Polisi masih mengejar sepuluh pemodal tambang emas liar di Gunung Botak. Pemodal tersebut biasanya berusaha menyuap aparat agar aksi mereka langgeng.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku sedang mengejar sepuluh pemodal di balik aktvitas tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru. Dengan tertangkapnya pemodal, aktivitas ilegal di sana diharapkan bisa terhenti. Dugaan adanya beking dari oknum aparat atau pejabat negara juga perlu didalami.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Komisaris Besar Harold Wilson Huwae, Jumat (11/3/2022), mengatakan, informasi mengenai sepuluh pemodal yang diburu itu diperoleh dari pengembangan penyidikan pasca-penangkapan tersangka Mirna (47). Mirna yang juga pemodal ditangkap beberapa hari yang lalu.
”Setelah tim kami menangkap tersangka Mirna, pemodal yang lain langsung kabur dan menghilangkan banyak barang bukti. Untuk lokasi tempat mereka beroperasi sudah kami dapatkan di titik mana saja. Kami masih terus melakukan pengejaran dan pengumpulan berbagai barang bukti pendukung,” kata Harold.
Menurut dia, para pemodal berusaha menghidupkan kembali aktivitas tambang emas liar di Gunung Botak. Sejak beroperasi pada 2010, upaya penertiban sudah dilakukan puluhan kali. Namun, setelah itu petambang kembali masuk ke sana. Petambang ilegal ini disokong oleh para pemodal.
Selain operasional harian, para pemodal juga memberi bahan dan peralatan. Bahan dimaksud, antara lain, zat kimia untuk mengolah emas berupa merkuri dan sianida, serta peralatan seperti generator set, mesin pengaduk, dan karpet penyerap mineral emas. Satu lokasi pengolahan butuh modal paling sedikit Rp 50 juta.
Pemberian modal itu diikuti dengan perjanjian bagi hasil. Sejauh ini polisi belum mengetahui sistem pembagian hasil antara pekerja dan pemodal. Menurut informasi yang diperoleh
Kompas
, dalam satu bulan, setiap lokasi pengolahan emas meraup penghasilan lebih dari 50 juta dan hasilnya dibagi dua untuk pemodal dan pekerja.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku menangkap Mirna pada awal Maret 2022. Pelaku merupakan warga Desa Kayeli, Kecamatan Teluk Kayeli, Kabupaten Buru. Desa itu menjadi pintu masuk ke lokasi penambangan ilegal. Inilah penangkapan terbesar sejak lokasi tambang itu beroperasi.
Ketika ditangkap dan digeledah, polisi menemukan sejumlah barang bukti, antara lain, 36 paket sianida berukuran masing-masing 25 kilogram, 2 kaleng sianida ukuran 50 kilogram, dan setengah kaleng sianida dengan ukuran 50 kilogram. Ada juga 25 paket kostik masing-masing berukuran 25 kilogram.
Selain itu, aparat juga menemukan 35 paket karbon berukuran masing-masing 25 kilogram, satu unit pompa pembakaran emas, satu set tabung dan selang minyak, 160 karung material emas masing-masing 25 kilogram, 2 kilogram cairan merkuri, alat timbangan, tungku pembakaran, dan 563 gram emas.
Kondisi ini mungkin masih akan terulang lagi karena di Gunung Botak itu menjanjikan. Beberapa waktu lalu, sebagai ahli waris ingin menjual lahan di lokasi agar bisa dikelola secara profesional. (Hasan Wael)
Mirna ditangkap setelah polisi mendapat informasi dari masyarakat. Tim kemudian menggeledah gudang penyimpanan barang dan ruangan tertutup milik pelaku.
Tersangka beroperasi bertahun-tahun. Selain jadi pemodal, Mirna juga menjual berbagai jenis bahan kimia yang digunakan untuk mengolah emas. Ia juga memiliki tempat pengolahan emas.
Hasan Wael (57), salah satu pemilik hak ulayat di Gunung Botak, mengatakan, banyak kepentingan yang bermain di lokasi tambang liar tersebut. Mereka bahkan berusaha memengaruhi aparat untuk melanggengkan aksi mereka di saja. Mereka beraksi selama bertahun-tahun dan tidak diproses secara hukum.
Menurut Hasan, masih ada peluang untuk mereka kembali lagi ke Gunung Botak. ”Kondisi ini mungkin masih akan terulang lagi karena di Gunung Botak itu menjanjikan. Beberapa waktu lalu, sebagai ahli waris, ingin menjual lahan di lokasi kepada siapa saja yang mau beli agar dikelola secara profesional,” ujarnya.
Dalam catatan Kompas, sejumlah oknum aparat keamanan ikut memuluskan jalannya tindakan ilegal itu. Bahkan, ada aliran suap yang diduga masuk ke kantong aparat.
Polda Maluku pun menyadari hal tersebut dan menindak oknum anggota mereka yang terlibat. Ada yang bahkan diberi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat dari keanggotaan Polri.
Dulu pernah dibangun pos permanen di pintu masuk Gunung Botak, tetapi tidak bertahan karena anggaran habis. ”Maka perlu anggaran dari pemerintah daerah,” katanya.
Sementara itu, Abraham Mariwy, peneliti logam berat dari Universitas Pattimura, Ambon, mendorong semua pihak agar peduli pada pengendalian lingkungan yang rusak akibat penambangan ilegal itu.
Ia mengkhawatirkan tragedi Minamata di Jepang akibat penggunaan merkuri berpotensi terulang di Pulau Buru yang kini menjadi salah satu sentra pangan di Maluku.