengan kesehatan mental mereka yang menjalaninya.
Sehabis shalat Ashar berjemaah, tanpa interaksi dan berucap apa pun, tujuh perempuan lanjut usia menuju ke bilik masing-masing. Bilik-bilik berukuran 80 cm x 120 cm berdinding kain itu berderet di saf bagian belakang Surau Nurullah di Koto Baru, Kelurahan Limau Manis Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.
Satu jemaah laki-laki dari Maninjau, Agam, yang juga warga lansia, juga menuju biliknya di bagian kanan depan ruangan surau berukuran 12 meter x 14 meter di lahan seluas 600 meter persegi itu. Jemaah lainnya, yang semuanya lelaki, berangsur keluar dari surau. Pintu ditutup, gelap kembali menyelimuti seluruh ruangan surau itu.
Kedelapan warga lansia itu adalah jemaah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah yang sedang menjalankan suluk. Jemaah berusia sekitar 50 tahun hingga 60-an tahun tersebut mulai bersuluk sejak Selasa (22/3/2022). Mereka bersuluk selama 40 hari hingga sehari menjelang Idul Fitri.
”Jumat (1/4/2022) ini akan masuk lagi enam orang. Empat laki-laki dan dua perempuan. Mereka ikut yang 30 hari,” kata Buya Mudo Khalidi (58), mursyid di Surau Nurullah, yang berada di pinggiran Kota Padang itu, Rabu (30/3/2022).
Suluk secara sederhana berarti menempuh jalan menuju Allah SWT. Orang-orang yang bersuluk mengasingkan diri paling lama 40 hari untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal-hal bersifat duniawi, seperti harta, takhta, dan keluarga ditinggalkan sementara.
Kami yang sudah mati pajak (lansia) ini sudah habis masanya memikirkan dunia. Sekarang yang dipikirkan apa yang hendak dibawa ketika mati.
Suluk dilangsungkan di surau-surau. Para anggota jemaah dipandu seorang mursyid atau guru spiritual sekaligus pemimpin di surau. Orang yang bersuluk disebut salik (murid). Selama di pengasingan, jemaah berlatih menahan nafsu dan belajar ilmu tasawuf.
Di Surau Nurullah, bilik-bilik tempat jemaah mengikuti suluk dibuat dari kerangka kayu. Ukurannya 80 cm x 120 cm dengan tinggi 170 cm. Kain-kain digantungkan di kerangka kayu itu sebagai dinding sekaligus penyekat antarbilik. Lantainya dari papan tripleks beralas sajadah.
”Kira-kira seukuran Goa Hira. Tidak bisa tidur mengunjur, cuma berkeluk. Sama seperti Nabi saat di Goa Hira,” kata Buya Mudo Khalidi. Goa Hira adalah tempat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu.
Buya dengan nama lahir Desman itu menjelaskan, Ramadhan ini merupakan tahun keenam surau yang didirikan tahun 2014 itu mengadakan suluk. Surau ini mengikuti aliran Balubuih (Belubus), sebuah jorong di Nagari Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, salah satu lokasi berkembangnya Tarekat Naqsabandiyah.
Sebelum pandemi, hal serupa juga terlihat di lantai II Surau Baitul Makmur, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Sebelas perempuan warga lansia Jemaah Tarekat Naqsabandiyah bersuluk di bilik-bilik berukuran sekitar 2 meter x 1 meter dan tinggi 2 meter. Kompas mengunjunginya 15 Mei 2019 atau hari ke-22 para salik mengasingkan diri.
”Kami yang sudah mati pajak (lansia) ini sudah habis masanya memikirkan dunia. Sekarang yang dipikirkan apa yang hendak dibawa ketika mati,” kata Ramani (79), janda beranak tiga dan bercucu sebelas, yang sudah bersuluk dalam tiga Ramadhan terakhir di Surau Baitul Makmur.
