Gang Gloria, Dua Setengah Abad Kantong Kuliner di Jakarta
Lebih dari dua setengah abad, Gang Gloria di kawasan Glodok-Pancoran di Jakarta Barat menjadi potret dari kerja keras, kesetiaan kepada profesi, dan etos kerja.
Kampung Tionghoa atau pecinan, selain identik dengan perdagangan, juga menjadi pusat kuliner. Kampung Glodok atau Pancoran, sebagai pecinannya Jakarta, juga memiliki pusat kuliner di sepenggal gang kecil yang dikenal sebagai Gang Gloria. Lokasi gang ini terletak memanjang di bekas pertokoan Gloria yang kini menjadi Pancoran China Point, di wilayah Jakarta Barat.
Wilayah pecinan Glodok-Pancoran sejatinya adalah China town ketiga di Jakarta. Dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta karya Adolf Heuken SJ, disebutkan pecinan pertama berdiri di zaman kekuasaan Kesultanan Banten hingga awal 1600-an di lokasi yang sekarang menjadi bagian dari Jalan Tongkol di Jakarta Utara.
Ketika kompeni Belanda mendirikan benteng dan Kota Batavia pada 1619, lokasi pecinan kedua berpindah di dalam tembok kota–intramuros–di sekitar lokasi yang kini menjadi Jalan Roa Malaka di Jakarta Barat.
Setelah perlawanan koalisi pasukan Tionghoa di bawah Kapitan Sepanjang dan Pasukan Jawa (Mataram) di bawah Sunan Kuning atau RM Garendi dipatahkan oleh VOC atau kompeni Belanda pada 1743—perang terbesar yang pernah dialami VOC itu diawali dengan pembantaian Tionghoa di Batavia atas perintah Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier pada Oktober 1740. Ketika itu, rakyat, baik tua, muda, lelaki, perempuan, maupun anak-anak Tionghoa dibunuh VOC. Menyusul krisis ekonomi dan keamanan yang berlarut-larut akibat goyahnya ekonomi di Batavia yang mengandalkan industri gula yang digerakkan pemukim Tionghoa di dalam dan sekitar kota (ommelanden) Batavia—dan setelah situasi kembali damai, penguasa Belanda memindahkan kampung Tionghoa ke luar benteng Batavia. Demi keamanan, pecinan didirikan dalam jangkauan tembak meriam Belanda, yakni di lokasi yang kini dikenal sebagai Glodok-Pancoran.
Saat penulis berkunjung, Jumat (21/1), terpampang tulisan peremajaan lokasi pedagang di Gang Gloria. Para pedagang kaki lima masih membuka lapak, meja darurat, kursi lipat, dan meja untuk memajang dagangan serta gerobak makanan masih terlihat memenuhi gang selebar rerata 2 meter itu.
Panjang Gang Gloria dari tepi Jalan Pancoran hingga ke Pintu Besar mencapai 120 meter. Membentang lurus di tepian Pancoran China Town Point lalu membelok ke kanan di dekat Pintu Besar Selatan sejauh 40 meter. Tepat di belokan di ujung Gang Gloria, terdapat pusat jajanan yang sudah tutup. Sebelumnya, mi kangkung hingga Gado-gado Direksi yang legendaris berjualan di sana.
Selain pedagang makanan kaki lima, terdapat toko pusat jajan (masing-masing menampung empat atau lima pedagang kuliner) di sepanjang Gang Gloria. Pujasera mini tersebut merupakan salah satu ciri khas kedai kuliner di pecinan Asia Tenggara.
Salah satu kedai permanen adalah milik Es Kopi Tak Kie, salah satu tempat jajan legendaris yang juga menyajikan nasi campur. Sejak tahun 1970-an, ketika penulis pertama kali datang ke kawasan tersebut, dekade 1980-an, 1990-an, dan awal-awal masa Reformasi, berbagai perubahan terjadi di kawasan Glodok-Pancoran. Meski demikian, pedagang makanan dan minuman di sana bertahan dan berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Ragam hidangan halal untuk Muslim dan makanan nonhalal khas Tionghoa ada di sepanjang Gang Gloria. Pedagang buah, pedagang pernak-pernik perayaan Imlek, hingga barang kelontong serta penganan dan makanan kaleng dari Tiongkok ada di sana.
Tak ketinggalan, menjelang Tahun Baru yang sering disebut perayaan Imlek (secara harfiah artinya kalender lunar), berbagai penganan, seperti kue keranjang (dodol cina), jeruk lokan, dan amplop merah atau angpao juga dijajakan di sekitar Gang Gloria. Salah satu kudapan terkenal adalah Kue Keranjang Nyonya Lauw buatan Tangerang yang juga dijajakan di sana.
