Situs Srigading di Malang Ternyata Candi Era Mataram Kuno
BPCB Jatim mengungkap situs Srigading di Malang sebagai candi yang diperkirakan dibangun pada masa Mataram Kuno. Sedangkan di Blitar, BPCB menemukan permukiman masa lalu di balik Situs Karangtengah.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Relief berbahan tanah liat yang ditemukan saat eskavasi Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. BPCB memperkirakan situs ini merupakan candi yang dibangun pada masa Mpu Sindok atau peralihan Mataram kuno. Foto diambil Jumat (11/7/2022)
MALANG, KOMPAS — Tim Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur mengungkap gundukan tanah di Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, sebagai bangunan candi. Candi itu diperkirakan dibangun pada masa Mataram Kuno pada abad ke-10 Masehi.
Hal ini diketahui setelah tim melakukan eskavasi yang dilakukan sejak Senin (7/2/2022). Sebelum diekskavasi, Situs Srigading hanya berwujud gundukan tanah di tengah perkebunan tebu yang dipenuhi ilalang, rerumputan, dan beberapa tegakan. Konon, di tempat itu dulu tumbuh sebuah pohon besar, tetapi telah mati.
Di atas permukaan gundukan terdapat sebuah yoni berbahan batu andesit dengan ukuran sekitar 0,8 meter x 0,8 meter yang sempat berpindah lokasi lantaran hendak dicuri orang. Terdapat pula beberapa batu andesit berbentuk persegi empat dan batu bata kuno.
Ketua Tim Ekskavasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Wicaksono Dwi Nugroho, Jumat (11/2), mengatakan, Situs Srigading merupakan candi berbahan batu bata. Ukurannya 8 m x 8 m dengan bentuk bukan persegi empat, melainkan menyerupai mandala.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur tengah melakukan eskavasi Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (11/7/2022).
Hasil ekskavasi juga menunjukkan bahwa dahulu struktur bangunan candi ambles sehingga bagian atap dan tubuh candi runtuh ke semua sisi. Ini terlihat dari runtuhan batu bata yang cukup masif dan menutup profil kaki sehingga menciptakan gundukan dengan tinggi sekitar 3 meter.
Karena ditinggalkan dalam waktu lama, candi itu kemudian tertutup oleh lapisan humus sehingga lama-kelamaan tumbuh rumput dan pepohonan di atasnya.
Wicaksono menyakini di bawah yoni (bagian tengah) terdapat sumuran—yang menjadi ciri khas candi—meski di bagian itu belum digali. ”Di permukaan gundukan, di bagian tengah ada yoni, arca, dan lingga yang terkespos. Namun, arca-arca dan lingga itu hilang,” katanya.
Situs Srigading berorientasi ke arah ke Gunung Arjuno di sisi barat atau Semeru di sisi timur. Candi itu sendiri ada di poros kedua gunung. ”Ekskavasi kali ini merupakan penjajakan. Tujuannya, kami ingin membuktikan apakah ini ada candi atau tidak. Terjawab ada candi dengan beberapa bukti,” ujarnya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Hasil proses ekskavasi Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, hingga hari kelima oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Jumat (11/7/2022). BPCB memperkirakan situs ini merupakan candi yang dibangun pada masa Mpu Sindok atau peralihan Mataram Kuno.
Menurut Wicaksono, tim juga menemukan fondasi batu yang bentuknya persegi. Ditemukan juga pecahan relief berbentuk muka yang dengan gaya natural, beda dengan relief yang biasa ditemukan pada candi gaya Jawa Timuran yang bentuknya biasa pipih.
”Temuan batu bata di kawasan ini mirip dengan Situs Pendem di Kota Batu yang kami kaitkan dengan Prasasti Sangguran dari masa Mpu Sindok. Maka, di Srigading ini dikaitkan dengan Prasasti Linggasuntan, bergaya Mataram Kuno pada masa Sindok juga,” ucapnya.
Maka, di Srigading ini dikaitkan dengan Prasasti Linggasuntan, bergaya Mataram Kuno, pada masa Sindok juga. (Wicaksono Dwi Nugroho)
Prasasti Sangguran adalah prasasti yang ditemukan di Desa Ngadat, Junrejo, Batu, Malang, berangka 928 M yang menetapkan Desa Sangguran sebagai perdikan atau Sima. Prasasti ini menyebut Raja Medang atau Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sebagai penguasa daerah Malang.
Saat itu penguasa terakhir Kerajaan Medang, Jawa Tengah, Dyah Wawa, memerintah menantunya, Mpu Sindok, menganugerahkan Prasati Sangguran. Tidak berselang lama, kemudian Mpu Sindok memindahkan kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Adapun prasasti Linggasutan berangka tahun 929 Masehi. Prasasti ditemukan tidak jauh dari daerah ekskavasi itu yang menyatakan Desa Linggasutan sebagai desa perdikan di bawah kekuasaan Mataram Kuno.
Proses ekskavasi Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Jumat (11/7/2022).
Situs Karangtengah Blitar
Sementara itu, tim arkeolog BPCB Jatim yang lain menemukan struktur batu bata yang diperkirakan merupakan pagar permukiman masa lalu dalam kegiatan ekskavasi di tengah persawahan di Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
Seperti diketahui ada tiga tim arkeolog BPCB Jawa Timur yang melakukan ekskavasi bersamaan pada 7-12 Februari, masing-masing di Situs Karangtengah di Kota Blitar dan Situs Gemekan di Kabupaten Mojokerto. Ekskavasi melibatkan pembiayaan dari Yayasan Kaloka.
Ketua Tim Eskavasi Situs Karangtengah Nugroho Harjo Lukito mengatakan, pihaknya menemukan struktur batu bata sepanjang 14 meter di kedalaman sekitar 0,6 meter dari permukaan tanah. Struktur itu memanjang dari arah barat ke timur dengan kondisi sisi barat lebih tinggi dibandingkan dengan sisi timur.
Selain pagar, tim juga menemukan pecahan tembikar, pot, dan artefak lain yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat pada masa lampau.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Batu bata reruntuhan candi ditata di sebelah barat situs Srigading saat proses ekskavasi oleh tim arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur terhadap Situs Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Foto diambil pada Jumat (11/7/2022).
Selain pagar, menurut Nugroho, tim juga menelusuri keberadaan saluran air yang ada di tempat itu. ”Di sisi atas, yang kita duga ada saluran air, setelah digali ternyata terputus. Salurannya terputus dan kami belum temukan lanjutannya. Nanti coba kita cari pakai augering (sistem tusuk) untuk mengetahui apakah masih ada kelanjutan dari struktur yang kita duga sebagai saluran air,” ujarnya.
Soal pagar, menurut Nugroho, pihaknya tinggal melihat struktur yang mengarah ke utara—apakah dimensinya juga sama dengan pagar yang mengarah ke sisi barat-timur. Apa yang ditemukan dalam kolom ekskavasi kali ini diperkirakan bagian tepi dari permukiman tersebut.
”Susunan batu batanya melintang dengan ketinggian yang tidak sama. Pagar ini semakin ke timur susunannya makin rendah. Modelnya seperti berundak,” katanya.
Melihat temuan yang ada, khususnya keramik, Nugroho meyakini benda-benda itu berasal dari zaman Dinasti Song akhir abad 13-14 masehi. Beberapa gerabah juga identik dengan gerabah (nonwadah dengan motif ukiran di bagian luar) di Trowulan, Mojokerto, yang bernuansa Majapahit.