Tradisi warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek di Bali sangat lekat dengan budaya yang hidup dalam masyarakat Bali. Nuansa budaya Bali tampak jelas dalam aktivitas Imlek.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·6 menit baca
Dalam kehidupan masyarakat Bali, tradisi warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek sangat lekat dengan budaya yang hidup di Bali. Di sejumlah wihara yang ada di Bali, nuansa budaya Bali tampak jelas pada aktivitas umat Khonghucu dan Tao serta Buddha.
Di kompleks Pura Ulun Danu Batur di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, misalnya, terdapat Kelenteng Cong Po Kong, yang juga dikenal sebagai Kongco Batur, sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Gede Ngurah Subandar. Hari besar pemujaan Kongco Batur itu juga bersamaan dengan upacara pujawali Pura Ulun Danu Batur, salah satu pura utama di Bali, yang dirayakan setiap Purnama Kadasa.
Pamangku Kongco Batur Jero Mangku Ekayasa Suryawan (21) menerangkan, tidak sedikit umat Hindu yang datang dan bersembahyang di Pura Ulun Danu Batur juga melaksanakan persembahyangan di Gedong Kongco Batur tersebut. Ditemui Sabtu (22/1/2022),
Jero Mangku Ekayasa menyebutkan, persembahyangan tahun baru Imlek di Kelenteng Cong Po Kong itu tidak hanya dihadiri umat Khonghucu atau warga keturunan Tionghoa, tetapi juga diikuti umat Hindu.
Hal senada Jero Mangku Ekayasa di Pura Ulun Danu Batur juga diungkapkan Romo Handy Prasetya (58), rohaniawan di Vihara Dharmayana Kuta, atau dikenal pula sebagai Kongco Leeng Gwan Bio Kuta, di Kuta, Kabupaten Badung.
Di sela-sela persiapan upacara merayakan tahun baru Imlek 2573 Kongzili di Vihara Dharmayana Kuta, Senin (31/1/2022), Romo Handy mengatakan, umat yang datang dan bersembahyang di Kongco Kuta tidak saja dari warga Tionghoa di Bali, tetapi juga dari warga Bali.
”Ada istilah Galungan China, yakni tahun baru Imlek,” kata Romo Handy. Umat yang datang dan bersembahyang di Kongco Kuta, atau Vihara Dharmayana Kuta, juga membawa sesajian khas Bali, di antaranya, dalam bentuk canang. Jikalau tahun baru Imlek dirayakan sebagai Galungan China, menurut Romo Handy, perayaan Cap Go Meh dirayakan sebagai Kuningan China di Bali.
Karena masih dalam suasana pandemi Covid-19 dan sebagai upaya bersama mengurangi risiko penyebaran penyakit Covid-19, menurut Romo Handy, pihak pengurus Vihara Dharmayana Kuta tidak melaksanakan pawai atau kirab budaya dengan berkeliling sekitar wihara yang melibatkan banyak orang.
Umat yang akan bersembahyang juga diwajibkan menggunakan masker penutup mulut dan hidung serta memindai kode batang aplikasi Peduli Lindungi sebelum masuk area wihara.
Kerajaan Bali kuno
Sebuah artikel di laman Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng mengulas tentang sejarah Barong Landung, yaitu sepasang patung barong yang salah satu patung tersebut menampilkan sosok perempuan dengan paras putri bermata sipit. Kedua patung Barong Landung itu disebut sebagai visualisasi Raja Sri Jayapangus, yakni pemimpin kerajaan Bali kuno, dan permaisurinya, Puteri Kang Cing We.
Selain berupa tari Barong Landung, jejak budaya dari kisah Raja Sri Jayapangus dan Puteri Kang Cing We juga terdapat di Pura Penataran Agung Dalem Balingkang di Kintamani, Bangli, sebuah situs yang diperkirakan dari abad ke-10 Masehi atau ke-11 Masehi.
Menurut cerita yang diteruskan turun temurun, Raja Badung mengirimkan satu regu pasukan dari warga Tionghoa untuk berjaga di perbatasan antara Badung dan Bangli. (Ayusta Wijaya)
Dalam makalah berjudul “Menimba Pengalaman Berakulturasi dari Yap Seng Teng” yang ditulis sejarawan dari Universitas Udayana, Bali, I Nyoman Wijaya (2000) untuk seminar “Akulturasi Seni dan Budaya Tionghoa dan Bali dari Sudut Pandang dan Sosiologi”, disebutkan, masuknya seni dan budaya Tionghoa ke dalam proses berkesenian dan berbudaya masyarakat Bali menjadi dominan dalam proses akulturasi kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan Bali.
Wijaya menyebutkan sejumlah contoh proses akulturasi kebudayaan di Bali, di antaranya, tari Baris China, patra atau ukiran China, tari Barong Landung, dan pis bolong atau uang kepeng.
