Peluncuran taksonomi hijau dipandang mampu mendukung penurunan emisi karbon. Namun, taksonomi hijau memiliki catatan, yakni masih memasukkan kegiatan industri ekstraktif, seperti pertambangan, ke dalam kategori kuning.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan taksonomi hijau Indonesia sebagai panduan aktivitas ekonomi hijau yang mendukung perlindungan lingkungan hidup sekaligus sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Peluncuran taksonomi hijau ini dipandang sebagai upaya mencapai komitmen nol emisi dan penurunan emisi karbon.
Direktur Eksekutif Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) Universitas Padjadjaran Zuzy Anna menyampaikan, peluncuran taksonomi hijau sangat penting sebagai rujukan, terutama untuk sektor jasa keuangan dan pemangku kepentingan lain, dalam mewujudkan investasi hijau ataupun agenda pembangunan berkelanjutan (SDG) lainnya.
”Taksonomi hijau tidak bisa dilepaskan dari target-target SDG kita hingga tahun 2030. Sebab, banyak poin agenda SDG yang masuk dalam taksonomi hijau. Ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi pada tahun 2060 dan menurunkan emisi karbon,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (21/1/2022).
Menurut Zuzy, menerjemahkan berbagai aspek tentang perlindungan lingkungan ataupun penanganan perubahan iklim secara spesifik sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan mayoritas aspek tersebut tidak bisa diukur secara jelas, seperti perbaikan kesejahteraan masyarakat yang terdampak kerusakan lingkungan ataupun perubahan iklim.
Taksonomi hijau tidak bisa dilepaskan dari target-target SDG kita hingga tahun 2030. Sebab, banyak poin agenda SDG masuk dalam taksonomi hijau. Ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi tahun 2060 dan menurunkan emisi karbon.
Zuzy berharap adanya taksonomi hijau bisa menjadi kendaraan untuk kebutuhan pemantauan berkala, seperti penyaluran pembiayaan atau investasi yang dilakukan jasa keuangan. Hal ini dapat dilakukan mengingat taksonomi hijau sudah mengklasifikasikan sejumlah kegiatan ekonomi ke dalam tiga kategori, yakni hijau (do no significant harm), kuning (slight harm), dan merah (do significant harm).
Kepala Program Pembiayaan Berkelanjutan WWF Indonesia Rizkiasari Yudawinata mengatakan, taksonomi hijau dapat menjadi panduan awal untuk mengharmonisasikan transformasi pembiayaan yang lebih berkelanjutan dengan target penanganan perubahan iklim. Taksonomi hijau ini juga akan membantu mengidentifikasi dan memetakan analisis risiko perubahan iklim.
Belum tersedianya standardisasi kategori hijau untuk menilai implementasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola menjadi tantangan tersendiri dalam mengakselerasi praktik keuangan berkelanjutan di Indonesia. Hal ini mendorong sulitnya kegiatan usaha dalam mengakses pendanaan dan investor dalam membuat keputusan berinvestasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian meluncurkan taksonomi hijau pada Kamis (20/1/2022) yang disusun bersama delapan kementerian terkait untuk menjawab tantangan tersebut.
Taksnomi hijau disusun oleh OJK dengan mengkaji 2.733 klasifikasi sektor dan subsektor ekonomi yang 919 di antaranya telah dikonfirmasi dengan kementerian terkait. Taksonomi hijau juga akan digunakan sebagai acuan bagi penyusunan pemberian insentif dan disinsentif, seperti pembiayaan kendaraan berbasis baterai.
”Taksonomi hijau versi pertama yang diluncurkan OJK ini lebih fokus ke aspek lingkungan. Taksonomi hijau ini bisa lebih berkembang dengan memasukkan dimensi sosial di dalamnya,” kata peneliti ekonomi Perkumpulan Prakarsa, Dwi Rahayu Ningrum.
Kategori pertambangan
Meski bermanfaat signifikan dalam mendukung upaya penurunan emisi, taksonomi hijau memiliki catatan, yakni masih memasukkan kegiatan industri ekstraktif, seperti pertambangan, ke dalam kategori kuning atau menimbulkan kerusakan lingkungan. Padahal, publik berharap kegiatan pertambangan masuk kategori merah atau menimbulkan kerusakan yang signifikan.
Pendiri Lingkar Studi Tanggung Jawab Perusahaan (CSRI), Jalal, mengatakan, hasil perundingan dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-26 (COP 26) memang banyak mendorong negara-negara untuk segera meninggalkan investasi pertambangan batubara. Akan tetapi, fakta menunjukkan, terdapat beberapa pertambangan menyediakan mineral yang sangat penting untuk dekarbonisasi, salah satunya nikel.
”Ada banyak sekali isu lingkungan di sektor pertambangan. Jadi, meskipun pertambangan menyediakan mineral untuk dekarbonisasi, perlakuannya harus sangat hati-hati. Kita juga perlu mendorong agar sektor pertambangan lebih serius dalam mengelola lingkungan dan sosial. Jadi, pertambangan ini harus disikapi dengan hati-hati,” tuturnya.