Pangan Berkelanjutan Perlu Dikenalkan sejak Usia Dini
Pendidikan menjadi salah satu jalan mengenalkan dan menerapkan sistem pangan berkelanjutan di masa depan. Ini dimulai dengan mengajarkan anak untuk makan beragam jenis makanan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Para siswa SD di Langgur, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, melakukan kegiatan makan bersama, Mei 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan perilaku konsumsi dan produksi diperlukan untuk menerapkan sistem pangan berkelanjutan. Kesadaran akan pangan berkelanjutan dapat diajarkan melalui pendidikan di sekolah sejak dini.
Hal ini didiskusikan dalam webinar dan peluncuran Buku Panduan (LKS) Pangan Bijak Nusantara, Selasa (25/1/2022). Buku ini disusun oleh Konsorsium Pangan Bijak Nusantara yang terdiri dari Hivos, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK), dan Non-Timber Forest Products-Exchange Programme Indonesia. Buku yang didanai oleh Uni Eropa ini ditujukan untuk anak SD hingga SMP.
CEO WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan, buku ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi generasi muda. Pengetahuan penting karena mereka diperkirakan menghadapi sejumlah isu pangan di masa depan, seperti ketahanan pangan dan gizi. Isu itu sudah mulai dihadapi masyarakat masa kini.
Kompas
Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menurun menjadi peringkat ke-69 pada 202. Sebelumnya, Indonesia ada di peringkat ke-62 (2019) dan ke-65 (2020). Adapun Indonesia ada di peringkat ke-113 untuk indikator sumber daya alam (SDA) dan daya tahan, sementara kualitas dan keamanan pangan di peringkat ke-95.
Menurut Aditya, makanan yang diproduksi massal tidak hanya meningkatkan emisi karbon. Hal ini juga mengancam biodiversitas sumber pangan. Ribuan jenis pangan yang tersedia dan dimanfaatkan manusia selama 100 tahun terakhir kini mengerucut ke beberapa jenis saja, salah satunya beras.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2019 menyatakan bahwa manusia memanfaatkan lebih dari 3.000 spesies tanaman. Namun, kini manusia bergantung pada 150 jenis tanaman. Adapun beras, jagung, dan gandum sudah memasok lebih dari setengah kebutuhan kalori manusia (Kompas.id, 13/1/2019).
”Kami mendukung upaya untuk kembali ke pangan lokal. Selain berdampak (positif) ke kesehatan dan ekonomi masyarakat, ini juga mempertahankan biodiversitas serta dapat mempertahankan kearifan lokal tentang produksi pangan lokal,” ucap Aditya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ibu-ibu di Desa Tumbang Lawang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (10/4/2019), memasak menggunakan bambu dan bumbu dari hutan. Mereka sama sekali tidak menggunakan penyedap rasa instan pabrikan dan lebih memilih menggunakan bumbu alami. Bagi mereka, hutan menjadi sumber kehidupan dan sumber ketahanan pangan lokal.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, kesadaran masyarakat bahwa sistem pangan saat ini tidak berkelanjutan menguat. Ini tampak dari, antara lain, tingginya jumlah limbah makanan.
Kami mendukung upaya untuk kembali ke pangan lokal. Selain berdampak (positif) ke kesehatan dan ekonomi masyarakat, ini juga mempertahankan biodiversitas serta dapat mempertahankan kearifan lokal tentang produksi pangan lokal.
Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Juni 2021 menyatakan, sedikitnya 23 juta-48 juta ton makanan hilang atau terbuang per tahun di Indonesia. Padahal, makanan tersebut dapat dikonsumsi 61 juta-125 juta orang jika tidak terbuang.
Hilmar juga menyoroti produksi pangan secara massal dan terpusat. Ini memperpanjang jejak karbon makanan. Produksi dan konsumsi pangan lokal dinilai menjadi solusi.
”Ada banyak masalah, tapi berbagai alternatif pun bermunculan, misalnya dengan produksi pangan lokal,” katanya. ”Pendidikan adalah kunci bagaimana kita mengintegrasikan sistem pangan (berkelanjutan) dari hulu hingga hilir,” tambahnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ibu-ibu di Desa Tumbang Lawang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (10/4/2019), memasak dengan menggunakan bambu dan bumbu dari hutan. Mereka sama sekali tidak menggunakan penyedap rasa instan pabrikan dan lebih memilih menggunakan bumbu alami. Bagi mereka, hutan menjadi sumber kehidupan dan pangan lokal menjadi kunci ketahanan pangan.
Pengajaran di sekolah
Perwakilan Konsorsium Pangan Bijak Nusantara, Miranda, mengatakan, perubahan pola konsumsi dan produksi pangan agar berkelanjutan bisa diajarkan di sekolah. Guru dan sekolah menjadi ujung tombak meningkatkan kesadaran soal pangan berkelanjutan. Anak-anak pun diharapkan menerapkan sistem pangan berkelanjutan.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Nutrisi Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rina Agustina, pendidikan bisa dimulai dengan memberi pesan sederhana kepada anak: makanlah aneka ragam makanan. Anak diharapkan mengenal berbagai sumber karbohidrat, vitamin, serat, serta protein nabati dan hewani. Anak-anak juga diharapkan didorong mengenal bahan makanan di daerah mereka.
Ia juga mendorong anak mengurangi asupan gula, garam, dan lemak serta membatasi konsumsi protein hewani. ”Planetary diet mendorong anak untuk makan beragam makanan. Dalam satu piring, setengahnya diisi sayur dan buah. Setengahnya lagi diisi protein serta karbohidrat kompleks,” ujarnya
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Anak mencicipi nugget dari daun kelor buatan mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (23/10/2019). Nugget dari daun kelor tersebut merupakan tugas mata kuliah Obat Asli Indonesia. Nugget tersebut diharapkan dapat membuat anak-anak lebih suka makan sayur.
Guru SDN Bogem 2 di Sleman, DI Yogyakarta, Anggi Rizka Pustika. menilai Buku Panduan (LKS) Pangan Bijak Nusantara dapat menjadi rujukan pendidikan pangan. Kreativitas guru diperlukan untuk mengolah pelajaran menjadi menyenangkan buat anak.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menambahkan, Kurikulum Prototipe membuka ruang untuk pengembangan materi pangan.