Kehidupan warga di Dusun Lampu, Desa Catur, Kintamani, Kabupaten Bangli, mencerminkan akulturasi Tionghoa dan Bali. I Nyoman Ayusta Wijaya (48) menuturkan, sebanyak 60 keluarga di Dusun Lampu, Desa Catur, merupakan warga keturunan Tionghoa.
Menurut Ayusta, warga tersebut merupakan generasi penerus dari 12 penjaga perbatasan yang ditugaskan Raja Badung untuk menjaga batas wilayah antara Kerajaan Badung dan Kerajaan Bangli di wilayah Buleleng tersebut.
“Berdasarkan cerita yang diteruskan turun-temurun, Raja Badung mengirimkan satu regu pasukan dari warga Tionghoa untuk berjaga di perbatasan antara Badung dan Bangli,” kata Ayusta ketika ditemui di kediamannya di Dusun Lampu, Sabtu (22/1/2022). Selusin pasukan China itu juga disebutkan membawa patung dewa dan leluhur mereka dalam perjalanan ke wilayah perbatasan tersebut.
Mendekati daerah perbatasan, menurut Ayusta, rombongan penjaga perbatasan itu beristirahat di dekat sebuah pura, atau tempat persembahyangan Hindu. Konon, ujar Ayusta, penjaga perbatasan itu mendengar bisikan bahwa dewa dan leluhur mereka berkenan berdiam di pura tersebut dan menyuruh para penjaga perbatasan itu untuk meneruskan perjalanannya sambil membawa obor. Para penjaga itu diharuskan berhenti dan berdiam di tempat matinya obor yang mereka bawa.
“Akhirnya, patung suci dewa dan kongco itu ditempatkan di dalam pura, sementara orang-orangnya kembali melanjutkan perjalanan,” kata Ayusta.
Para penjaga itu membawa obor sebagai penerang jalan dan sekaligus menjalankan petunjuk dari suara halus yang mereka dengar. Di sebuah tempat yang tidak terlampau jauh dari Pura Penyagjagan Desa Catur, para penjaga perbatasan berhenti lantaran obor yang mereka bawa sudah padam. Ihwal obor itu yang menjadi asal mula nama Dusun Lampu di Desa Catur, Kintamani.
Ada istilah Galungan China, yakni tahun baru Imlek. (Handy Prasetya)
“Di dusun inilah leluhur kami akhirnya membuka permukiman,” kata Ayusta yang merupakan generasi keempat dari para penjaga perbatasan itu. Menurut Ayusta, dari 12 orang penjaga perbatasan di Dusun Lampu itu, mereka berasal dari sejumlah marga berbeda, di antaranya, Tjan, Ang, Tjoa, dan Li serta Jiao.
Ayusta mengungkapkan, warga keturunan Tionghoa di Dusun Lampu, Kintamani, masih memiliki dan menjaga hubungan kesejarahan dengan Kerajaan Badung dan sebagian besar keluarga warga di Dusun Lampu juga masih berdiam di Kota Denpasar dan sekitarnya.
“Ketika Imlek maupun Chengbeng, biasanya kami saling berkunjung dan bersembahyang,” kata Ayusta yang bermarga Tjan. Mereka juga bersembahyang di Pura Penyagjagan Catur dan Kongco Batur di Pura Ulun Danu Batur.
Harmoni
Ketua Pengurus Daerah Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Bali Sudiarta Indrajaya mengungkapkan, Imlek adalah tradisi masyarakat Tionghoa untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa dan perayaan musim semi menyambut tahun baru.
Ditemui saat pelaksanaan program vaksinasi penguat di kompleks Vihara Satya Dharma Benoa, Kota Denpasar, Minggu (23/1/2022), Sudiarta menyatakan, Imlek juga dimaknai sebagai perayaan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Pemilik toko pernak-pernik dan alat sembahyang “Mutiara Bali” di Denpasar Barat, Kota Denpasar, Andi Wijaya (56) menyebutkan, warga Tionghoa mengucapkan salam “Gong Xi Fa Cai” ketika merayakan tahun baru Imlek dengan harapan, semoga semua mendapatkan kemakmuran dan kekayaan di tahun baru.
Andi menyatakan, perayaan Imlek dalam situasi pandemi Covid-19 tetap berjalan dengan penerapan protokol kesehatan yang benar.
“Meski masih dalam suasana pandemi Covid-19 dan ekonomi yang masih lesu, suasana Imlek ini adalah situasi yang baik untuk memohon keselamatan dari dewa-dewa dan leluhur, memohon agar keluarga diberikan kesehatan, dan rezeki di tengah kondisi ekonomi yang sulit,” ujar Andi. di tokonya di Denpasar. Gong Xi Fa Cai.