Dalam sebulan, para petambang ilegal mengeruk lahan sekitar 1 hektar untuk diambil kandungan batubaranya. Mereka menambang di Tahura Bukit Soeharto yang merupakan area pengembangan IKN Nusantara.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS - Petambang ilegal mengeruk areal pengembangan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara di Kalimantan Timur. Dalam sebulan, sedikitnya satu hektar lahan digali untuk diambil kandungan batubara di dalamnya.
Hal itu terungkap setelah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan adanya aktivitas tambang ilegal di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Pada 21 Maret 2022 sekitar pukul 00.00 Wita, 11 orang tertangkap tangan menambang batbara di kawasan konservasi dan pendidikan tersebut.
Dari dokumentasi KLHK yang diterima Kompas, para petambang sudah memapras sebuah bukit. Pohon dan tumbuhan lainnya dibiarkan berserakan di sekitar gundukan tanah. Di sejumlah lubang yang sudah digali terdapat genangan air berwarna coklat di antara gundukan batubara.
Secara administratif, lahan yang mereka keruk berada di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, kawasan itu merupakan bagian dari kawasan pengembangan IKN seluas 199.962 hektar.
”Setelah diperiksa, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah M (60) sebagai penanggung jawab atau koordinator lapangan, ES (38) dan E (34) selaku operator alat berat,” ujar Direktur Jenderal Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani dalam siaran pers di Samarinda, Kamis (24/3/2022).
Para tersangka diduga melanggar Pasal 89 Ayat (1) huruf b dan/atau a jo Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan/atau b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 37 angka 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mereka terancam hukuman maksimum 15 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Dalam sebulan, setidaknya 1 hektar lahan sudah mereka keruk. Ini masih didalami apakah ada kemungkinan mereka juga menambang di wilayah lain. (Edward Hutapea)
Dari penambangan ilegal itu, penyidik mengamankan dua unit ekskavator, sejumlah nota dan buku catatan, sampel batubara, serta 1 unit dumptruck hijau. Rasio menjelaskan, para tersangka masih terus diperiksa untuk mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat.
Rasio melanjutkan, pihaknya berupaya untuk mengungkap pemodal dari kegiatan ilegal ini. Selain itu, ia masih menelusuri siapa saja yang mendapat keuntungan dari kejahatan lingkungan tersebut. Bahkan, ia mengendus ada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sebab, berkaca pada kasus sebelumnya, TPPU kerap bermula dari tindak pidana kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan. Untuk memastikan hal tersebut, Rasio mengatakan, penyidik akan mengikuti aliran uang dari pertambangan ilegal ini.
Dari pemeriksaan awal, para tersangka mengaku sudah menambang di Tahura Bukit Soeharto selama satu bulan. Para pekerja itu hanya diminta untuk bekerja dan dibayar harian.
”Dalam sebulan, setidaknya 1 hektar lahan sudah mereka keruk. Ini masih kami dalami apakah ada kemungkinan mereka juga menambang di wilayah lain,” ujar Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Edward Hutapea.
Meluas
Kasus ini menambah panjang daftar lingkungan yang rusak akibat pertambangan batubara di Kaltim yang saat ini ditetapkan sebagai IKN Nusantara. KLHK mencatat, setidaknya terdapat 1.751,7 hektar lubang tambang menganga di kawasan pengembangan IKN Nusantara di Kecamatan Samboja.
Sejumlah lubang teridentifikasi di tutupan hutan yang berfungsi sebagai koridor satwa. Beberapa lubang bahkan terdapat di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. KLHK juga mencatat, lubang-lubang itu digenangi air yang amat berbahaya jika dikonsumsi.
Dari penelusuran KLHK, kadar pH air dalam lubang tambang di sana berkisar 2,1-5,8. Angka itu jauh di bawah standar air minum yang layak dikonsumsi manusia. Menurut Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat, tingkat pH air layak minum bagi manusia ada di kisaran 6,5 hingga 8,5.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menuntut penegak hukum mengusut tuntas aktor-aktor petambang ilegal di Kaltim. Sebab, pada penangkapan terdahulu, penegak hukum kerap berhenti di penetapan tersangka para pelaku di lapangan.
”Ini bentuk kelemahan sistem penegakan hukum. Padahal, tak sedikit pemodalnya justru orang yang terhubung dengan pertambangan legal, politisi, hingga sejumlah oknum aparat,” kata Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang.
Selain penegakan hukum dan sistem pengawasan yang lemah, Rupang menyebutkan, maraknya tambang ilegal juga didorong oleh keuntungan besar yang didapat para pelaku.
Ia mencontohkan, dari 1 hektar lahan hanya butuh modal Rp 150 juta untuk sewa alat berat. Keuntungan yang didapat di kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar.