Peneliti di Amerika Serikat berhasil mengembangkan deteksi Covid-19 bisa menggunakan telepon genggam. Ke depan diharapkan pemeriksaan penyakit menular ini bisa dilakukan sendiri di rumah dengan biaya lebih murah.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Deteksi Covid-19 selama ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengendaliannya, terutama karena butuh waktu dan biayanya tidak murah. Laporan riset terbaru menunjukkan, deteksi Covid-19 bisa menggunakan telepon genggam sehingga ke depan diharapkan bisa dilakukan sendiri di rumah dengan biaya lebih murah.
Upaya untuk mendeteksi Covid-19 melalui aplikasi telepon genggam ini dikembangkan oleh tim ilmuwan dari University of California (UC) Santa Barbara. Kemajuan dari upaya mereka dilaporkan di jurnal JAMA Network Open pada 28 Januari 2022.
Dalam laporan ini disebutkan, sistem berhasil melakukan diagnosis Covid-19 dan virus flu secara cepat dan akurat. Aplikasi ini menggunakan kamera telepon seluler pintar (smartphone) untuk mengukur reaksi kimia dan menentukan diagnosis dalam 25 menit.
Proyek ini dipimpin oleh profesor Michael Mahan, David Low, dan Charles Samuel dari UC Santa Barbara, bersama dengan dokter Rumah Sakit Santa Barbara Cottage, Jeffrey Fried dan Lynn Fitzgibbons, serta sejumlah kolaborator lain. Untuk saat ini, aplikasi baru dikembangkan untuk sistem operasi Android dan dapat diunduh dari Google Play store. Namun, ke depan para peneliti berharap bisa mengembangkannya untuk iOS.
Idenya bukan untuk mematenkannya.
Sistem pengujian itu sampai saat ini juga masih ditujukan untuk penyedia layanan kesehatan, sebagai alternatif murah bagi masyarakat dengan akses terbatas ke tes PCR berbasis laboratorium. Tetapi, mereka berharap pada akhirnya dapat digunakan secara luas sebagai alat diagnostik di rumah-rumah.
”Ketika varian Covid-19 baru muncul secara global, pengujian dan deteksi merupakan hal sangat penting untuk upaya pengendalian pandemi,” kata penulis utama Michael Mahan. ”Hampir separuh populasi dunia memiliki telepon genggam, dan kami percaya bahwa ini memiliki potensi yang menarik untuk memberikan akses yang adil dan setara ke pengobatan presisi,” ucapnya.
Kolaborasi ini diluncurkan untuk mengembangkan diagnostik cepat dan murah yang dapat digunakan oleh penyedia layanan kesehatan di mana pun di dunia untuk mendiagnosis Covid-19. Selain telepon genggam, dibutuhkan perangkat diagnostik tambahan seperti hot plate dan lampu LED, yang dapat diproduksi dengan harga kurang dari 100 dollar AS, sekitar Rp 1,43 juta. Secara total, tes skrining dapat dijalankan dengan harga masing-masing kurang dari 7 dollar AS versus 10 dollar AS hingga 20 dollar AS untuk tes antigen dan 100 hingga 150 dollar AS tes PCR.
Prosesnya, yang disebut smaRT-LAMP, relatif sederhana dan mudah. Sejumlah kecil air liur pasien dikumpulkan dan dianalisis oleh aplikasi telepon genggam menggunakan kamera ponsel dan kit diagnostik. Tidak diperlukan bahan khusus tambahan.
Tes PCR adalah standar emas karena sensitivitas dan akurasinya, tetapi lambat, mahal, dan tidak portabel. Maka, tes LAMP dianggap cocok dengan sensitivitas dan akurasi PCR, dengan waktu dan biaya yang sangat kecil. Selanjutnya, LAMP terjadi pada suhu konstan, yang cocok untuk pengujian di tempat perawatan dan di rumah.
”Temuan kuncinya adalah memecahkan masalah ’primer-dimer’ LAMP—positif palsu karena sensitivitas tinggi—yang telah diperjuangkan para ilmuwan selama lebih dari 20 tahun,” ujar Heithoff. ”Butuh lebih dari 500 upaya untuk menyelesaikannya untuk Covid-19, setelah itu virus flu juga bisa terdeteksi pada percobaan pertama.”
Untuk mengevaluasi sistem pengujian mereka, para peneliti UC Santa Barbara mengumpulkan sampel dari 20 pasien Covid-19 bergejala di Rumah Sakit Santa Barbara Cottage, serta dari 30 individu tanpa gejala, kemudian melakukan tes buta. ”Hasil dari semua 50 sampel cocok dengan hasil tes PCR dengan akurasi 100 persen,” kata Mahan.
Teknologi dan metode peneliti ini, menurut Mahan, bersifat open source, yang berarti siapa saja dapat menyusun dan menggunakan sistem. ”Idenya bukan untuk mematenkannya,” kata Mahan. ”Ini gratis dan open source karena kami ingin menggunakannya. Orang-orang sedang berjuang, dan kami hanya ingin itu menjadi sesuatu yang baik bagi dunia.”
Mahan meyakini, suatu hari ketika alat uji rakitan ini akan tersedia secara komersial, yang akan menyederhanakan pengujian lebih jauh. Namun, sejauh ini para peneliti belum meminta persetujuan dari Food and Drug Administration (Badan Pengawas Obat dan Pangan Amerika Serikat).
Selain Covid-19, kata Mahan, tes tersebut dapat mendeteksi kasus flu dan bahkan dapat diadaptasi di masa depan untuk menandai keberadaan patogen lain, termasuk salmonella atau Escherichia coli. ”Kami berharap teknologi seperti ini menawarkan cara-cara baru untuk membawa diagnostik canggih ke populasi yang kurang terlayani dan rentan,” kata David Low, profesor sains dan teknik biomolekuler di UC Santa Barbara, dan pemimpin proyek.