Bulan April NTT Memasuki Kemarau, Perlu Upaya Antisipasi Kebakaran Lahan
Bulan April NTT mulai memasuki musim kemarau. Jaga lingkungan yang ada dan hindari kebakaran. Kerusakan lingkungan berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Bulan April 2022 Nusa Tenggara Timur sudah memasuki musim kemarau. Namun, di sejumlah kabupaten, hujan masih terjadi dengan intensitas ringan hingga tinggi sampai memasuki bulan Mei. Curah hujan itu masih bisa digunakan untuk menaman tanaman pertanian. Berbagai pihak juga diminta mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lebih memperhatikan lingkungan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kelas II Kupang, NTT, Agung Sudiono Abadi di Kupang, Sabtu (2/4/2022), mengatakan, analisis curah hujan pada Maret dasarian III menunjukkan curah hujan pada kategori menengah, yakni 51-150 milimeter.
Hanya sebagian kecil wilayah Manggarai Barat, Manggarai Timur, Manggarai, Nakegeo, dan sebagian kecil wilayah Kabupaten Ende masuk kategori tinggi dengan curah hujan 150-200 mm.
Berdasarkan peta prakiraan deterministik curah hujan, dasarian I bulan April pada umumnya mengalami curah hujan kategori rendah, yakni 0-50 mm. Sementara di sebagian besar Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai, Ngada, Nagekeo, dan sebagian besar Kabupaten Sikka diprakirakan curah hujan pada kategori menengah, yakni 51-150 mm.
Sebagian kecil wilayah Kabupaten Flores Timur, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan sebagian kecil Kabupaten Belu diprakirakan kondisi hujan pada kategori menengah dengan tingkat curah hujan 51-150 mm. Namun, sebagian kecil Kabupaten Kupang masih berada pada kondisi curah hujan kategori tinggi (151-300 mm).
Para petani bisa memanfaatkan sisa-sisa hujan bulan April ini untuk menanam jagung musim tanam kedua. Penanaman sebaiknya dilakukan di dataran rendah dan lembab, dekat bantaran sungai, dan wilayah pegunungan. Bibit jagung diutamakan jenis jagung yang cepat dipanen, berusia 25-40 hari.
Makanan cadangan
Petani bisa juga menanam umbi-umbian dan kacang-kacangan dalam jumlah yang cukup sebagai makanan cadangan memasuki musim kemarau pada Juli-November.
Adapun pada puncak kemarau, yakni bulan Agustus-November, stok makanan berkurang sehingga terjadi kerawan pangan dan kasus gizi buruk. Kondisi ini bisa diperburuk dengan kekeringan ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah di NTT.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wilayah NTT Umbu Wulang Paringgi meminta masyarakat menjaga lingkungan hidup yang telah tumbuh pulih secara alamiah selama tiga bulan hujan.
Hutan itu bermanfaat menyimpan air, membawa kesejukan, tempat tinggal jutaan spesies tanaman dan hewan, sebagai pengatur perubahan iklim, serta memberi kesejahteraan bagi warga sekitar.
”Hindari kebakaran hutan dan penebangan liar. Kasus kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun selama ini hendaknya bisa ditekan. Ini butuh peran serta semua pihak. Pembangunan jalan dan permukiman penduduk tetap memperhatikan kondisi lingkungan sekitar,” kata Paringgi.
Kerusakan hutan dan kekeringan ekstrem membawa dampak buruk bagi masyarakat sekitar. Kondisi lahan tidak menjadi subur, berpengaruh pada tanaman pertanian, dan kesejahteraan masyarakat. Gagal panen menyebabkan gizi buruk dan tengkes.
Kasus tengkes dan gizi buruk yang sedang hangat dibicarakan saat ini antara lain karena kerusakan lahan pertanian. Degradasi lingkungan menahun berdampak pada kesuburan tanah. Namun, hal ini tidak pernah disadari banyak pihak.
Kepedulian pemda terhadap lingkungan hidup sangat rendah. Penguasa justru memanfaatkan jabatan yang ada mengambil dan mencaplok sejumlah hutan adat atas nama kesejahteraan masyarakat untuk kepentingan proyek mereka. (Aleta Baun)
Ada anggapan bahwa kesuburan tanah bisa diatasi dengan pemberian pupuk. Padahal, pupuk kimia justru semakin memperburuk kesuburan tanah jika digunakan secara tak teratur dan berulang-ulang di lokasi yang sama.
Dalam empat tahun terakhir, kepedulian terhadap lingkungan sangat kurang bahkan tidak ada. Gerakan penghijauan dan reboisasi massal melibatkan pemda, pengusaha, dan masyarakat tidak dilakukan. Sementara tingkat kerusakan hutansetiap tahun 20-30 persen, terutama kawasan lahan kering dan tandus.
Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali–Nusa Tenggara, Aleta Baun, mengatakan, selama musim hujan pemerintah tidak melakukan kegiatan penghijauan sama sekali.
Penghijauan dinilai bukan proyek yang menguntungkan selama menjabat. Mencintai NTT semestinya juga mencintai lingkungan dan masyarakat penghuninya.
Peraih Yap Thiam Hien Award 2016 ini mengamati, selama musim hujan, kegiatan penanaman pohon dilakukan kelompok masyarakat adat secara sporadik di sejumlah sumber mata air di beberapa tempat.
Masyarakat adat yang tidak memiliki pengetahuan luas tentang lingkungan pun selalu peduli untuk menanam dan merawat, sementara pejabat yang mengaku sebagai pengambil kebijakan, penjaga lingkungan, dan pencipta kesejahteraan sama sekali tidak peduli.
”Kepedulian pemda terhadap lingkungan hidup sangat rendah. Penguasa justru memanfaatkan jabatan yang ada mengambil dan mencaplok sejumlah hutan adat atas nama kesejahteraan masyarakat untuk kepentingan proyek mereka,” katanya.
Padahal, realitasnya mereka hanya bisa merusak lingkungan atas nama pembangunan, tetapi tidak bisa mengembalikan lingkungan ke kondisi semula,” kata Aleta.
Anggota DPRD NTT periode 2014-2019 ini mengajak masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kearifan lokal terkait lingkungan hidup di daerah masing-masing.
”Tanah itu daging manusia, batu itu tulang, air sama dengan darah kita, hutanitu pakaian manusia. Semua itu Tuhan berikan cuma-cuma kepada manusia untuk dijaga dan dirawat demi kesejahteraan kita sendiri,” kata peraih Goldman Environmental Prize 2013 ini.