Visi Kuat Habibie Membangun Sumber Daya Manusia dan Industri Teknologi
Habibie menghendaki setiap sumber daya manusia mendapat optimalisasi untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapi bangsa dan negara. Hal ini bertujuan agar ada pencapaian dari hasil riset dan inovasi yang dijalankan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mendiang Presiden Republik Indonesia ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie tidak hanya tokoh yang fokus terhadap riset dan inovasi, tetapi juga peningkatan sumber daya manusia di Indonesia. Di samping itu, Habibie memiliki gagasan, ide, dan visi yang sangat kuat untuk membangun Indonesia sebagai negara industri teknologi.
Hal tersebut terangkum dalam buku SAYA, Bacharuddin Jusuf Habibie karya anggota Dewan Pembina The Habibie Center, Andi Makmur Makka, yang diluncurkan di Jakarta, Sabtu (29/1/2022). Sampai saat ini, Makka telah menulis 56 judul buku tentang BJ Habibie.
Makka mengemukakan, Habibie memiliki pemikiran yang universal, yaitu terkait dengan pendekatan proses nilai tambah. Habibie menghendaki setiap sumber daya manusia bisa optimal memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Hal ini bertujuan agar ada pencapaian dari hasil riset dan inovasi yang dijalankan.
Habibie dikenal sebagai tokoh yang selalu mendorong riset dan pengembangan industri kedirgantaraan di Indonesia. Menurut Makka, upaya Habibie ini sebenarnya tidak hanya berfokus pada produk pesawat terbang. Habibie juga memiliki keinginan agar anak-anak Indonesia menguasai teknologi kedirgantaraan atau inovasi lainnya.
”Pak Habibie pada dasarnya ingin semua orang di Indonesia pintar dan menyelesaikan masalah bangsa. Bahkan, Pak Habibie pernah bilang untuk apa artinya inovasi kalau tidak ada orang yang pintar. Inilah yang harus menjadi pemikiran kita,” ujarnya.
KepalaBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2014-2019Unggul Priyanto mengutarakan, Habibie memiliki konsep yang menjelaskan bahwa negara berkembang yang ingin membangun industri teknologi tidak perlu memulainya dari awal. Akan tetapi, membangun industri bisa langsung memulainya dari tengah atau ujung. Secara perlahan kemudian negara bisa melakukan riset dasar terapan setelah menguasai teknologi tersebut.
Pak Habibie pada dasarnya ingin semua orang di Indonesia pintar dan menyelesaikan masalah bangsa. Bahkan, Pak Habibie pernah bilang untuk apa artinya inovasi kalau tidak ada orang yang pintar. Inilah yang harus menjadi pemikiran kita.
Menurut Unggul, pada praktiknya konsep membangun industri berbasis riset dari tengah ini tidak hanya dilakukan Indonesia, tetapi juga China. Salah satu contohnya, China membangun industri kereta api cepat dengan membeli lisensi dari Jepang dan Jerman, kemudian dirakit sendiri serta ditingkatkan kualitasnya. Upaya ini akhirnya membuat China menjadi salah satu pemain kereta api cepat di dunia selain Jepang dan Jerman.
”Banyak yang salah paham bahwa inovasi itu harus ada penemuan baru. Padahal, inti dari inovasi bukan penemuan baru, melainkan produk baru. Jadi, inovasi tidak harus dimulai dengan penemuan sendiri,” ucapnya yang turut hadir secara daring.
Langkah membangun Indonesia untuk membangun negara industri teknologi ini telah dimulai saat Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi pada 1978. Saat itu, Habibie tidak hanya ditugaskan untuk membangun pabrik pesawat terbang oleh Presiden Soeharto, tetapi juga mengembangkan industri di Indonesia.
Habibie pun mendirikan BPPT untuk mendukung dan merealisasikan tugas tersebut sekaligus sebagai konsultan negara mendampingi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, seiring berjalannya waktu dan berbagai dinamika sosial politik di Indonesia, BPPT bergeser tugas dan fungsinya dari tujuan awal pembentukan.
Meski demikian, Unggul memandang Habibie telah sukses meletakkan dasar pembangunan industri teknologi di Indonesia. Akan tetapi, kesuksesan tersebut dinilai belum selesai karena perubahan kondisi politik di Indonesia sehingga dukungan terhadap langkah Habibie untuk membangun industri ini pun mulai menurun.
”Jika waktu itu Pak Habibie banyak fokus mengembangkan industri energi, seperti pembangkit listrik atau teknologi informasi, saya pikir sampai sekarang pengembangan ini sudah berhasil. Sebab, dua teknologi tersebut sangat dibutuhkan saat ini,” katanya.
Kurang diwarisi
Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ninok Leksono mengatakan, buku SAYA, Bacharuddin Jusuf Habibie dapat menjadi panduan untuk melihat dan mereaktualisasi gagasan, ide, dan visi Habibie yang diselaraskan dengan era saat ini. Berbagai sisi dan cara pandang Habibie juga turut disingkap, salah satunya terkait dengan kecintaan Presiden RI ke-3 ini terhadap ilmu pasti.
Namun, Ninok menyayangkan semangat dan kecintaan Habibie terhadap sains kurang diwarisi oleh generasi saat ini. Ketertarikan generasi muda saat ini terhadap teknologi keras, seperti mesin atau elektronika, menurun. Sebaliknya, anak muda lebih tertarik terhadap ilmu teknologi lunak, seperti sistem informasi atau multimedia.
”Dalam konteks inilah ide-ide Pak Habibie pada masa lalu terdengar antik dan usang. Tugas kita sekarang adalah bagaimana menyegarkan ide-ide Pak Habibie ini,” ucapnya.