Rumah Gadang, Bangunan Tahan Gempa yang Ditinggalkan
Masyarakat Adat Minangkabau membuktikan manusia dapat berkompromi dengan kondisi geologi yang rentan bencana. Namun, kini kearifan lokal rumah tahan gempa justru dianggap inferior dan semakin ditinggalkan.
Rumah gadang yang berusia lebih dari 100 tahun berdiri tegak di Kampung Tinggam, Jorong Lubuak Sariak, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Padahal, sebagian besar rumah tembok di Pasaman Barat dan sekitarnya hancur diguncang gempa bermagnitudo 6,1 pada 25 Februari 2022.
Kampung Tinggam adalah permukiman kuno terakhir yang tersisa di Nagari Kajai. Di sana tersisa 6 rumah gadang dan sekitar 50 rumah panggung dari bahan kayu. Perkampungan tradisional itu dihuni lebih kurang 100 keluarga.
Salah satu pemilik rumah gadang itu adalah Kartini (52). Ia berada di dalam rumah bersama suami waktu gempa terjadi. Saat itu, mereka sedang bersiap menggarap sawah.
”Rumah bunyi krak-krak-krak dan kami lari keluar. Setelah sampai halaman, kami lihat rumah ini goyang ke kanan dan ke kiri kencang sekali seperti bambu ditiup angin,” kata Kartini saat ditemui di rumahnya, Rabu (2/3/2022).
Kartini mengira rumah gadang warisan nenek moyangnya itu bakal roboh karena sudah tua dan lapuk di beberapa bagian. Seingat dia, bangunan itu sudah ditempati lebih dari enam keturunan.
Rumah gadang itu hanya sekali direnovasi sekitar 15 tahun lalu. Dinding papan yang lapuk diganti papan baru. Adapun tiang-tiang bangunan yang berumur lebih dari 100 tahun masih dipertahankan.
”Saya heran, waktu gempa berhenti, rumah ini masih berdiri seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya tonggak-nya (tiang) saja bergeser sedikit dari sondi (batu tumpuan),” ujar perempuan murah senyum itu.
Ini rumah yang baru saya bangun, hancur lebur karena gempa. Rumah-rumah kayu tetangga yang dulu kami kira lapuk ternyata malah mampu bertahan.
Sayangnya, rumah-rumah itu justru ditinggalkan warga. Kampung Tinggam bahkan pernah dicap sebagai desa tertinggal pada masa Orde Baru. Rumah gadang dan rumah panggung yang terbuat dari kayu dijadikan salah satu indikator kemiskinan oleh pemerintah.
Dampaknya, warga Kampung Tinggam merasa inferior. Perkampungan tradisional itu mulai ditinggalkan. Warga pindah dan membangun rumah batu bata di desa sekitar.
”Rumah gadang dan rumah panggung kayu banyak yang kosong. Kalau ada rezeki, warga pilih mendirikan rumah tembok di desa lain,” kata salah satu warga, Indra (43).
Pada November 2021, Indra merobohkan rumah panggung kayu warisan keluarga istrinya. Mereka berdua kemudian mendirikan rumah tembok dengan biaya Rp 80 juta.
”Ini rumah yang baru saya bangun, hancur lebur karena gempa. Rumah-rumah kayu tetangga yang dulu kami kira lapuk ternyata malah mampu bertahan,” ucapnya.
Kearifan lokal
Doktor bidang arsitektur Universitas Bung Hatta (UBH), Padang, Jonny Wongso, mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat rumah gadang tahan gempa. Pertama, dari segi struktur, fondasi rumah gadang tidak tertanam di dalam tanah, tetapi berada di permukaan, diletakkan di atas sebuah batu pipih.
”Fondasi permukaan ini tidak kaku. Jika terjadi gempa mendatar tidak akan berpengaruh. Kalau tertanam di tanah, dibeton, ada gempa, dia akan patah karena kaku. Itu yang membuatnya ramah gempa,” kata Jonny, yang juga Ketua Program Studi Magister Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UBH.
Rumah gadang juga menggunakan sistem pasak untuk sambungan tiang, balok lantai, dan balok atap. Sambungannya berupa sambungan salam menggunakan pen atau pasak kayu dengan sedikit rongga. Sistem pasak ini membuat bangunan fleksibel terhadap gaya vertikal dan horizontal. Sementara beton bersifat kaku dan bisa patah saat terguncang kuat.
Stuktur tiang rumah gadang yang mengembang ke atas dan kuncup ke bawah, tidak lurus, juga berpengaruh. Kemiringan tiang ini jika dihubungkan ke dalam tanah akan menuju titik nol dan membuat nilai momennya nol sehingga memperkokoh struktur bangunan.
