Deteksi Glaukoma sejak Dini untuk Cegah Progresivitas
Glaukoma perlu dideteksi sejak dini untuk mencegah progresivitas yang bisa menyebabkan kebutaan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Glaukoma umumnya tidak memiliki gejala pada tahap awal. Padahal, gangguan kesehatan mata ini memiliki progresivitas yang cukup tinggi yang dapat menimbulkan dampak fatal hingga kebutaan. Karena itu, deteksi dini perlu dilakukan melalui pemeriksaan dasar, terutama pada seseorang yang memiliki faktor risiko.
Dokter subspesialis glaukoma dari Jakarta Eye Center (JEC) Iwan Soebijantoro di Jakarta, Kamis (20/1/2022) mengatakan, glaukoma primer tertutup merupakan salah satu klasifikasi glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaukoma primer tertutup ini terdiri dari dua jenis, yakni glaukoma primer sudut tertutup akut dan glaukoma primer sudut tertutup kronik.
”Glaukoma tertutup akut itu artinya penderita merasa kesakitan yang disebabkan oleh tekanan yang sangat tinggi. Sementara glaukoma tertutup kronik itu biasanya tidak bergejala yang terjadi secara perlahan-lahan sehingga penderita sering tidak tahu kalau dirinya menderita glaukoma,” ucapnya.
Karena itu, Iwan mengatakan, deteksi dini sangat diperlukan untuk mengidentifikasi glaukoma tertutup kronik. Pemeriksaan dasar merupakan kunci utama dalam upaya deteksi dini tersebut. Ada sejumlah pemeriksaan yang bisa dilakukan, antara lain pemeriksaan tekanan bola mata, pemeriksaan saraf optik, pemeriksaan sudut bilik mata, dan pemeriksaan lapang pandang.
Glaukoma primer sudut tertutup kronik terjadi akibat kerusakan pada jaringan trabekular pada mata. Kerusakan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular serta progresivitas pada kejadian glaukoma. Gangguan ini juga terbukti berdampak pada perubahan sel endotel kornea, khususnya pada densitas sel.
Iwan menuturkan, hal tersebut yang kemudian dinilai dapat menjadi parameter untuk menegakkan diagnosis dini glaukoma sudut tertutup. Dari hasil penelitian yang dilakukan Iwan dalam Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK KMK) Universitas Gadjah Mada pun menemukan sejumlah parameter baru terkait dengan perubahan morfologi endotel kornea dengan glaukoma primer sudut tertutup kronik.
Glaukoma tertutup akut itu artinya penderita merasa kesakitan yang disebabkan oleh tekanan yang sangat tinggi. Sementara glaukoma tertutup kronik itu biasanya tidak bergejala yang terjadi secara perlahan-lahan sehingga penderita sering tidak tahu kalau dirinya menderita glaukoma.
Dari hasil penelitiannya, ia menemukan, pada penderita glaukoma primer sudut tertutup kronik yang memiliki sudut bilik mata depan yang sangat dangkal, yakni kurang dari 15 derajat memiliki konsekuensi progresivitas glaukoma yang lebih berat. Pasien dengan sel endotel kornea kurang dari 2.000 sel per milimeter persegi juga terbukti memiliki penipisan lapisan saraf retina( RNFL/Retinal Nerve Fiber Layer) yang lebih berat.
”Ketebalan kornea sentral juga berkorelasi dengan sel saraf. Semakin tipis ketebalan kornea, semakin tipis juga sel saraf,” kata Iwan.
Ia mengatakan, hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif pemeriksaan atau penunjang pemeriksaan untuk menilai derajat keparahan dari glaukoma primer sudut tertutup kronik yang dialami oleh pasien. Melalui pemeriksaan klinis yang sistematis dan cermat, tata laksana glaukoma bisa semakin baik.
Secara terpisah, Guru Besar FK KMK UGM Marsetyawan yang juga promotor disertasi yang dilakukan Iwan, mengatakan, penelitian tersebut dapat mendukung layanan kesehatan di masyarakat. Diharapkan penelitian-penelitian lanjutan bisa dilakukan sehingga dapat berkontribusi secara praktis bagi klinisi.
Iwan menambahkan, masyarakat diimbau untuk melakukan pemeriksaan glaukoma sejak dini. Pemeriksaan harus dilakukan sebelum gejala atau keluhan muncul. Pemeriksaan terutama diperlukan pada kelompok dengan risiko tinggi, seperti orang yang pernah mendapatkan trauma atau benturan pada area mata.
Data Riset Kesehatan Dasar 2007 mencatat, empat sampai lima orang per 1.000 penduduk di Indonesia mengalami glaukoma. Di Jakarta, sebesar 1,89 persen mengalami glaukoma primer sudut tertutup, 0,48 persen mengalami glaukoma sudut terbuka, dan 0,16 persen mengalami glaukoma sekunder. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyebutkan, glaukoma merupakan penyebab tertinggi ketiga kebutaan global setelah kelainan refraksi dan katarak. Glaukoma merupakan salah satu gangguan penglihatan yang tidak bisa disembuhkan, tetapi progresivitas atau perburukan yang mungkin terjadi bisa dicegah.