Di Indonesia ada 7.201 kasus baru kusta pada 2021. Penanganan kusta menitikberatkan pada tes, pelacakan, dan pengobatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak enam provinsi dan 101 kabupaten/kota di Indonesia belum mencapai status eliminasi kusta per Januari 2021. Percepatan penanganan dan pencegahan kusta penting karena semua provinsi ditargetkan bebas kusta pada 2024.
Provinsi yang belum mencapai status eliminasi kusta adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat. Prevalensi kusta di enam wilayah itu 1 per 10.000 atau berarti ada satu orang penderita kusta di antara 10.000 orang.
Adapun kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi kusta tidak terbatas hanya di enam provinsi itu. Beberapa kabupaten/kota tersebut ada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (10/12/2021).
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada Senin (31/1/2022) mengatakan, deteksi penyakit sejak dini penting untuk eliminasi kusta. Edukasi dan sosialisasi mengenai gejala kusta pun mesti diberikan kepada masyarakat. Munculnya bercak putih yang baal atau mati rasa apabila disentuh adalah salah satu gejala kusta.
”Dengan penemuan kasus lebih dini, pasien bisa mendapat pengobatan yang lebih baik dan agresif. Kecacatan pun bisa dihindari,” kata Dante pada peringatan Hari Kusta Sedunia secara daring.
Kusta merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini pertama ditemukan pada 1873 di Norwegia. Bakteri ini bisa menyebar melalui droplet dengan masa inkubasi 3 bulan hingga 10 tahun. Kusta dapat menyebabkan gangguan sensorik, pernapasan, tulang, dan otot.
Hingga kini, kusta masih menjadi masalah kompleks, tidak hanya dari segi kesehatan, tetapi juga sosial. Pada 2021, ada 7.201 kasus baru kusta di Indonesia dengan proporsi kecacatan mencapai 84,6 persen. Timbulnya kecacatan berarti kusta terlambat ditangani.
Proporsi kasus baru kusta pada anak sebesar 10,9 persen di 27 provinsi. Sementara itu, kasus baru kusta dengan kecacatan tingkat dua sebesar 5,15 persen di 21 provinsi. Menurut catatan Kompas, kecacatan tingkat dua akibat kusta ialah mata tidak dapat menutup karena gangguan saraf, jari tangan atau kaki bengkok, serta luka pada tangan dan telapak kaki akibat mati rasa.
”Seperti Covid-19, eliminasi kusta mesti dilakukan dengan tes dan pelacakan, penemuan kasus baru, serta pengobatan yang optimal. Ini tanggung jawab kita semua, baik di tingkat pusat maupun daerah,” ujar Dante.
Tantangan eliminasi kusta antara lain masalah geografis, fasilitas layanan kesehatan tidak merata, dan jumlah dokter yang juga tidak merata. Kendala lain adalah adanya stigma negatif soal kusta dari masyarakat. Stigma ini menyebabkan sejumlah pasien enggan berobat dan menutupi dirinya terjangkit kusta. Akibatnya, penyakitnya semakin parah dan penularan penyakit tetap terjadi.
Dante menambahkan, eliminasi kusta juga terkendala distribusi multidrug treatment (MDT) masih bergantung kepada pihak luar. Kendala lain seperti belum kuatnya komitmen semua pihak untuk mengeliminasi kusta.
Menurut anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Sri Linuwih SW Menaldi, eliminasi stigma mesti dilakukan semua pihak, baik masyarakat, institusi pendidikan, maupun pemerintah. Ini karena kusta bisa diobati dan pasien berhak hidup produktif.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (PB Perdosri) Tirza Z Tamin mengatakan, penanganan kusta, antara lain, mencakup pengobatan, edukasi penyebab penyakit, dan pemberian alat pelindung diri untuk beraktivitas. Pasien juga dapat diberi terapi tertentu agar tubuhnya dapat berfungsi dengan baik, antara lain laser untuk penyembuhan luka dan latihan penguatan pergelangan kaki.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menambahkan, pelacakan kusta bisa melalui kader kesehatan di wilayah masing-masing. Pencegahan kusta dilakukan dengan memberi obat profilaksis untuk orang yang melakukan kontak dengan pasien.