Gempa M 8,7 dan Tsunami Masih Mengancam Selat Sunda
Gempa M 6,6 yang terjadi di Selat Sunda pada Jumat (14/1/2022) tidak mengurangi energi kegempaan yang tersimpan di kawasan ini. Gempa M 8,7 diikuti tsunami masih bisa terjadi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gempa M 6,6 yang terjadi di Selat Sunda pada Jumat (14/1/2022) pekan lalu tidak mengurangi energi kegempaan yang tersimpan di kawasan ini. Gempa tersebut justru menandai aktifnya zona kegempaan di kawasan ini dan gempa M 8,7 masih bisa terjadi sewaktu-waktu.
Evaluasi mengenai gempa M 6,6 pekan lalu dan ancamannya ke depan ini didiskusikan dalam webinar yang diselenggarakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jumat (21/1/2022). Pembicara dalam diskusi daring ini adalah Dadang Permana, Mohammad Ramdhan, dan Supriyanto Rohadi dari BMKG. Selain itu, diskusi juga menghadirkan ahli gempa Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, dan peneliti gempa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rahma Hanifa.
Dadang Permana, Koordinator Bidang Seismologi Teknik BMKG, menyampaikan hasil survei makroseismik yang dilakukan timnya dan menemukan banyaknya kerusakan bangunan di lapangan. ”Dari survei makroseismik, kerusakan terbanyak kami temukan di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, dengan kekuatan guncangan VI MMI (Modified Mercalli Intensity). Sebagian besar wilayah terdampak memiliki klasifikasi tanah sedang dan lunak, sedangkan lokasi yang terparah di Sumur kondisi tanah lunak,” katanya.
Menurut Dadang, kerusakan bangunan yang terjadi umumnya disebabkan kualitas konstruksi yang tidak memenuhi standar, di antaranya tidak adanya tulangan. ”Banyak bangunan roboh tetapi sebelahnya bertahan menunjukkan karena kesalahan konstruksi. Harusnya dengan skala VI MMI, kerusakan hanya ringan kalau bangunannya sesuai persyaratan,” katanya.
Irwan Meilano, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, mengatakan, pengamatan yang dilakukan menggunakan data GPS (global positioning system) secara menerus sejak 2006 menemukan adanya regangan yang sangat besar di Selat Sunda. Regangan ini makin membesar setelah gempa bumi di Samudra Hindia, sebelah selatan Pulau Sumatera, pada 2012.
Secara sederhana, regangan ini bisa dimaknai dengan makin melebarnya Selat Sunda, yang berarti mendorong Pulau Jawa dan Pulau Sumatera makin menjauh. ”Implikasi dari regangan tektonik ini menyebabkan intrusi magmatik dan meningkatkan potensi letusan Gunung (Anak) Krakatau,” katanya.
Dengan adanya intrusi magmatik ini, menurut Irwan, Anak Krakatau yang mengalami erupsi pada 2018 justru terus mengalami inflasi atau penggembungan tubuh gunungnya. Padahal, biasanya setelah erupsi, gunung api akan mengalami deflasi atau pengempisan. ”Di Krakatau bagian yang sudah meletus masif inflasi. Gunungnya masih tumbuh. Ini membuktikan intrusi magmatik masih ada,” katanya.
Di Krakatau bagian yang sudah meletus masif inflasi. Gunungnya masih tumbuh. Ini membuktikan intrusi magmatik masih ada.
Irwan menambahkan, regangan di Selat Sunda juga bisa terjadi karena adanya aktivitas sesar. Gempa M 6,6 pekan lalu menandai bahwa zona gempa yang sebelumnya termasuk seismic gap atau sepi gempa ini aktif. ”Gempa pekan lalu terjadi di bagian bawah atau pinggir Zona Subduksi. Harapannya, gempa ini merilis energi gempa besar yang tersimpan,” katanya.
Namun, Irwan meyakini, gempa kali ini belum mengurangi potensi energi besar yang bisa lepas di zona kegempaan ini. ”Karena potensi energi gempa di zona ini bisa mencapai M 8,7, dibutuhkan setidaknya 2.000 kali gempa berkekuatan M 6,6,” ujarnya.
Rahma Hanifa mengingatkan, gempa besar di Zona Subduksi biasanya diawali dengan gempa di zona pinggirnya. Ini juga terjadi saat gempa Aceh tahun 2004 serta gempa Tohoku 2011. ”Perlu monitoring terus-menerus di zona kegempaan ini, termasuk dengan memasang mikroseismisitas di dekat pusat sumbernya, seperti dilakukan di Jepang,” katanya.
Rahma mengatakan, potensi gempa hingga M 8,7 di zona subduksi Selat Sunda ini didasarkan pada perhitungan adanya akumulasi energi regangan yang tersimpan selama 500 tahun. Makin lama energi ini lepas, potensi gempanya akan makin besar.
Berdasarkan potensi gempa ini, Rahma dan sejumlah peneliti lain telah melakukan pemodelan mengenai potensi tsunami jika gempa M 8,7 terjadi di kawasan ini. Hasilnya, potensi tsunami hingga 20 meter bisa melanda pesisir Banten.
Irwan juga mengatakan, sumber gempa besar atau megathrust di Selat Sunda berada di bagian yang dangkal sehingga berpotensi menghasilkan gempa yang membangkitkan tsunami. Selain itu, yang juga perlu diwaspadai adalah terjadinya tsunami earthquake, sebagaimana terjadi di Pangandaran pada 2006.
Gelombang yang dimunculkan akibat tsunami earthquake di pantai beberapa kali lebih tinggi dibandingkan tsunami dari sumber gempa dengan magnitude relatif sama. Hal ini biasanya terjadi dari gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 20 kilometer di dekat palung samudra. Guncangan gempanya juga cenderung lambat sehingga tak begitu terasa oleh penduduk di pantai.
Dadang mengatakan, belajar dari gempa kali ini dan ancaman ke depan, seharusnya dilakukan relokasi warga dari zona bahaya tsunami. ”Seperti Sumur, selain terancam guncangan gempa, juga terancam tsunami. Kalau tidak bisa relokasi, harus membuat konstruksi bangunan yang baik, terutama yang tanahnya lunak,” jelasnya.