Ramadhan tahun 2019 itu merupakan suluk terakhir yang digelar di Surau Baitul Makmur. Meninggalnya Syafri Malin Mudo atau Buya Piri, mursyid di surau itu sekaligus Pemimpin Tarekat Naqsabandiyah Padang, pada 30 Mei 2020, membuat suluk urung digelar tiga tahun terakhir. Hingga kini belum ada pengganti Buya Piri.
Batasan
Ada berbagai batasan yang harus dilakukan para salik saat bersuluk. Namun, setiap surau yang menggelarnya bisa jadi berbeda aturannya.
Salik di Surau Nurullah hanya fokus beribadah dan berzikir. Selama suluk, salik berpuasa; dilarang mengobrol satu sama lain, termasuk orang luar; dilarang banyak tidur; dan selalu dalam keadaan suci/berwudu. Jemaah cuma boleh ke pekarangan surau untuk menjemur pakaian.
Jemaah juga pantang memakan produk hewani dan berbau tajam, seperti jengkol dan emping. ”Makanan hewani tidak boleh supaya jangan terbawa sifat-sifat hewan. Gampang marah. Selain itu, juga mudah kentut (merusak wudu). Makanan berbau tajam mengganggu konsentrasi ibadah,” ujar Budaya Mudo Khalidi.
Di bilik yang mirip liang kubur yang sempit dan gelap-gulita itu, tiap-tiap salik mengamalkan ilmu dari mursyid. Kata Buya Mudo Khalidi, ada zikir atau puji-pujian kepada Allah SWT dan tahlil yang harus didaraskan pada sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, sepuluh hari ketiga, dan sepuluh hari terakhir. Zikir itu didaraskan 11.000 kali sehari-semalam hingga 70.000 kali sehari-semalam.
Batasan interaksi yang ketat pada salik saat mengikuti suluk juga berlaku di Surau Engku Bila, surau Tarekat Naqsabandiyah di Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Limapuluh Kota, pada Ramadhan 2019. Orang luar tidak diizinkan melihat kondisi di dalam surau karena bisa mengganggu pengasingan diri para salik.
Sementara itu, di Surau Baitul Makmur, batasan interaksi relatif lebih longgar. Beberapa salik berkenan diajak bicara di sela-sela waktu seusai menjalankan shalat Ashar, termasuk Ramani. Para salik juga memasak sendiri makanan untuk berbuka puasa.
”Selama suluk, murid tidur, bicara, dan makan secukupnya. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan tubuh. Keseimbangan akan membantu jemaah dalam beribadah,” kata Buya Piri saat ditemui Kompas pada 2019.
Baca Juga: Makin Sehat dengan Tidak Makan Berlebihan Saat Berbuka Puasa
Panggilan hati
Mengikuti suluk merupakan panggilan hati. Seseorang tidak bisa disuruh atau dipaksa untuk bersuluk dan tidak pula dapat dilarang. Bila hati sudah terpanggil, usia tidak menjadi halangan, meskipun umumnya orang yang bersuluk adalah mereka yang sudah lansia, sudah pensiun.
Muhammad Zubir (67), seorang tetua Tarekat Naqsabandiyah di Surau Engku Bila, mengatakan, seseorang sudah boleh mengikuti suluk pada usia 15 tahun. Sebagai contoh, Edi (59), juru masak bagi jemaah yang bersuluk di Surau Engku Bila, pertama kali ikut suluk ketika masih bujang pada usia 21 tahun.
Meskipun demikian, tetap ada syarat bagi calon jemaah yang hendak mengikuti suluk. Calon jemaah harus memantapkan niat agar bisa mengikuti suluk hingga selesai. Selain itu, calon jemaah harus sehat dan punya cukup bekal.
”Cukup bagi keluarga yang ditinggalkan dan cukup bagi diri sendiri. Kalau tidak, tidak boleh ikut. Jangan sampai keluarga yang ditinggalkan teraniaya,” kata pria yang karib disapa Ubir ini, Sabtu (11/5/2019).
