Risiko Penggunaan Ganja untuk Pengobatan Perlu Dipertimbangkan
Penelitian yang dilakukan di sejumlah negara terkait penggunaan kanabis/ganja guna pengobatan menunjukkan adanya efek samping berupa gangguan fungsi hati. MK diminta tidak terburu-buru mengizinkan ganja untuk obat.
Meskipun demikian, pintu penelitian mengenai potensi penggunaan narkotika golongan I untuk pengobatan perlu dibuka. Basis ilmiah yang didukung oleh penelitian-penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan diperlukan sebelum sampai pada kesimpulan tersebut.
Anggota Komisi Nasional Penilai Obat, Rianto Setiabudy, mengungkapkan hal tersebut saat menjadi ahli yang diajukan pemerintah dalam sidang uji materi Undang-Undang Narkotika terkait legalisasi ganja untuk kepentingan pengobatan, Kamis (21/1/2022). Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, pemerintah juga mengajukan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Aris Catur Bintoro dan dokter spesialis saraf di RS Hasan Sadikin, Bandung, Uni Gamayani, sebagai ahli.
Baca juga: Mencari Jalan Keluar untuk Pencandu Narkotika
Pada prinsipnya, suatu obat dapat diterima jika potensi manfaat minimal seimbang dengan potensi dampak negatif yang ada. Apabila potensi dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar, misalnya masih adanya problem sosial penggunaan obat-obatan terlarang di kalangan anak muda dan fakta bahwa ganja menyebabkan ketergantungan tinggi, penggunaannya untuk pengobatan tidak bisa diterima.
Ia tidak menafikan adanya sejumlah testimoni yang diberikan oleh sejumlah saksi mengenai bagaimana ganja dapat membantu penanganan sejumlah indikasi medis, seperti cerebral palsy ataupun penyakit neuropatik kronis, seperti yang dikemukakan di dalam persidangan sebelumnya.
Seperti diketahui, salah satu saksi, P Ridanto Busono Raharjo, yang menderita neuropatik kronis, mengungkap tentang penggunaan ganja untuk mengurangi derita nyeri di tangan kanannya yang kini lumpuh. Selain itu, dalam berkas permohonan uji materi UU Narkotika juga disebutkan bagaimana tiga ibu dari Yogyakarta (selaku pemohon uji materi) yang memiliki anak dengan cerebral palsy terbantu dengan pengobatan menggunakan ekstraksi ganja untuk mengurangi kejang-kejang yang diderita anaknya.
Rianto mengungkapkan, saat ini sebenarnya terdapat banyak pilihan obat yang memiliki izin edar dan terbukti aman serta efektif untuk mengobati indikasi-indikasi yang diklaim dapat diobati dengan kanabis. Misalnya, ada 12 obat dalam Formularium Nasional yang dapat dipilih untuk pengobatan epilepsi. Untuk obat antinyeri, terdapat sembilan pilihan dan untuk antimual terdapat enam pilihan. Sementara untuk pengobatan nyeri neurotropik terdapat empat pilihan obat yang aman, efektif, dan sudah terbukti. Jumlah pilihan obat tersebut belum mencakup daftar yang ada di luar Formularium Nasional.
Dalam kondisi-kondisi seperti ini, kita tidak melihat adanya urgensi dalam hal ini. Lebih baik kita lebih konservatif karena obat ini berpotensi menimbulkan masalah, terutama dampaknya pada masyarakat. Kehati-hatian seperti ini barang kali kita bisa ambil contoh dari obat yang namanya heroin. Heroin itu dulunya ketika kita kurang hati-hati dan digunakan untuk keperluan yang tidak begitu penting, itu diizinkan dijual sebagai obat batuk. Karena orang tidak tahu bahayanya, oh tidak apa-apa dijual sebagai obat batuk.
”Dalam kondisi-kondisi seperti ini, kita tidak melihat adanya urgensi dalam hal ini. Lebih baik kita lebih konservatif karena obat ini berpotensi menimbulkan masalah, terutama dampaknya pada masyarakat. Kehati-hatian seperti ini barang kali kita bisa ambil contoh dari obat yang namanya heroin. Heroin itu dulunya ketika kita kurang hati-hati dan digunakan untuk keperluan yang tidak begitu penting, itu diizinkan dijual sebagai obat batuk. Karena orang tidak tahu bahayanya, ’Oh, tidak apa-apa dijual sebagai obat batuk’. Kemudian, ternyata dia menimbulkan adiksi. Kemudian, kita melihat juga, coba dialihkan menjadi suatu obat untuk substitusi pasien-pasien yang kecanduan morfin. Ternyata apa? Dia malah menimbulkan gangguan yang lebih hebat terhadap morfin sehingg akhirnya kita tahu, posisi yang tepat untuk obat ini adalah di narkotika golongan 1, yaitu digunakan sebagai penelitian boleh, tapi untuk penggunaan, untuk pengobatan tidak,” ujar Riyanto.
Meskipun ganja sudah dipergunakan untuk kepentingan pengobatan di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Belanda, faktanya kanabis tersebut tidak tercantum dalam berbagai pedoman pengobatan baik yang berlaku secara internasional maupun nasional. Misalnya, zat tersebut belum tercantum dalam daftar obat esensial Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta pedoman pengobatan perhimpunan profesi nasional ataupun internasional.
”Ketika kami merevisi formularium nasional baru-baru ini, tahun lalu, tidak ada satu pun perhimpunan profesi di Indonesia atau rumah sakit yang mengusulkan mengenai perlunya zat ini disediakan untuk pelayanan kesehatan buat masyarakat di Indonesia. Sampai sekarang, Badan POM juga belum memberikan izin edar pada produk kanabis ini untuk indikasi apa pun,” ungkap Riyanto.
Risiko
Dalam persidangan tersebut, Aris Catur Bintoro dan Uni Gamayani mengurai tentang penanganan epilepsi dan obat-obatan beserta fasilitas kesehatan yang tersedia untuk menanganinya. Uni mengungkapkan tentang berbagai macam epilepsi dan penanganannya.
Apabila seseorang telah didiagnosis menderita epilepsi, anak tersebut akan mendapatkan terapi agar bebas dari kejang. Sebagian besar penderita epilepsi, kata Uni, dapat bebas kejang dengan monoterapi, khususnya bagi penderita epilepsi dengan resistensi obat. Saat ini, tambahnya, muncul alternatif obat lain untuk menurunkan kejang pada pasien-pasien epilepsi yang resisten obat. Salah satunya adalah penggunaan Cannabidiol (CBD).
Uni Gamayani mengungkapkan, apabila seseorang telah didiagnoisis menderita epilepsi, anak tersebut akan mendapatkan terapi agar bebas dari kejang. Sebagian besar penderita epilepsi, kata Uni, dapat bebas kejang dengan monoterapi, khususnya bagi penderita epilepsi dengan resistensi obat. Saat ini, tambahnya, muncul alternatif obat lain untuk menurunkan kejang pada pasien-pasien epilepsi yang resisten obat. Salah satunya adalah penggunaan Cannabidiol (CBD).
Pada 2018, menurut Uni, FDA menyetujui penggunaan CBC (Epidyolex) sebagai obat terapi adjunctive (terapi tambahan) pada sindrom Dravet dan Lennox Gastaut (dua jenis dari beragam jenis epilepsi). Pada 2017, dilakukan penelitian terhadap 120 anak penderita sindrom Dravet selama 14 minggu. Hasilnya, terdapat penurunan kejang. Namun, ada efek samping yang diakibatkan, yakni 75 persen pasien mengalami gangguan fungsi liver atau hati dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan obat-obatan tersebut. Penelitian tersebut belum mencakup efek dan efikasi dalam jangka panjang.
Penelitian serupa dilakukan di Inggris yang mengevaluasi keamanan dari obat-obatan tersebut untuk penderita sindroma Dravet usia 4 hingga 10 tahun. Hasilnya, efek samping yang dihasilkan lebih banyak terjadi pada pasien yang diberi CBD, yaitu 22 persen mendapat gangguan fungsi hati. Efek samping serupa terjadi dalam penelitian yang dilakukan pada 2018 terhadap 225 pasien Lennox Gastatut berusia 2 tahun hingga 55 tahun di Amerika, Spanyol, Inggris, dan Perancis selama 14 minggu. Hasilnya, ada efek samping terhadap 94 persen pasien pada pemberian 20 mg CBD dan 84 persen pasien pada pemberian 10 mg obat-obatan tersebut.
Untuk kurangi rasa sakit
Tahun 2020, ada penelitian pada 72 pasien anak cerebral palsy dan trauma kepala yang diberikan nabiximols cannabinoid dalam waktu 12 minggu. Hasilnya, tidak terdapat perbedaan bermakna antara pasien yang diberikan obat tersebut dan yang tidak mendapatkan obat. Selain itu, muncul efek samping gangguan neuropsikiatrik sehingga disimpulkan bahwa nabiximols cannabinoid tidak dapat digunakan untuk penangangan spastisitas pada anak dengan cerebral palsy dan trauma kepala.
Dengan hasil semacam itu, National Institute for Health and Care Excellence (NICE), sebuah organisasi publik nondepartemen di bawah Kementerian Kesehatan dan Jaminan Sosial Inggris, tidak membuat rekomendasi penggunaan obat-obatan berbasis kanabis tersebut karena keterbatasan penelitian dan adanya efek samping yang ditimbulkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bukti yang lebih baik sehingga rekomendasi yang dikeluarkan NICE lebih terarah.
Baca juga: Antisipasi Penyalahgunaan, Polda Bali Gelar Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika
Sementara itu, Uni juga menyebutkan sejumlah penelitian tentang penggunaan cannabinoid untuk pasien cerebral palsy. Tahun 2020, ada penelitian pada 72 pasien anak cerebral palsy dan trauma kepala yang diberikan nabiximols cannabinoid dalam waktu 12 minggu. Hasilnya, tidak terdapat perbedaan bermakna antara pasien yang diberikan obat tersebut dan yang tidak mendapatkan obat. Selain itu, muncul efek samping gangguan neuropsikiatrik sehingga disimpulkan bahwa nabiximols cannabinoid tidak dapat digunakan untuk penanganan spastisitas pada anak dengan cerebral palsy dan trauma kepala.
Mengenai penanganan pasien epilepsi dan sindrom cerebral palsy, Uni mengungkapkan, selama menjadi dokter spesialis hingga saat ini, dirinya menggunakan obat-obatan yang ada dalam formularium nasional dan ada di dalam fasilitas kesehatan. Terhadap pasien yang resisten obat, juga dilakukan monoterapi. Diakui Uni, upaya-upaya tersebut memang tidak membuat para pasien kemudian bebas sama sekali dari kejang. Namun, pengobatan itu dapat menurunkan kejang.