Burung pelatuk paruh gading atau lebih dikenal dengan burung woodpecker diyakini belum punah. Hal ini ditunjukkan dari sejumlah laporan kemunculan dan suara yang terdengar di beberapa wilayah di Amerika Serikat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Burung ivory-billed woodpecker atau pelatuk paruh gading menjadi 1 dari 23 spesies yang dinyatakan punah oleh Dinas Perikanan dan Margasatwa Amerika Serikat. Audiensi dengan publik untuk mengkaji status kepunahan hingga 10 Februari 2022 membuka asa terkait populasi terakhir burung yang dikenal publik lewat animasi “Woody Woodpecker” ini.
Status kepunahan burung pelatuk paruh gading ( Campephilus principalis) masih terus dipertanyakan oleh berbagai pihak setelah dinyatakan punah oleh Dinas Perikanan dan Margasatwa AS (FWS) pada 29 September 2021 lalu. FWS menetapkan status kepunahan ini karena sudah tidak ada lagi dokumentasi secara resmi dan bukti objektif terkait kemunculan pelatuk paruh gading selama puluhan tahun.
Dikutip dari The Guardian, tujuan FWS menetapkan status punah pelatuk paruh gading dan 22 spesies satwa lainnya yakni agar sumber daya hingga pendanaan konservasi difokuskan bagi spesies yang belum terancam punah. Studi tahun 2016 oleh organisasi Pusat Keanekaragaman Hayati menemukan bahwa Kongres AS hanya menyediakan sekitar 3,5 persen dari total dana yang diperlukan untuk upaya konservasi.
Sementara kondisi saat ini, sebagian besar spesies di bawah perlindungan federal AS belum dinyatakan punah. Fokus Federal AS untuk mempertahankan spesies yang belum punah ini bahkan telah dilakukan sejak tahun 1975 sesuai Undang-undang Spesies Terancam Punah (ESA) tahun 1973.
Ketentuan dalam UU tersebut mengharuskan FWS menghapus spesies karena pemulihan atau kepunahan agar alokasi sumber daya bisa difokuskan untuk spesies lain yang terancam dan hampir punah. Tercatat sebanyak 54 spesies seperti elang botak, pelikan coklat, dan paus bungkuk bebas berhasil diselamatkan dari kepunahan berkat adanya UU ini.
Mencari keberadaan spesies yang sudah tidak terdokumentasi selama puluhan tahun juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Para ilmuwan bahkan telah menghabiskan anggaran hingga jutaan dollar AS untuk memburu keberadaan pelatuk paruh gading sejak 2004.
Mencari keberadaan spesies yang sudah tidak terdokumentasi selama puluhan tahun juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Para ilmuwan bahkan telah menghabiskan anggaran hingga jutaan dollar AS untuk memburu keberadaan pelatuk paruh gading sejak 2004.
Berbeda dengan FWS, Badan Konservasi Dunia (IUCN) belum memasukan pelatuk paruh gading ke daftar spesies dengan status punah. Daftar merah (red list) IUCN masih menetapkan burung tersebut ke dalam kelompok sangat terancam punah ( critically endangered/CR). IUCN memperkirakan, pelatuk paruh gading kemungkinan masih ada di Kuba, Kepulauan Karibia.
Selain itu, meski terdapat penurunan secara historis, habitat pelatuk paruh gading di sebagian besar hutan wilayah Amerika Serikat bagian tenggara mulai pulih kembali. Namun, hilangnya habitat dan aktivitas perburuan ilegal di Kuba dapat menimbulkan ancaman bagi individu yang tersisa dalam satu subpopulasi.
Publik khususnya ahli ornitologi dan konservasionis meyakini, burung yang berhabitat di hutan-hutan AS ini masih memiliki populasi terakhir. Para ahli memandang, FWS terlalu dini menetapkan status kepunahan pelatuk paruh gading. Sebab, beberapa tahun lalu masih ada laporan kemunculan pelatuk paruh gading di sejumlah wilayah.
Kemunculan terakhir burung pelatuk paruh gading yang dicatat secara resmi terjadi sekitar 78 tahun lalu atau tepatnya pada April 1944 di timur laut Louisiana. Sejak saat itu, belum ada lagi catatan resmi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang kemunculan kembali burung pelatuk terbesar di AS ini.
Meski demikian, telah banyak laporan rutin tentang kemunculan ataupun suara burung pelatuk paruh gading yang terdengar di seluruh Amerika Serikat bagian tenggara, khususnya di Louisiana, Florida, Texas, dan Carolina Selatan. Penampakan terakhir yang dilaporkan terjadi pada tahun 2008 di sepanjang Pearl River di Louisiana.
Penemuan kembali
Penemuan kembali pelatuk paruh gading sebenarnya tidak hanya sebatas laporan masyarakat tanpa sebuah kajian ilmiah. Para peneliti ornitologi dari Cornell University, AS, bahkan telah melakukan riset tentang penemuan pelatuk paruh gading di Arkansas timur, Amerika Utara. Riset ini telah dipublikasikan di jurnal Science, 3 Juni 2005.
Peneliti melakukan riset tersebut untuk menindaklanjuti laporan seorang pengguna kayak yang melihat dan mengikuti pelatuk paruh gading di Bayou DeView, Suaka Margasatwa Nasional Sungai Cache. Hasil riset itu menyebutkan, peneliti mengalami pertemuan visual dengan pelatuk paruh gading selama tahun 2004 dan 2005.
Analisis potongan sebuah video dari April 2004 juga mengonfirmasi keberadaan setidaknya satu individu jantan. Namun, laporan tersebut mencatat, peneliti tidak berhasil mengonfirmasi keberadaan burung tersebut jauh dari lokasi pertemuan utama meski sudah dilakukan upaya ekstensif.
“Menjaga pelatuk paruh gading ke dalam daftar spesies yang terancam punah tetap perlu dilakukan. Hal ini akan membuat negara terus berupaya untuk mengelola habitat burung tersebut,” ujar Pakar Ornitologi dari Cornell University John Fitzpatrick yang juga salah satu penulis laporan tersebut.
David Luneau, profesor dari University of Arkansas at Little Rock, AS, yang turut terlibat dalam riset tersebut, tidak percaya bahwa pelatuk paruh gading akan punah. Ia juga mempertanyakan kenapa FWS memutuskan untuk menetapkan status punah terhadap burung ikonik tersebut. Padahal, fakta menunjukkan banyak laporan kemunculan pelatuk paruh gading di sejumlah wilayah beberapa tahun terakhir.
David dan para pakar ornitologi serta konservasionis lainnya akan melakukan audiensi dengan FWS tentang status kepunahan pelatuk paruh gading. Sebelum mengeluarkan keputusan final tentang status kepunahan satwa, FWS melakukan audiensi dengan publik selama 60 hari sejak pernyataan terakhir dikeluarkan atau September 2021.
Audiensi kedua akan dilaksanakan pada 26 Januari dan berakhir hingga 10 Februari 2022. Dengan perpanjangan audiensi ini, konservasionis berharap status kepunahan pelatuk paruh gading dapat dicabut sehingga bisa mengembalikan sumber daya hingga pendanaan untuk mengidentifikasi lebih lanjut populasi terakhir dari “Sang Woodpecker”.