Menurut Ubir, untuk jemaah yang baru pertama kali bersuluk wajib mengikuti suluk selama 40 hari, termasuk 30 hari saat Ramadhan. Sementara bagi yang bersuluk kedua kali dan seterusnya boleh 30 hari ataupun 20 hari.
Buya Mudo Khalidi mengatakan, ikhlas adalah kunci dalam bersuluk, baik salik, mursyid, maupun khalifah (asisten mursyid). Salik mesti ikhlas menjalani suluk, bukan karena terpaksa. Jemaah membawa bekal dan perlengkapan masing-masing dan mengiur untuk bahan masakan. Mursyid dan khalifah sebagai tuan rumah, juga mesti ikhlas melayani salik yang datang.
Tidak ada upah atau pungutan terhadap para salik. Namun, biasanya jemaah suluk yang bersedekah dengan nominal seikhlasnya kepada mursyid dan khalifah di hari terakhir. ”Kalau yang tidak mampu tetapi ingin bersuluk, justru kami biayai,” ujar Buya Mudo Khalidi.
Di Surau Nurullah tidak ada pembatasan usia peserta suluk. Surau Nurullah berpedoman pada usia Syekh Mudo Abdul Qadim Balubuih (meninggal 1957), guru aliran Balubuih, yang mulai ikut suluk pada usia 12 di Padang Kandi, Limapuluh Kota, dengan mursyid Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandi. ”Itu batas minimalnya. Tahun lalu, yang muda-muda ikut juga, ada yang usia 30 tahun,” ujar Buya Mudo Khalidi.
Nurhaima (80), warga Ulu Gadut, Limau Manis Selatan, mengatakan, ia sudah lama tahu suluk, tetapi hatinya baru terpanggil ikut pada 2016. Hingga Ramadhan tahun lalu, sudah lima kali ia bersuluk, yaitu dua kali di Belubus, Limapuluh, sekali di Indarung, Padang, dan dua kali di Surau Nurullah. Ramadhan tahun ini, ia ikut suluk 30 hari di Surau Nurullah.
”Alasan ikut suluk mencari amal, mencari jalan ‘pulang’, tidak ada tujuan lain,” kata Nurhaima, perempuan beranak delapan ini, ketika ditemui di rumahnya, dua hari sebelum bersuluk.
Dampak pandemi
Pandemi Covid-19, turut berdampak terhadap pelaksanaan suluk pada sebagian surau. Surau Baru di Kecamatan Pauh, Padang, tidak jauh dari Surau Baitul Makmur, tidak lagi mengadakan suluk dalam tiga tahun terakhir.
Buya Zahar Malin Parmato (65), mursyid di Surau Baru, Rabu (30/3/2022), mengatakan, tidak ada jemaah yang datang bersuluk sejak 2020. Minimal suluk mesti diikuti lima orang. Terakhir suluk di surau itu diadakan pada 2019, diikuti sedikitnya 15 salik.
”Awalnya gara-gara korona. Orangtua tidak diizinkan anaknya ke surau. Ada isu surau dikawal polisi, jadi mereka takut. Padahal, polisi di sini tidak ada melarang,” kata Buya Zahar.
Selain faktor pandemi, kata Buya Zahar, para salik lama sudah banyak yang meninggal. Sementara itu, salik baru belum ada yang hendak bersuluk. ”Mursyid cuma menunggu. Yang datang diterima, kalau tidak datang, tidak diraih. Beramal tidak bisa diraih,” ujarnya.
Adapun di Surau Nurullah pandemi Covid-19 tidak berdampak pada kegiatan suluk. Sejak 2017, surau ini rutin menerima para salik. Kata Buya Mudo Khalidi, polisi tidak melarang kegiatan suluk. ”Justru bersuluk lebih aman dari korona dibanding isolasi di rumah. Di surau, jemaah tidak bertemu dengan orang luar,” ujarnya.
