Benih Vaksin Merah Putih Telah Memenuhi Standar Industri
Vaksin Merah Putih Eijkman berhasil mendapatkan ”seed” atau benih vaksin yang sudah memenuhi standar industri. Proses uji praklinik dan uji klinik ditargetkan dapat dilakukan beberapa bulan ke depan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset vaksin Merah Putih Eijkman dari protein rekombinan yang diekspresikan di sel mamalia berhasil mendapatkan benih atau seed vaksin yang sudah memenuhi standar industri. Dalam beberapa bulan ke depan, diharapkan seed vaksin Merah Putih sudah mulai diproses untuk uji praklinik dan uji klinik.
Peneliti senior Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tedjo Sasmono mengemukakan, di antara sejumlah perangkat (platform) pembentuk virus, peneliti Eijkman mengembangkan vaksin Merah Putih berbasis protein rekombinan. Protein tersebut diproduksi di sel ragi atau sel mamalia.
”Seed (benih) vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman sudah di PT Bio Farma dan memenuhi standar industri telah dilakukan karakterisasi awal dengan hasil yang cukup bagus. Dalam beberapa bulan, diharapkan bisa mulai diproses uji praklinik dan uji klinik,” ujarnya dalam acara riset pengembangan vaksin Covid-19 secara daring, Rabu (26/1/2022).
Tantangan utama dalam pengembangan vaksin ini masih berada pada lingkup transisi dari riset di laboratorium ke produksi skala besar.
Menurut Tedjo, peneliti harus bermitra dengan industri farmasi karena institusi penelitian tidak siap melakukan produksi vaksin ataupun obat dalam skala besar. Oleh karena itu, peneliti harus mengetahui syarat seed vaksin untuk industri.
Selain antigen yang terekspresi, seed vaksin untuk industri juga harus terkarakterisasi dan menghasilkan antigen dengan hasil (yield) tinggi 500 miligram per liter. Riwayat seed dan hasil karakterisasi tersebut juga harus terdokumentasi dengan baik. Adapun antigen harus terbukti berfungsi untuk dikenali antibodi dan menghasilkan respons imun pada hewan coba.
”Industri mensyaratkan yield dari vaksin harus tinggi agar ada nilai keekonomian. Apabila yield rendah, industri akan malas karena investasi untuk pembuatan sangat tinggi sehingga harganya akan sangat mahal. Jadi, harus ada ambang batas berapa miligram protein yang harus dihasilkan dari satu seed vaksin,” tuturnya.
Tedjo menyatakan bahwa seluruh persyaratan atau standar industri tersebut telah dipenuhi oleh seed vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman. Seed vaksin Merah Putih berhasil mengekspresikan protein receptor-binding domain (RBD) di ragi pada skala labu, yakni 30 mililiter (ml) dan 120 ml serta skala bioreaktor di fasilitas PT Bio Farma.
Selain itu, seed vaksin Merah Putih juga menghasilkan protein RBD-Delta dengan yield tinggi dan mudah dipurifikasi. Konsentrasi yield ini bervariasi mulai dari 400 miligram hingga 643 miligram per liter.
Tedjo menjelaskan, tahapan umum uji klinis pengembangan vaksin Merah Putih dimulai dengan tahapan penelitian. Tahapan ini mencakup identifikasi antigen, sistem ekspresi, uji imunogenisitas, sifat biologis, dan konservasi antigen. Setelah tahapan tersebut lolos pengujian, pengembangan selanjutnya masuk tahap praklinik di hewan coba.
Dalam tahap praklinik, pengembangan vaksin dapat mulai dilakukan antara peneliti dan industri farmasi. Namun, kerja sama tersebut juga masih tergantung dari aspek regulasi di setiap negara. Beberapa kegiatan dalam uji praklinik di antaranya melakukan toksikologi, imunogenisitas, hingga pengujian pada hewan.
Setelah tahap tersebut dilewati, industri farmasi memegang peran penting dalam tahapan selanjutnya, yakni fase I, II, III, perizinan, dan pasca-perizinan. Tahapan uji klinis fase I hingga III dilakukan pada manusia untuk mengetahui keamanan, imunogenisitas, efikasi, dan dosis. Industri farmasi berperan penting karena mereka yang akan melakukan hilirisasi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala PRBM Eijkman BRIN Wien Kusharyoto menambahkan, vaksin yang dikembangkan Eijkman berasal dari gen sintetik. Jadi, peneliti telah mengetahui informasi genetik, yakni sekuen asam amino dari fragmen RBD atau spike protein (protein paku).
”Jadi, seed vaksin tidak harus didapatkan dari luar, tetapi juga bisa dari isolat lapang seperti yang dilakukan Universitas Airlangga. Akan tetapi, kami menggunakan strategi lain karena dikhawatirkan jika menggunakan isolat lapang nantinya protein tidak bisa diekstrasikan dengan cukup baik oleh sel inang yang digunakan,” ucapnya.
Tantangan pengembangan
Periset Laboratorium Terapeutik dan Vaksin Pusat Riset Bioteknologi BRIN Andri Wardiana mengatakan, pengembangan vaksin Merah Putih tidak terlepas dari sejumlah tantangan, mengingat Indonesia belum memiliki kisah sukses dalam membuat vaksin atau obat biologis lainnya. Tantangan utama dalam pengembangan vaksin ini masih berada pada lingkup transisi dari riset di laboratorium ke produksi skala besar.
Transisi ini menjadi sebuah tantangan karena peneliti ataupun industri harus memastikan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sama ketika di skala laboratorium dengan skala industri. Tantangan lainnya yaitu adanya proses produksi yang kompleks, seperti optimasi formulasi dan juga serangkaian tahap uji praklinik, klinik, ataupun biofisika kimia.
”Tantangan yang juga sangat penting yaitu kerja sama atau kolaborasi antara peneliti, bisnis, dan pemerintah. Ketika kerja sama ini berjalan dengan baik akan berpengaruh terhadap pendanaan, regulasi, dan kontrol serta pemenuhan fasilitas lain,” kata Andri.