Makanan halal, seperti soto Betawi, nasi kari lam berupa kari sapi atau kari ayam, gado-gado, dan lumpia direksi, hingga kini masih berjualan di sana. Li Tong, salah seorang pedagang lama di Pancoran, menceritakan, sebutan lumpia direksi didapat karena banyak pelanggan lama si penjual adalah kalangan bos dari berbagai perusahaan dagang terkenal di Indonesia yang di masa silam berkantor di kawasan Glodok-Pancoran.
”Banyak langganan mereka itu yang kemudian menjadi konglomerat terkenal di Indonesia di tahun 1990-an sampai tahun 2000-an,” kata Li Tong, yang mengurus toko perkakas dapur Tian Liong milik keluarganya turun-temurun. Berbagai foto hitam putih kawasan Glodok Pancoran awal 1900-1950 menghiasi dinding kantor Toko Tian Liong.
Nyanyi sambil bersantap
Selain menikmati makan minum, beberapa tahun silam masih terdapat panggung kecil dan boks musik karaoke buat pengunjung mengisi waktu di sela bersantap. Mereka bernyanyi aneka lagu-lagu Mandarin yang biasanya berisikan kisah cinta atau keceriaan hidup.
Seusai menyanyi, para pengunjung bertepuk tangan menyambut orang yang menyumbang suara. Makan dan iringan musik itu khas pujasera pecinan di beberapa negara Asia Tenggara, seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Selain di sepanjang Gang Gloria, tempat jajan serupa terdapat di Gedung Pertokoan Candra yang terletak di seberang jalan. Ada belasan pedagang makanan khas Tionghoa berjualan di sana. Menu hidangan ala Hokkian, Hakka, Kanton, dan lain-lain daerah tersedia di sana.
Masakan Kanton adalah salah satu penyebab chinese food dikenal di dunia. Asal muasalnya adalah pelaut dan kapal-kapal dagang dan militer Inggris, mereka umumnya memiliki juru masak Tionghoa dari Kanton atau Hong Kong. Walhasil, budaya kuliner Kanton pun diboyong para juru masak kapal Inggris yang ikut berkeliling dunia dan kemudian bermigrasi di berbagai daerah jajahan Inggris di seantero jagat.
Kuliner sebelum Perang Dunia II antara lain Resto Tay Loo Tien yang terkenal dengan nasi goreng ham dan restoran Tionghoa dengan babi panggang utuh.
Restoran-restoran tersebut biasa mengirimkan hidangan spesial ke Istana Gubernur Jenderal di Noordwijk dan Riswijk (kini Istana Negara dan Istana Merdeka) di Koningsplein, sekarang lapangan Monas, seperti dalam peringatan hari besar ulang tahun Ratu Belanda atau Koningginen Dag. Hari Ulang Tahun Raja atau Ratu adalah hari besar utama dalam tradisi Kerajaan Belanda.
Tradisi kuliner yang berkembang di ”Pecinan Ketiga” di Batavia dan Jakarta itu dicatat dalam budaya sastra populer, seperti dalam beragam kisah yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dalam Kesusesatraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid II dalam cerita ”Dengan Duwa Cent Jadi Kaya” karya Thio Tjin Boen, seorang wartawan asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang diterbitkan pertama kali oleh Drukkerij (percetakan) Leo & Co di Weltevtreden pada 1920. Dalam kisah itu, diceritakan tentang Lie Yo Hok, anak pengusaha yang jatuh miskin karena judi dan madat.
Lie Yo Hok diceritakan bangkit kembali setelah jatuh miskin dengan berbisnis kuliner, yakni masakan swike atau kodok semur dengan saus tauco. Diceritakan tentang suasana pecinan Batavia tahun 1890-an di sekitar Glodok- Pancoran hingga kawasan Senen (Weltevreden).
Bagaimana bahan baku kodok hidup dicari di persawahan di sekitar Bungur, kini dekat Pasar Senen jurusan Kemayoran. Kodok dijual sebagai bahan makanan mentah hingga diolah dalam bentuk swike. Thio Tjin Boen juga mencatat adanya teh jahe sebagai salah satu minuman wedangan zaman itu.
Aji Bromokusumo alias Joseph Chen dalam buku Tionghoa Dalam Kuliner Nusantara menjelaskan ciri-ciri pengaruh budaya Tionghoa dalam khazanah kuliner Nusantara melalui penggunaan aneka kacang, sayur seperti cai sim, po cai, kucai, acar lokio, kecap manis—satu-satunya di dunia kecap manis hanya dibuat di Pulau Jawa—serta perkakas dapur, seperti anglo, yakni tungku tanah liat. Menu akulturasi lain yang sudah menjadi bagian kekayaan kuliner lokal, seperti soto mi, soto tangkar, dan soto Betawi, menjadi salah satu menu andalan di Pecinan Glodok-Pancoran.
