Transisi Energi Hijau, Jalan Mereduksi Dampak Krisis Iklim
Krisis iklim tidak hanya akan menyebabkan krisis lingkungan, tetapi juga memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan. Pola pembangunan menggunakan energi fosil harus segera beralih menuju energi hijau.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan pemakaian energi fosil menuju energi hijau atau terbarukan menjadi jalan untuk mereduksi dampak krisis iklim di masa depan. Jika transisi itu gagal, perubahan iklim tidak hanya akan menyebabkan krisis lingkungan, tetapi juga memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan.
Ekonom senior dan tokoh lingkungan hidup, Prof Emil Salim, mengatakan, transisi energi hijau sangat penting untuk mengatasi krisis iklim. Pembakaran energi fosil, seperti batubara dan minyak bumi, melepaskan zat-zat cemar ke udara yang membuat suhu bumi semakin panas.
”Jadi, kita mesti mengubah pola pembangunan dari (penggunaan) energi kotor (bahan bakar fosil) ke energi bersih atau hijau,” ujarnya dalam webinar KompasTalks bersama Greenpeace bertema ”Pentingnya Transisi Hijau untuk Mengatasi Krisis Iklim”, Rabu (2/3/2022).
Sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan gelombang laut banyak ditemukan di Indonesia. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim.
Dibutuhkan sumber daya manusia yang memadai untuk memberdayakan sumber energi hijau itu sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang. Emil menyebut hal itu sebagai jalan keluar agar Indonesia bisa lepas dari ketergantungan memakai energi kotor.
”Kuncinya adalah ilmu pengetahuan untuk mendapatkan energi (terbarukan) itu. Kalau mau transisi ekonomi hijau, keluar dari ancaman perubahan iklim, bangsa kita harus terpelajar agar bisa menggunakan ilmunya untuk mengembangkan energi bersih,” jelasnya.
Sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan gelombang laut banyak ditemukan di Indonesia. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim.
Menurut Emil, ancaman krisis iklim tidak akan lama lagi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah menyepakati untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius pada 2050.
Oleh karena itu, pencemaran udara oleh zat kimia, seperti karbon dioksida dan metana, harus dikendalikan. Tujuannya agar lapisan zat cemar di udara yang menyelimuti bumi tidak semakin tebal sehingga dapat menahan laju peningkatan suhu bumi.
”Jika bumi semakin panas, menuju ke neraka hidup di dunia. Tumbuhan dan hewan tidak bisa survive hidup, manusia pun menghadapi krisis,” ujarnya.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan, salah satu tantangan pemanfaatan energi hijau adalah membuat harganya kompetitif dengan energi fosil. Hal ini membutuhkan dukungan regulasi, mulai dari pemakaian kapasitas besar, sedang, hingga kecil.
”Memang menyedihkan. Kita kaya akan sumber energi terbarukan, tetapi tidak optimal pemanfaatannya. (Harga) energi terbarukan tidak cukup kompetitif dibandingkan fosil,” ujarnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan ekosistem yang mengatur persaingan itu, salah satunya memberikan insentif fiskal dan nonfiskal pada penggunaan energi hijau. Proses penggunaan di tingkat konsumen juga mesti dipermudah.
”Dari sisi perencanaan dan target (penggunaan energi hijau) ada kemajuan. Namun, dalam membuat turunan kebijakan dan komitmen harus lebih serius lagi,” katanya.
Alin menambahkan, transisi ke energi terbarukan juga akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi. Prosesnya penting selalu dipantau untuk mengetahui proporsi sektor yang bergeser, termasuk dalam penyediaan tekonologi dan sumber daya manusia.
Salju abadi mencair
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, perubahan iklim telah menyebabkan tren kenaikan temperatur di Indonesia. Selain itu, dampaknya juga memicu hujan ekstrem yang menyebabkan banjir di berbagai daerah.
Dampak lainnya adalah mencairnya es di Puncak Jaya di Papua. Saat ini, permukaan es di sana sudah di atas titik beku, sekitar 5 derajat celsius.
”Jadi sudah dapat dipastikan, beberapa tahun akan datang, kita akan kehilangan wilayah yang kita kenal sabagai salju abadi itu,” katanya.
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menuturkan, kegagalan mengatasi krisis iklim juga akan menyebabkan krisis ekonomi dan kemanusiaan. Cuaca ekstrem yang memicu bencana akan berdampak buruk pada sektor ekonomi.
”Kita telah membangun ekonomi dengan cara yang salah. Sejak awal Revolusi Industri (1750), pembangunan selalu bersanding dengan energi fosil. Sekarang harus berbenah,” ujarnya.
Pembenahan itu dapat dimulai dengan melakukan transisi menggunakan energi hijau. Selain lebih ramah lingkungan, hal ini juga membuka peluang ekonomi baru karena Indonesia kaya akan sumber-sumber energinya.