Film Dokumenter, Sarana Mengenalkan Tokoh Inspiratif
Film dokumenter ”Maestro Indonesia” episode Ciputra dan Sulianti Saroso diluncurkan, Rabu (19/1/2022). Cerita para tokoh tersebut diharapkan menjadi inspirasi generasi muda.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kisah hidup sejumlah tokoh di Indonesia—mulai dari tokoh kesehatan, olahraga, hingga sastra—dinilai dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk berkarya di masa depan. Film dokumenter menjadi media yang tepat untuk mengenalkan tokoh tersebut kepada publik.
Hal ini mengemuka pada peluncuran film dokumenter Maestro Indonesia secara daring, Rabu (19/1/2022). Film dokumenter berdurasi belasan hingga 20-an menit ini diproduksi oleh Miles Films bekerja sama dengan PT Pembangunan Jaya.
Sejak dirilis pada 2017, Maestro Indonesia telah memproduksi enam episode cerita. Masing-masing menceritakan tokoh berbeda, yaitu arsitek Soejodi Wiroatmojo, penyair Chairil Anwar, cendekiawan Nurcholish Madjid, dan pencipta lagu Cornel Simanjuntak.
Episode kelima dan keenam masing-masing menceritakan pengusaha sekaligus pemerhati bulu tangkis Ciputra serta tokoh kesehatan Sulianti Saroso. Kedua episode ini dirilis Rabu kemarin. Semua episode Maestro Indonesia diunggah di kanal Youtube Pembangunan Jaya dan Miles Films.
Suasana ruang tunggu di bioskop CGV Blitz, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Kini, bioskop tak hanya dirancang untuk tempat menonton film, tetapi juga bisa dijadikan tempat nongkrong, berselancar di dunia maya, atau rapat kerja.
”Tujuan kami, agar anak muda mengenali sosok-sosok di Indonesia yang hebat dan luar biasa,” kata produser Maestro Indonesia, Mira Lesmana.
Dalam film berdurasi 19 menit 35 detik, riwayat hidup Sulianti Saroso diceritakan secara singkat, jelas, dan padat. Ia merupakan dokter yang memperjuangkan akses kesehatan bagi masyarakat, juga ibu dan anak. Ia adalah salah satu tokoh yang menyuarakan pentingnya kontrasepsi bagi keluarga. Gagasan ini berkembang menjadi program Keluarga Berencana.
Sulianti juga berjuang mengeliminasi cacar di Indonesia. Ia pun terjun langsung ke desa-desa untuk melakukan vaksinasi. Pada 1974, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Indonesia sebagai negara bebas cacar.
Dengan latar belakang sebagai orang berkecukupan, Sulianti dapat memilih berkarier di kota besar. Sebaliknya, Sulianti memilih melayani publik hingga ke pelosok.
Ia tidak hanya dinilai cerdas, tetapi juga punya pendirian teguh dan empati terhadap masyarakat. Ia dinilai sukses mengadaptasi respons terhadap penyakit menular dari Barat ke Indonesia. Responsnya pun berbasis pada ilmu pengetahuan.
Menurut Staf Khusus Menteri Kesehatan Laksono Trisnantoro, generasi muda dapat mencontoh kepedulian Sulianti terhadap masyarakat. Sebab, dengan latar belakang sebagai orang berkecukupan, Sulianti dapat memilih berkarier di kota besar. Sebaliknya, Sulianti memilih melayani publik hingga ke pelosok.
”Dia memilih mengurus orang yang cacar dan berkeliling Indonesia selama bertahun-tahun. Jika tidak ada kepedulian, saya rasa itu tidak mungkin dilakukan,” ucap Laksono yang juga keponakan Sulianti.
Riset
Sutradara Maestro Indonesia, Riri Riza, mengatakan, film ini dibuat berdasarkan riset. Tim riset terdiri dari, antara lain, sejarawan, akademisi, wartawan, dan pegiat kebudayaan. Ia menambahkan, film Maestro Indonesia menampilkan aspek humanis tokoh tersebut beserta pretasi yang diraih.
”Buat kami, membuat film adalah proses belajar mengenal Indonesia,” kata Riri. ”Inspirasi cerita Sulianti sebagai perempuan Indonesia, misalnya, bisa terhubung ke anak muda sekarang yang striving untuk berprestasi dan untuk memberi sumbangsih ke komunitas,” tambahnya.
Film episode Ciputra, pengusaha di bidang konstruksi dan properti ini, diceritakan dari sisi lain, yakni sebagai pencinta dan pemerhati olahraga, khususnya bulu tangkis. Ia mendirikan Persatuan Bulu tangkis (PB) Jaya Raya guna melatih dan mendidik atlet bulu tangkis potensial di seluruh Indonesia.
Menurut dia, olahraga bisa menghapus segala diskriminasi. Orang Indonesia pun dinilai berpeluang besar berprestasi di cabang olahraga tersebut. Atlet bimbingan PB Jaya Raya tercatat beberapa kali meraih medali emas Olimpiade, antara lain Greysia Polii-Apriani Rahayu dan Susy Susanti.
Selain melatih para atlet, Ciputra menekankan pentingnya pendidikan bagi para atlet. Itu sebabnya, yayasan mereka menyusun kurikulum yang disesuaikan dengan pelatihan bulu tangkis. Pendidikan karakter pun ditanamkan, antara lain soal integritas.
”Misi kami adalah membangun Indonesia Jaya. Jadi, yang dibangun bukan hanya fisiknya saja, tapi juga karakter bangsa,” kata Direktur PT Pembangunan Jaya Henky Wijaya.
Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wiguna mengatakan, salah satu inspirasi warisan Ciputra adalah untuk bermimpi dan mewujudkannya. Segala hal mungkin dicapai selama seseorang bermimpi dan bekerja keras.