Pembayaran restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) hingga kini masih rendah. Umumnya pelaku/terpidana TPPO memilih menjalani hukuman penjara ketimbang membayar ganti rugi kepada korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Empat perempuan asal Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dalam kasus pengiriman pekerja migran Indonesia ilegal, Selasa (18/1/2022), menerima restitusi sebesar Rp 17. 560.000. Mereka adalah calon pekerja migran Indonesia yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi secara ilegal akhir 2020, tetapi pemberangkatannya digagalkan kepolisian dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, dengan dua terdakwa, yakni Bashori Alwi dan Mahzum Nasser. Perkara Bashori disidangkan lebih dahulu. Lalu, pada 29 Desember 2021, majelis hakim menvonis terdakwa Bashori dengan pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 180 juta serta membayar restitusi sebesar 17.560.000 subsider 1 bulan. Adapun Naser perkaranya masih dalam proses persidangan.
Jumlah restitusi yang dibayarkan sesuai dengan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penyerahan restitusi dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepanjen Edi Handoyo, disaksikan Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo di Kantor Kejari Kepanjen, Kabupaten Malang.
”Terpidana pada kasus ini bersedia membayarkan keseluruhan restitusi tersebut dan sudah diterima oleh keempat korban. Restitusi sebelumnya telah dititipkan kepada jaksa penuntut umum sebelum pembacaan tuntutan. Jadi, ini merupakan restitusi melalui mekanisme konsinyasi,” tutur Antonius.
Restitusi tersebut diterima para korban TPPO masing-masing UN (31) sebesar Rp 1.710.000, R (47) sebesar Rp 6.160.000, S (47) sebesar Rp 5.880.000, dan I (33) sebesar Rp 3.810.000. Pembayaran restitusi dalam perkara ini merupakan yang pertama kali di Kabupaten Malang.
Keempat korban TPPO yang menerima restitusi tersebut sebelumnya dilindungi LPSK, sesuai permohonan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri). Mereka adalah bagian dari 31 calon pekerja migran (sebagian besar tidak punya dokumen) yang akan berangkat secara ilegal.
Kasus tersebut berawal dari laporan warga tentang puluhan calon pekerja migran yang ditampung di daerah Jakarta Timur, yang akan diberangkatkan sebagai pekerja rumah tangga ke Arab Saudi secara tidak prosedural. Mereka direkrut pelaku dan dijanjikan akan diberangkatkan ke Arab Saudi dengan gaji sebesar 1.200 riyal per bulan atau sekitar Rp 4,5 juta.
Para korban dibawa BP2MI ke Rumah Perlindungan dan Trauma Center Bambu Apus, Jakarta, dan akhirnya dipulangkan ke kampung masing-masing. Kasus dugaan TPPO tersebut akhirnya disidangkan setelah laporan BP2MI kepada kepolisian.
Pembayaran restitusi kepada empat korban TPPO merupakan perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Korban TPPO berhak mendapatkan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis/psikologis, dan kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Hingga kini, jumlah restitusi yang diperoleh korban pun sangat rendah, jauh dari permohonan yang disampaikan.
Restitusi dibayarkan pelaku tindak pidana kepada korban TPPO atau keluarganya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, pelaksanaan dari undang-undang belum berjalan maksimal. Hingga kini, jumlah restitusi yang diperoleh korban pun sangat rendah, jauh dari permohonan yang disampaikan.
Antonius menyatakan, sepanjang tahun 2021, LPSK memfasilitasi perhitungan restitusi. ”Namun, dari jumlah restitusi yang dikabulkan majelis hakim, hanya kurang dari 12 persen yang dibayarkan oleh pelaku,” papar Antonius.
Rendahnya jumlah pembayaran restitusi bagi korban TPPO karena kurang lengkapnya regulasi. Regulasi yang ada belum dapat memaksa terpidana untuk membayar restitusi. Bahkan, belum ada petunjuk teknis tentang penyitaan dan pelelangan harta terpidana untuk membayar restitusi.
Rendahnya jumlah restitusi yang dibayarkan juga karena pelaku/terpidana tidak mampu membayar karena tidak memiliki dana, terutama pelaku lapangan (yang juga sering kali masih ada hubungan keluarga dengan korban). Selain itu, selama ini terpidana tidak membayar restitusi karena memilih menjalani hukuman pidana penjara (dalam putusan subsider) ketimbang membayar restitusi. Misalnya, jika terpidana dihukum membayar restitusi Rp 50 juta dengan subsider 3 bulan pidana penjara, biasanya terpidana memilih penjara.
Tak hanya itu, sampai saat ini belum selesai penyusunan peraturan Mahkamah Agung tentang tata cara pemeriksaan permohonan restitusi setelah adanya putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Pelaku lapangan
Gabriel Parinama Astha, Direktur Advokasi Parinama Astha (organisasi masyarakat yang mendampingi korban TPPO), mengungkapkan, rendahnya jumlah restitusi juga karena selama ini pelaku yang terjerat hukum hanyalah pelaku lapangan yang juga dari keluarga miskin. Karena itu, untuk pemenuhan hak-hak TPPO, salah satunya restitusi, pelaku yang merupakan auktor intelektualis kasus TPPO harus dijerat. LPSK diharapkan mendorong penyusunan peraturan presiden (perpres) tentang pemberian restitusi dan justice collaborator TPPO agar bisa menjerat auktor intelektualis TPPO yang mengeruk keuntungan besar.
”Perekrut lapangan bisa dijadikan justice collaborator jika ada perpresnya selain perpres restitusi,” ujar Gabriel yang juga anggota Divisi Advokasi Hukum Jaringan Nasional Anti TPPO.
Ketua Mahkamah Agung juga didesak segera mengeluarkan peraturan MA tentang tata cara penetapan realisasi restitusi dan sanksi hukum berupa sita jaminan jika pelaku dan auktor intelektualis TPPO tidak menjalankan restitusi pasca-putusan berkekuatan hukum tetap.
Rahayu Saraswati D Djojohadikusumo, inisiator dan Ketua Jaringan Nasional (Jarnas) Anti TPPO, mengungkapkan, terkait isu TPPO, Jarnas yang beranggotakan lebih dari 30 lembaga dan individu telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian/lembaga terkait. Salah satu rekomendasinya adalah negara harus hadir ketika warga membutuhkan perlindungan, dengan memperkuat LPSK dan memastikan proses hukum atas kasus TPPO.
”Aparat penegak hukum juga tidak hanya hadir setelah kasus menimpa korban, tetapi jika telah ada indikasi kuat beserta bukti oleh minimal saksi korban bahwa eksploitasi akan dilakukan, seharusnya pelaku yang memiliki motif melakukan eksploitasi bisa ditindak secara hukum,” papar Sara, yang juga menyerahkan Rekomendasi Jarnas TPPO kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah pada Rabu (12/1/2022).
Sara mengingatkan agar semua pihak bersama-sama memerangi TPPO. ”Dengan perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan situasi negara yang dilanda pandemi, TPPO terus meningkat dan bertambah dari segi kuantitas dan kualitas. Maka, harus ada upaya nyata dari segala sektor lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menghadang dan memerangi perdagangan orang di Indonesia.”