Aneka bakmi juga menjadi salah satu signature di Gang Gloria. Bakmi ayam, bakmi babi, bakso, pangsit rebus, pangsit goreng dengan harga per porsi makanan Rp 30.000-Rp 50.000 semangkuk penuh mi. Sebagai pelengkap makan, seporsi pangsit goreng berisi lima potong dijual seharga Rp 20.000.
Saat penulis berkunjung, pagi itu, hidangan mi kangkung dengan irisan daging ayam, kuah kental, ebi, dan kangkung yang diberi irisan jeruk limau terasa gurih nikmat. Pedagang bakmi, bak kwa atau dendeng babi manis, serta beberapa pedagang penganan lainnya dengan ramah menawarkan dagangan mereka di sudut ujung Gang Gloria dekat Jalan Pintu Besar.
Selanjutnya, ada pedagang nasi campur yang disajikan dengan irisan babi panggang manis, asin, ayam rebus, telur ayam, acar, dan kuah kaldu ayam. Pedagang bek tim atau kukusan jeroan babi dengan pikulan dengan setia menanti pelanggan di Gang Gloria. Restoran zaman dulu ada yang pindah ke gedung pertokoan, seperti di Pancoran China Town Point.
Makanan eksotis juga tersedia, seperti pi oh atau bulus rebus serta darah, empedu, dan daging ular kobra. Ular kobra disimpan di kandang berpagar kawat agar peminat dapat memilih ular yang akan dikonsumsi. Hidangan belut dan biawak alias water monitor lizard juga tersedia di sana.
Selain itu ada penjual tokek dan kalajengking serta berbagai hewan yang dipercaya dapat dijadikan campuran obat serta arak anak rusa. Pedagang hidangan eksotis tersebut kini semakin berkurang jumlahnya seiring menyusutnya kawasan hutan di Jawa sebagai sumber tangkapan hewan liar yang dijadikan hidangan eksotis di kawasan Glodok-Pancoran.
Aktor dan artis Hong Kong
Artis Hong Kong pada dekade 1970-an, kala Jacky Chan masih muda, biasa bersantap di kawasan itu. Li Tong mengisahkan, aktor generasi Fu Sheng, senior Jacky Chan, yang satu generasi dengan David Chiang; dan penyanyi Teresa Teng pernah singgah di sana. Aktor laga Hong Kong zaman itu yang berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, Lo Lieh, juga akrab di hati warga Glodok-Pancoran.
Teresa Teng, sang diva pop Mandarin pun tahun 1970-an pernah mentas dan bersantap di Pecinan Jakarta. Lagu Teresa Teng, ”Tian Mi Mi” yang diadopsi dari lagu gambang Semarang tahun 1950-an berjudul ”Dayung Sampan” hingga kini masih populer di Glodok-Pancoran.
Pun sebelum kerusuhan Mei tahun 1998, orang Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Singapura juga biasa berkunjung ke pecinan Glodok-Pancoran. Setelah Reformasi Mei tahun 1998, kawasan Glodok-Pancoran sempat menjadi daerah tak bertuan pada kurun 2000-2010. Ratusan lapak pedagang kaki lima tumbuh liar memenuhi jalan.
Para pedagang asli di Gang Gloria tetap berjualan menghadapi zaman yang terus berubah. Saat ini, proyek MRT mengakibatkan jalan raya ditutup selepas Jembatan Pertokoan Glodok-Pancoran membuat pengunjung ke surga kuliner Gang Gloria turun drastis.
Arya, penjaga kedai mi kangkung, mengatakan, dirinya menyiasati keadaan dengan melayani pesanan daring. Kiat serupa dilakukan Akweng, pemilik Kedai Kopi Tak Kie.
”Jualan online banyak membantu. Kalau jualan langsung ke sini, omzet turun karena ada berbagai proyek pembangunan sehingga orang sulit datang ke sini,” kata Akweng.
Sebagian dari pemilik kuliner legendaris di Gang Gloria membuka cabang di sejumlah tempat. Salah satunya adalah di PIK Pantjoran 2 di Pantai Indah Kapuk, di Jakarta Utara.
Ekosistem sosial budaya di Gang Gloria yang menjadi potret Batavia-Jakarta, Indonesia, dan peleburan budaya lewat seni kuliner merupakan gambaran daya tahan para pelaku usaha menghadapi perubahan zaman. Lebih dari dua setengah abad kawasan Glodok-Pancoran berdiri, Gang Gloria adalah potret dari kerja keras, kesetiaan kepada profesi, dan etos kerja yang merupakan modal dasar kemajuan suatu bangsa.