Karena tiangnya mengembang ke atas dan dihubungkan dengan balok-balok, rumah gadang justru akan semakin kokoh saat dibebani karena tertekan. Rumah gadang juga dibangun menggunakan kayu berkualitas baik, yang bisa tahan ratusan tahun, terutama untuk tiangnya.
”Itulah yang membuat rumah gadang kokoh dan dia bisa ramah terhadap gempa. Bangunan akan berayun-ayun saja mengikuti gaya gempa karena sistem sambungan menggunakan pasak,” kata Jonny.
Menurut Jonny, bentuk rumah gadang yang demikian bukanlah sebuah kebetulan. Nenek moyang memilik bentuk itu tentu belajar dan beradaptasi dari kondisi alam. Sejauh ini, ia belum pernah mendengar ada rumah adat Minangkabau roboh karena gempa. Apalagi Sumbar dan wilayah lainnya di Sumatera rawan terhadap gempa dan bencana alam lainnya.
”Rumah tradisional, juga di Batak, Toraja, ataupun tempat lain, leluhur membuat sesuai kondisi alam. Jadi, tidak ujug-ujug dibentuk demikian. Pasti ada maksud-maksud tertentu. Itulah kearifan lokal para leluhur kita dahulu,” ujarnya.
Kalau nanti dapat bantuan dari pemerintah, saya akan bangun rumah kayu seperti dulu saja. (Indra)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga 1 Maret, 12 orang meninggal akibat gempa yang berdampak di Pasaman Barat dan Pasaman itu.
Baca juga: BMKG: Gempa M 6,1 Pasaman Barat Terjadi di Patahan Baru
Di Pasaman Barat, 6 orang meninggal. Selain itu, 45 warga luka berat, 336 orang luka ringan, dan sekitar 8.000 orang mengungsi. Tercatat 747 rumah dan sejumlah fasilitas umum rusak.
Adapun di Pasaman, jumlah korban meninggal 6 orang, 5 warga mengalami luka berat, 36 orang luka ringan, dan lebih kurang 6.785 orang mengungsi. Sebanyak 1.000 rumah rusak dan beberapa fasilitas umum rusak.
Ahli geologi Ade Edward mengatakan, gempa tidak pernah ”membunuh”. Korban jatuh karena tertimbun bangunan. Sayangnya, rumah beton di Pasaman Barat dan sekitarnya bermutu buruk. Hal itulah yang menjadi sumber petaka.
Menurut dia, untuk kali ini, alam masih bermurah hati kepada warga di Pasaman Barat dan sekitarnya. Gempa M 6,1 yang menghancurkan sebagian besar rumah warga datang empat menit setelah gempa pertama M 5,2.
”Warga diperingatkan gempa pertama sehingga bisa menyelamatkan diri sebelum datang gempa kedua yang lebih kuat. Kalau tidak ada gempa pertama, mungkin jumlah korban akan jauh lebih banyak,” ujar Ade yang pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar.
Baca juga: Belajar dari Kampung Tinggam, Permukiman Kuno yang Bertahan dari Gempa Pasaman Barat
Mitigasi
Gempa bumi memang belum bisa diprediksi. Namun, gerakan bumi yang tiba-tiba ini sebenarnya bisa diantisipasi salah satunya dengan membangun rumah tahan gempa.
Sebenarnya, sudah ada Standar Nasional Indonesia Bangunan Tahan Gempa tahun 2012 yang diperbarui pada 2019. Namun, bangunan tahan gempa masih sulit diterapkan untuk bangunan rakyat karena tidak ada penegakan hukum.
Ade menilai BNPB dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebaiknya melibatkan tukang bangunan lokal dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi nanti. Dengan begitu, selanjutnya teknologi rumah tahan gempa akan lebih mudah diakses warga setempat.
”Rehabilitasi dan rekonstruksi jangan diserahkan kepada kontraktor dari luar daerah. Pemerintah harus bantu warga Pasaman Barat dan sekitarnya untuk belajar memitigasi gempa,” ujarnya.
Jauh di kaki Gunung Talamau, masyarakat adat Kampung Tinggam telah membuktikan manusia dapat berkompromi dengan kondisi geologi yang rentan bencana. Saat ini, tugas pemerintah tinggal membangkitkan lagi pengetahuan lokal yang merupakan hasil dari pergulatan panjang tersebut.
Di depan rumah temboknya yang hancur, Indra menyadari kearifan rumah gadang dan rumah panggung kayu yang dibangun nenek moyangnya. ”Kalau nanti dapat bantuan dari pemerintah, saya akan bangun rumah kayu seperti dulu saja,” ucapnya.
Baca juga: Merawat Ingatan Gempa, Menumbuhkan Kesadaran Bencana