Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia sekaligus mantan Wakil Ketua Dewan Pers Margiono berpulang, Selasa (1/2/2022). Semasa hidupnya, almarhum ikut mendorong kemandirian media dan kesejahteraan wartawan.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·4 menit baca
Wartawan pada era sekarang ini sebenarnya sulit. Wartawan tidak bisa lagi melihat sebuah peristiwa sebatas peristiwanya itu sendiri, tetapi harus mendudukkan dalam konteksnya. (Margiono (1960-2022), disampaikan pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2011 di Kupang, Nusa Tenggara Timur)
Nama Margiono sebagai wartawan, tepatnya sebagai pimpinan media yang berangkat dari seorang wartawan, banyak diketahui oleh warga negeri ini. Memang banyak nama besar lain, seperti Jakob Oetama, Dahlan Iskan, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, atau PK Ojong. Namun, Margiono memberikan warna yang berbeda, karena ia bukan saja merintis karirnya dari bawah, tetapi juga memimpin organisasi wartawan pada masa yang tak mudah. Media konvensional kian terdisrupsi digital.
Ia juga memimpin Dewan Pers, sebagai wakil ketua pada periode 2013-2016, setelah sebelumnya menjadi anggota. Dan, saya mengenal Margiono, yang biasa disapa mas MG, saat kepengurusan baru Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 2013-2018 meminta Harian Kompas menjadi pengurus, terutama sebagai Ketua Bidang Hukum/Perlindungan Wartawan. Inilah periode kedua kepemimpinan Margiono, yang didampingi Sekretaris Jenderal Hendry Ch Bangun, yang juga wartawan Kompas. Setelah menjabat dua periode kepemimpinan PWI Pusat, tahun 2018, Mas MG digantikan Atal S Depari.
Sebagai pemimpin, mas MG tampak selalu santai, tetapi fokus pada persoalan dan memberikan kesempatan pada siapapun untuk menyampaikan pendapat. Ia tak banyak bicara saat memimpin rapat, dan lebih banyak mendengar, sambil menikmati segelas es tes manis kesukaannya. Ketika harus mengambil keputusan, ia tinggal merumuskan apa yang menjadi masukan peserta rapat, Keputusan itu pun menjadi bukan hanya miliknya, tetapi milik bersama. Tak ada yang ditinggalkan.
Pertengahan tahun 2018, sebelum Kongres PWI di Solo, mas MG memang sempat meninggalkan sementara jabatan Ketua Umum PWI Pusat, karena mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Ia sementara digantikan Sasongko Tedjo, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat. Namun, ia kurang beruntung di kontestasi itu. Margiono kembali ke PWI Pusat, menjelang masa kepengurusannya berakhir.
Wartawan harus berkompetensi, seperti yang disyaratkan Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Indonesia. Kompetensi bisa dibangun, termasuk dengan referensi dan pelatihan, jika kesejahteraan wartawan dipenuhi.
Sebagai seorang pimpinan organisasi wartawan, setiap saat Mas MG selalu memikirkan, mengucap, dan mengusahakan peningkatan kesejahteraan wartawan di negeri ini. Ia pasti paham betul kondisi wartawan di Indonesia, yang sebagian masih berada di bawah upah minimum regional (UMR), penghasilannya. Kesempatan berbicara di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Presiden Joko Widodo, saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) setiap 9 Februari, secara bercanda, mas MG selalu menyelipkan pentingnya perhatian pada kesejahteraan wartawan itu.
Seperti yang disampaikannya pada peringatan HPN tahun 2011 di Kupang, ia mengungkapkan posisi wartawan yang saat ini sulit. Wartawan harus mampu menempatkan setiap peristiwa pada konteksnya (Kompas, 10/2/2011). Untuk bisa menempatkan sebuah peristiwa pada konteksnya itu, kompetensi wartawan menjadi penting. Wartawan harus berkompetensi, seperti yang disyaratkan Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Indonesia. Kompetensi bisa dibangun, termasuk dengan referensi dan pelatihan, jika kesejahteraan wartawan dipenuhi.
Hanya sedikit perusahaan pers yang bisa mengembangkan kompetensi wartawannya secara mandiri, dan memiliki lembaga uji kompetensi sendiri. Margiono tak segan mengeluarkan dari koceknya sendiri untuk membantu wartawan, termasuk menggerakkan organisasi PWI. Ia meringankan beban wartawan, anggota PWI yang sebagian besar belum mandiri, dengan membebaskan uang iuran. Jika ada yang ingin mengikuti uji kompetensi di PWI, mas MG bersama pengurus lainnya mengusahakan dukungan dari pihak lain. Dukungan itu tak boleh mengintervensi kemandirian wartawan.
Setelah tidak lagi memimpin PWI dan Dewan Pers, mas MG yang juga pemimpin kelompok usaha media Rakyat Merdeka, menghimpun sejumlah pimpinan media untuk kembali memperhatikan kesejahteraan wartawan dengan caranya. Ia memprakarsai lomba karya jurnalistik “Piala Presiden” tahun 2019, yang terdiri dari 15 kategori, dengan memberikan hadiah terbesar dalam sejarah kompetisi karya jurnaslistik di negeri ini, yakni Rp 100 juta bagi juara pertama setiap kategori. Dan, setiap kategori ditetapkan tiga pemenang, selain sejumlah nominator.
Lomba itu, menurut mas MG saat itu, pasti tidak bisa digelar setiap tahun. Mungkin dua tahun sekali, sekaligus untuk melihat perkembangan kompetensi wartawan di Indonesia, dari karyanya. Hadiah yang besar itu diharapkan bisa membantu wartawan, termasuk penulis di media massa, menambah kompetensinya, juga melalui pelatihan mandiri dan bacaan. Namun, pandemi membuatnya tak bisa leluasa lagi mewujudkan angan bagi koleganya, wartawan di Indonesia.
Pandemi Covid-19 juga yang membuat mas MG tak bisa menemui koleganya secara bebas. Pandemi inipun menghantar sejumlah rekannya kembali kepada Sang Khalik. Pada saat pandemi pula, mas MG harus pergi untuk selamanya, setelah dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Modular, Jakarta selama beberapa hari, karena sakitnya pada Selasa (1/2/2022) pukul 09.45 WIB. Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jelupang Griya Asri, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, di dekat lokasi tempat tinggalnya.
Sejumlah pimpinan media maupun organisasi kewartawanan/perusahaan pers menilai, kepergian Margiono merupakan kehilangan besar bagi dunia pers Indonesia, sebab dia selama ini ikut serta mendorong kemandirian media, dan kesejahteraan wartawan, terutama di era disrupsi. Tiada lagi wartawan dan pemimpin media yang “berani” meledek Presiden, sambil menyelipkan pentingnya perhatian besar pemerintah pada kehidupan pers dan wartawan di negeri ini. Selamat jalan mas MG.