Baca Juga: Persiapkan Tubuh Jalani Puasa Ramadhan, Simak 4 Tips Berikut Ini
Dari Mekah
Guru besar Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang Duski Samad menjelaskan, suluk merupakan salah satu dari lima ajaran pokok dari Tarekat Naqsabandiyah. Empat ajaran lainnya dari tarekat ini adalah baiat atau ikrar mengikuti ajaran guru, zikir, tawajuh atau membulatkan hati pada Allah, dan pengajian.
Menurut Duski, suluk secara luas bisa dilakukan di hari apa pun. Namun, di Sumbar, suluk umumnya dilakukan menjelang, saat, hingga selesai Ramadhan. Sebab, bulan Ramadhan biasanya menjadi momen untuk memperbanyak ibadah.
Suluk pada hakikatnya adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. (Sy Dt Parpatih)
Duski menuturkan, ajaran Tarekat Naqsabandiyah diperkenalkan di Minangkabau oleh Syekh Ismail Simabur tahun 1850-an. Syekh Ismail membawa ajaran ini dari Mekah ketika kembali ke kampung halamannya di Simabur, Pariangan, Tanah Datar. Dari Simabur, tarekat menyebar ke daerah lain di Ranah Minang, bahkan sampai ke Sumatera Utara dan Riau.
Meskipun secara silsilah saling berkaitan, dalam pengamalannya, suluk tiap-tiap surau bisa saja berbeda tergantung mursyid di surau masing-masing. Salah satunya, dalam hal pengasingan diri (uzlah).
Di Surau Baitul Makmur, Padang, jemaah masih diperkenankan bertemu dan berbicara dengan orang lain. Sementara itu, di Surau Nurullah di Padang dan Surau Engku Bila di Limapuluh Kota, jemaah tidak diperkenankan berinteraksi dengan orang lain karena dinilai dapat merusak suluk mereka.
”Ada mursyid yang memaknai uzlah bahwa jemaah benar-benar diasingkan hingga ke fisiknya. Ada pula yang memaknai uzlah cukup tidak terpengaruh oleh orang lain,” kata Duski.
Kesehatan mental
Sy Dt Parpatih dalam tesis ”Suluk dalam Tarekat Naqsabandiyah dan Relevansinya dengan Kesehatan Mental” menuliskan, ada kaitan erat antara suluk dan kesehatan mental. Tesis itu diterbitkan tahun 2006 di Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang.
Menurut Parpatih, dalam bersuluk, ada dua jalan yan ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, yaitu pengakuan dosa (tobat) dan zikir. Dengan tobat dan zikir jiwa menjadi lebih tenteram, tenang, dan damai.
”Suluk pada hakikatnya adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat terpuji,” tulis Parpatih.
Hal itu diakui para peserta suluk. Ramani mengatakan, setelah mengikuti suluk, hidupnya menemukan keseimbangan. Batinnya terasa lebih tenang dan pikirannya bisa lebih jernih dalam bertindak. Semua yang dilakukan di sisa hidup hanya untuk Sang Maha Pencipta.
Hal senada diungkapkan Nurhaima. Setelah bersuluk, ia semakin taat dan beribadah di awal waktu. ”Jadi lebih sabar dan hati lebih tenang. Senang benar kalau menginap di surau itu, tenang benar di sana,” ujarnya.
Buya Mudo Khalidi mengatakan, perubahan pada diri setiap peserta tergantung amalan masing-masing. Jika ikhlas, bakal ada perubahan. Ia sendiri mengikuti suluk sejak usia 42 tahun di Surau Tanjuang, Tanjung Pati, Nagari Koto Tuo, Limapuluh Kota, berguru pada Syekh Nurullah Datuak Anso, anak Buya Balubuih.
Sebelum bersuluk, Buya Mudo Khalidi mengaku, perkataannya banyak bohong, kotor, kasar, dan menyakiti orang lain. ”Zikir menyucikan hati,” ujarnya. Perubahan lainnya pada dirinya, ia tidak bisa mengungkapkan. ”Biar orang lain yang menilai diri kita,” ujar Buya berpembawaan tenang ini.
Baca Juga: Yuk, Jalani Puasa dengan ”Jamu Gendong”